Pasutri Liana Ridwan-Tien En: Berdamai dengan Deraan Thalasemia

196
Penuh kasih: Pasutri Liana dan Tien bersama dua buah hati mereka.
[HIDUP/Norben Syukur]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pasutri Liana dan Tien tetap bersyukur dianugerahi anak yang terkena thalasemia. Dengan sabar dan penuh kasih, mereka mendampingi buah hati yang harus rutin menjalani transfusi darah, menyertai mereka untuk menggapai cita-cita.

Pada 17 September 1996, putri sulung pasangan Liana Ridwan dan Tien En lahir dalam keadaan sehat. Latonia Manik Badra, demikian nama anak itu.

Suatu ketika Latonia mengalami gangguan pencernaan. Ia sering mencret (buang air besar). Liana dan Tien tak menaruh curiga apapun. Mereka menganggap wajar. “Menurut kami, itu norma- normal saja,” ungkap Tien. Karena intensitas yang sering, Liana dan Tien pun membawa buah hati mereka ke dokter anak.

Sang dokter mengusulkan agar Latonia tidak diberi Air Susu Ibu (ASI), tetapi diberi makanan khusus. Selama tiga bulan, kondisi Latonia pun membaik. Namun setelah tiga bulan, Latonia mulai mengalami gangguan pencernaan lagi.

Liana dan Tien memeriksakan putri mereka ke dokter umum di RS Hermina Jatinegara, Jakarta Timur. Dokter mengungkapkan bahwa Latonia mengalami kelainan darah. Dokter merekomendasikan Liana dan Tien untuk menemui dokter Iskandar, dokter spesialis Hermatologi di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

“Anak saya hanya mencret. Dia sehat. Mengapa harus direkomendasikan ke ahli Hermatologi?” gerutu Tien tatkala menerima surat rekomendasi dari dokter umum RS Hermina Jatinegara. Bagi Tien, surat rekomendasi itu adalah sebuah kekeliruan. “Saya tidak percaya dengan rekomendasi itu. Surat itu saya lipat dan saya simpan,” imbuhnya.

Tien pun pergi menemui dokter anak yang pernah memeriksa kesehatan Latonia dan merawatnya. Kegembiraan pun menyelimuti hati Tien ketika dokter anak itu menyatakan bahwa Latonia sehat. “Anak ini sehat kok Pak.”

Hasil pemeriksaan dokter anak itu tentu memberi energi positif bagi pasangan suami istri yang menikah pada 1994, di Sukabumi, Jawa Barat ini. Mereka kembali fokus pada pekerjaan dan keluarga mereka.

Hingga akhirnya, mereka harus berjuang menerima kenyataan, ketika tahu bahwa putri mereka terkena thalasemia. Lebih- lebih lagi, anak kedua mereka yang sedang dalam kandungan juga terkena thalasemia. Dengan sekuat tenaga, mereka berjuang untuk membesarkan kedua buah hati mereka. Mereka terus mendampingi dan mencurahkan kasih sayang kepada putri-putri mereka.

Tamparan Keras
Suatu hari, pada 1997, Tien diminta untuk mengantar dua keponakannya periksa ke dokter Iskandar, dokter spesialis Hermatologi di RSCM Jakarta. Dokter menyatakan bahwa keponakan Tien mengalami gangguan atau kelainan darah, yang sering disebut thalasemia. Penyakit ini disebabkan karena terjadinya gangguan pada pembentukan dan produksi hemoglobin.

Thalasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orangtua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Jika pasangan suami- istri pembawa gen thalasemia, maka kemungkinan anaknya akan menderita thalasemia sebesar 25 persen, pembawa gen thalasemia (50 persen), dan normal (25 persen). Penderita penyakit ini harus menjalani transfusi darah secara rutin.

Mendengar penjelasan dokter spesialis Hermatologi itu, kecemasan mulai menyelimuti hati Tien. Ia ingat rekomendasi dokter umum agar Tien membawa putrinya ke dokter spesialis Hermatologi di RSCM karena diduga mengalami kelainan darah.

