Dialog Sesudah Vatikan II

2451
4.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Konsili Vatikan II praktisnya mengubah wajah Gereja Katolik. Termasuk bagaimana gerak dialog Gereja dengan agama-agama lain. Bagaimana pandangan Gereja tentang umat beragama lain, sebelum dan sesudah Vatikan II, dan mengapa perlu berdialog dengan umat beragama lain?

Michaela Sherly, Jakarta

Sikap Gereja terhadap umat beragama lain sangat dipengaruhi oleh konteks yang ada, terlebih bagaimana Gereja memandang mereka yang berada di luar Gereja. Konsili Nicea II (787), kiranya adalah yang paling awal menyinggung soal ini. Saat itu mereka berbicara tentang orang-orang Yahudi, dan mengatakan bahwa biarlah mereka tetap menganut agama Yahudi, dan kalau mereka dengan jujur menjadi Kristiani mereka diharuskan meninggalkan adat-kebiasaan Yahudi yang tidak sesuai dengan iman Kristiani. Dalam relasi dengan Islam dokumen pertama adalah surat Paus Gregorius VII kepada Raja Anzir, dari Mauritania (1076), di mana diakui bahwa baik umat Kristiani maupun Muslim menyembah Allah yang sama.

Yang menjadi terkenal adalah ungkapan “di luar Gereja tidak ada keselamatan” (extra ecclesiam nulla salus). Gagasan ini di abad ketiga pernah dikatakan oleh Cyprianus dan Origenes, kemudian secara formal diungkapkan dalam Konsili Lateran IV (1215) dan Florentiana (1442), menghadapi kaum tidak beriman (pagan) dan beberapa aliran sesat, yang menolak ajaran resmi Gereja, terutama terkait dengan identitas dua-kodrat Yesus: sungguh Allah dan sungguh manusia. Dikatakan lalu bahwa mereka yang berada di luar Gereja Katolik tidak akan mencapai keselamatan. Walaupun menyadari bahwa cakupan rahmat melampaui batas Gereja, akan tetapi ambil bagian dalam kehidupan Gereja adalah syarat bagi keselamatan.

Paus Pius IX dalam Singulari Quadam (1854) menyatakan bahwa kelirulah orang yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan keselamatan tidak perlu berada di dalam tubuh Gereja Katolik. Tak seorang pun selamat di luar Gereja Katolik. Akan tetapi, di sisi lain diakui bahwa mereka yang karena ketidaktahuannya tidak mengetahui hal itu tidak bisa dikatakan bersalah. Posisi ini dilandasi oleh bagaimana sikap Gereja memandang agama dan kepercayaan lain dan bagaimana Gereja menempatkan dirinya dalam karya keselamatan Allah.

Sisi lain, tradisi Gereja mengenal pula pandangan sejak abad ke-3 dari Yustinus dan kemudian Ireneus, bahkan Hieronimus dan Augustinus (abad ke 5) yang menegaskan adanya jalan keselamatan Yesus Kristus yang bisa ditemukan pula di luar Gereja. Pandangan ini kemudian yang dominan dianut oleh Gereja, terutama sejak menjelang Konsili Vatikan II (1962-1965), diawali dengan keterbukaan Gereja untuk menerima segala yang baik dan suci dalam agama dan kepercayaan lain, sebagaimana dicanangkan oleh Paus Yohanes XXIII dalam Princeps Pastorum (1959). Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Paus Paulus VI terutama dalam Ecclesiam Suam (1964) dan sambutan saat menutup Konsili Vatikan II. Jalan hidup menggereja adalah jalan dialog.

Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium di satu sisi menegaskan perlunya Gereja Katolik bagi keselamatan, sebagaimana dikehendaki sendiri oleh Kristus. Di sisi lain, Gereja mengakui bahwa mereka yang berada di luar Gereja, dalam segala kejujuran hatinya dan pencariannya akan Allah, dapat diselematkan. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam dokumen Vatikan II lain Gaudium et Spes, Ad Gentes dan terutama Nostra Aetate. Hal tersebut kemudian diteruskan dalam ajaran-ajaran Gereja berikutnya, terutama dari Yohanes Paulus II.

Gereja Katolik tetap memandang dirinya perlu bagi keselamatan, dan mewartakan serta menyatakan jalan keselamatan. Namun, Gereja menegaskan bukan Gereja yang menyelamatkan, melainkan Kristus belaka. Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan, dan Gereja hanya ambil bagian dalam jalan keselamatan dalam Yesus Kristus tersebut. Namun, diakui bahwa Kristus pun, berkat Roh Kudus, berkarya di luar Gereja. Maka, jalan keselamatan Yesus Kristus tersebut dapat pula ditemukan di luar tubuh Gereja.

Oleh karena itu, dialog dengan umat beragama dan berkepercayaan lain sangat diperlukan, bahkan dikatakan Yohanes Paulus II sebagai tugas penting dan mendesak untuk dilakukan. Dua alasan dasar bagi dialog adalah: kenyataan kita sebagai keluarga umat manusia dan penghargaan akan karya Roh Kudus. Kita semua, walau berbeda, adalah sama-sama diciptakan Allah yang satu dan sama; dan Roh Kudus berkarya ke mana Dia mau, sehingga Dia pun hadir dan berkarya di luar tubuh Gereja.

Pastor Telephorus Krispurwana Cahyadi SJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here