Menanti Pertanggung-jawaban PERDHAKI

495
Misa Penutup RPA Perdhaki dipimpin oleh Mgr Ignatius Suharyo.[HIDUP/Willy Matrona]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) usai menggelar rapat paripurna anggota. Inovasi karya kesehatan dinanti demi optimalisasi pelayanan.

SEMUA negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) berkomitmen untuk mencapai program Jaminan Kesehatan Semesta. Program yang dicanangkan sejak 2005 itu bertujuan agar seluruh elemen masyarakat mendapatkan akses kesehatan optimal tanpa terganjal persoalan finansial.

Direktur Eksekutif Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI), Felix Gunawan, mengaku gembira dan antusias dengan bergulirnya program tersebut. Sebab, lewat Jamin Kesehatan Semesta, para tenaga kesehatan bisa menjangkau dan melayani lebih banyak masyarakat.

Dia tak menampik dalam merealisasikan program tersebut ada tantangan yang bakal mereka hadapi. “Bukan hanya keuangan tapi juga jarak, terutama (menjangkau) mereka yang berada di pedalaman. Bagaimana kita bisa hadir untuk mereka yang jauh di sana menjadi tantangan kami,” ungkapnya, dalam Rapat Paripurna Anggota PERDHAKI, di Hotel El Royale, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis-Minggu, 19-22/7.

Para Peserta Rapat Paripurna PERDHAKI Berkumpul di Ballroom Hotel El Royale Kelapa Gading, Jakarta Utara.
[HIDUP/Felicia Permata Hanggu]
Melampaui Target
Kehadiran perwakilan anggota PERDHAKI dalam rapat paripurna kali ini melampaui target awal panitia. Semula mereka mengira peserta yang hadir sekitar 280 orang. Namun, pada hari pelaksanaan, anggota yang hadir mencapai 334. Tampaknya, topik global tentang urgensitas kesehatan semesta menjadi perhatian banyak anggota PERDHAKI.

Pada hari pertama rapat, Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC memberikan “suntikan” rohani kepada para peserta. Bak sebuah ponsel pintar, agar bisa berfungsi maka harus selalu diisi daya batereinya. Begitu juga mereka yang terjun dalam karya kesehatan.

Mengisi daya spiritualitas itu penting agar para pelayan kesehatan sadar bahwa tindakan mereka tak semata-mata usaha manusia namun juga berkat karya Roh Kudus. Mereka juga representasi karya dan cinta Allah kepada manusia.

Sumber spiritualitas pelayanan sejati, menurut Uskup Bandung itu, adalah Kristus yang adalah Kasih. Ada tujuh gerakan belas kasih kepada sesama berdasarkan perikop Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37).

Pertama, beber Mgr Anton, hati yang tergerak oleh belas kasih atau peka terhadap sesama. “Seperti pendiri biara Kkottongnae, Pastor John Oh (asal Korea Selatan), yang mengajak tuna wisma dan orang miskin untuk hidup bersama.”

Kedua, mau mendekati dan menyentuh korban. Sentuhan simbol solidaritas. Aksi ini menandakan suatu kehendak untuk ikut merasakan dan berada bersama dengan mereka yang terluka. Ketiga, melakukan tindakan penyelamatan tanpa pandang bulu.

Rumah Sakit Katolik harus mengutamakan kehidupan semua pasien apa pun agama dan latar belakang budaya mereka. “Tidak (pertama-tama) menanyakan biaya, tetapi langsung bertindak atas dasar kasih dan kepedulian,” pesannya.

Keempat, menyegarkan dengan “minyak” dan “anggur”. Minyak merupakan pralambang tindakan pemulihan. Para pelayan kesehatan harus membantu sesama secara total. Sementara anggur adalah lambang pesta dan sukacita. ”Ada orang susah datang dan membutuhkan (pertolongan), lantas kita menolong mereka, itulah anggur sukacita.

Menolong orang menderita adalah kesempatan menerima  sukacita. Kesempatan untuk melayani Tuhan,” terang Mgr Anton. Kelima, melepaskan diri dari kenyamanan. Sebagai pelayan kesehatan, mereka harus rela kenyamanan dirampok oleh pasien karena Yesus pun rela memberikan segalanya demi manusia.

Keenam, membawa (pasien) ke penginapan agar pulih. Pelayanan yang diberikan haruslah konsisten dan tuntas seperti orang Samaria yang datang berulang kali membayar penginapan bagi korban. Ketujuh, memiliki kesetiaan bukan hanya ketahanan. Keutamaan itu berdimensi emosional dan spiritual, sedangkan ketahanan hanya bersifat rasional.

Kesetiaan melahirkan ketaatan dan membentuk ketegaran. Kesetiaan adalah buah kasih, sedangkan ketahanan efek dari tanggung jawab. Kesetiaan dalam kasih harus diwujudkan dalam institusi Katolik. “Orang yang setia akan bertahan, sedangkan yang bertahan belum tentu setia. Karena setia maka ia bertahan,” tegas uskup yang memiliki moto penggembalaan Ut Diligatis Invicem (kasihilah seorang akan yang lain) ini.

Empat suster peserta Rapat Paripurna PERDHAKI.
[HIDUP/Felicia Permata Hanggu]
Menjadi Inspirasi
Dalam Misa penutup sekaligus perayaan syukur ulang tahun ke 46, Ketua KWI Mgr Ignatius Suharyo berharap setiap anggota PERDHAKI menjadi inspirator pelayanan kasih di tengah masyarakat. Dia juga menginginkan PERDHAKI menjadi komunitas kecil kreatif yang tetap teguh memegang idealisme.

“Kreatifitas sebuah kelompok mampu memberikan perubahan kepada masyarakat selama memiliki idealisme.” Ada banyak tantangan yang dihadapi pada era sekarang. Bila idealisme luntur maka bakal tergoda dan jatuh pada tawaran dunia. “Tantangan tersebut marak terjadi di dunia luar seperti malpraktik serta berbagai pelanggaran etika dan moral lain,” kata Uskup Agung Jakarta itu.

Delegatus Kesehatan Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC juga mengingatkan, bila tantangan tersebut tidak bisa dihadapi maka gerakan global dalam rangka meningkatkan akses kesehatan sangat sulit. Menurutnya, saat ini banyak masyarakat yang memiliki hambatan finansial sehingga mereka tidak mampu mendapat pelayanan yang layak.

Memberikan jaminan kesehatan semesta memang tak mudah. Hal ini amat membutuhkan sinergitas nan apik dari setiap pengampu kepentingan. Kendati sulit, Uskup Manado itu tetap optimistis, PERDHAKI mampu mengatasi berbagai problematik. Prioritas saat ini, sarannya, anggota PERDHAKI bisa menempatkan dan menambah sumber daya manusia di wilayah terpencil di Tanah Air.

Mgr Rolly juga berharap, usai rapat ini, anggota PERDHAKI bisa menelurkan berbagai inovasi dalam karya pelayanan. Itu merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban hasil rapat. Muara semua cita-cita ini adalah optimalisasi karya kesehatan untuk seluruh masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan.

 

Felicia Permata Hanggu, Willy Matrona

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here