Pada kesempatan itu, Tien pun menceritakan kondisi kesehatan buah hatinya. Dokter Iskandar meminta Tien mengantar kedua keponakan dan anaknya untuk melakukan pemeriksaan lengkap. Tiga hari berselang, tanpa ragu, Tien membawa buah hati dan dua keponakannya untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa ketiga anak itu positif terkena thalasemia.

Hasil pemeriksaan itu seperti tamparan keras bagi Liana dan Tien. Kala itu Latonia menginjak usia enam bulan. Waktu itu, Liana tengah mengandung adik Latonia. Liana pun memeriksakan janin dalam kandungannya. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan janin yang dikandungnya positif terkena thalasemia, seperti yang dialami kakaknya.

Babak kehidupan Liana dan Tien seolah tengah memasuki babak penuh ujian. Ketangguhan dan kekuatan iman mereka benar-benar sedang diuji. Mengetahui janin berusia tiga bulan yang dikandungnya terkena thalasemia, gelisah merayap: mempertahankan janin itu atau tidak. “Kami mengalami dilema …, Kami benar-benar tak memiliki jawaban pasti …,” kisah Liana.

Cibiran dan sindiran dari keluarga mulai menghujani mereka. Pernikahan mereka yang berbeda agama seolah dipersalahkan dan menjadi penyebab semua itu. Pernikahan mereka dianggap tidak sah sehingga berakibat pada sakit yang dialami anak mereka. “Kami sangat terpukul …,” ujar Liana sembari menyeka air mata.

Mereka meminta saran dari kenalan, pastor, dan biksu. Tien, pemeluk agama Budha. Mereka juga berserah dalam doa. Seorang biksu memberi penguatan dan mendorong mereka untuk tetap mempertahankan kandungan Liana. Semangat penuh harapan pun seolah meletup di hati Liana dan Tien untuk mempertahankan kandungan.

Walaupun itu penuh risiko. Akhirnya anak kedua mereka lahir pada 18 Agustus 1997 dan diberi nama Lovlita Maggie Shjerra.

Berhenti Bekerja
Persoalan yang menjadi bagian hidup harus dihadapi. Tidak perlu ditakuti, apalagi dijauhi. Demikian keyakinan Liana dan Tien, termasuk dalam membesarkan kedua buah hati mereka yang didera thalasemia. Liana dan Tien memutuskan salah satu di antara mereka berhenti bekerja demi merawat buah hati. Akhirnya setelah melihat segala pertimbangan, dari posisi dan penghasilan, mereka memutuskan bahwa Tien berhenti bekerja.

Meski Liana bekerja, umat Paroki St Anna Duren Sawit, Jakarta Timur ini tetap memberikan perhatian kepada kedua putrinya. “Dia sering mengajak anak-anak untuk jalan-jalan, membimbing mereka belajar,” tutur Tien.

“Sebagai seorang ibu, ada panggilan alami bagi saya untuk menjaga, merawat dan mendidik anak-anak saya. Saya sangat menyadari hal itu. Walaupun saya sibuk bekerja, tetapi tetap meluangkan waktu bersama anak-anak,” kata Liana.

Kasih sayang serta perhatian Liana dan Tien terus mengalir bagi kedua buah hatinya. Mereka juga berusaha untuk membangun komunikasi yang harmonis dengan dua putri mereka tersebut. Selain itu, Liana dan Tien juga memperhatikan kemampuan, minat dan bakat anak-anak mereka. Putri sulung mereka, Latonia dianugerahi kemampuan menggambar. Melihat hal itu, Liana dan Tien mendorong Latonia untuk mengikuti kursus menggambar dan menyediakan peralatan gambar di rumah. Saat ini Latonia yang telah lulus SMA, sudah membuat gambar-gambar komik lengkap dengan ceritanya, walaupun belum dipublikasi. Perhatian yang sama pun diberikan Liana dan Tien kepada putri bungsu mereka, Lovlita yang gemar membuat origami.

Liana dan Tien menyerahkan kepada Tuhan atas apa yang terbaik bagi buah hati dan keluarga mereka. Mereka berharap kedua putrinya bisa meraih cita-cita yang diimpikan. Bait-bait doa pun turut menguatkan dan mengiringi setiap langkah mereka.

Norben Syukur

HIDUP NO.34, 24 Agustus 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here