Franciscus Haryanto : Merawat Tradisi Kuliner

983
Franciscus Haryanto.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
4/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Camilan yang semula dibuat demi menyambung hidup, ternyata menjadi salah satu oleh-oleh khas daerah. Dia merawat usaha itu sebagai amanah orangtua.

Haryanto masih merekam jelas pengalamannya saat mengenakan seragam merah-putih di Kota Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tiap siang, selepas pulang sekolah, dia bergegas menggambil setumpuk kue yang dibuat orangtuanya semalam. Wadah kue itu ditaruh di atas kepalanya. Dia menyusuri tiap jalan di kota dingin itu sembari berteriak, “Kompiang…Kompiang…Kompiang longa…Kompiang longa,” kenangnya.

Kue berbentuk oval ini begitu akrab bagi sebagian besar masyarakat Manggarai. Kelir cokelat yang dimiliki kudapan itu tercipta dari hasil pembakaran di atas bara atau oven. Di permukaan panganan itu ada taburan wijen, dalam bahasa setempat: longa. Maka, nama kue itu menjadi kompiang longa. Tapi, hanya menyebut kompiang saja masyarakat Manggarai mahfum.

Saat bertandang atau bermalam di Ruteng, kompiang menjadi salah satu suguhan khas masyarakat di kota berjuluk seribu biara itu. Panganan ini juga menjadi salah satu oleh-oleh bagi warga Manggarai diaspora usai liburan. Salah satu produsen camilan itu adalah Toko Tarzan 1, milik Francicus Haryanto. Tempat usaha yang diwarisi oleh orangtuanya itu nyaris tak pernah sepi pembeli. Toko itu juga amat dikenal oleh orang Manggarai di rantau. “Saya sama sekali tak mengira, usaha yang semula dibuat oleh orangtua untuk menyambung hidup keluarga menjadi salah satu kuliner khas daerah ini,” ungkapnya, merendah.

Ransum Militer
Orangtua Haryanto mulai membuat kompiang sekitar tahun 1983-1984. Bapak dan ibunya, kenang pria kelahiran Surabaya ini, merintis usaha itu untuk menopang ekonomi keluarga. Sang ibu terinspirasi untuk menjual kue khas Tiongkok di Ruteng, demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta membiayai pendidikan Haryanto bersama kakak-adiknya.

Di tanah asalnya, beber Haryanto, ada lubang di bagian tengah kue itu. Fungsi lubang itu untuk memudahkan para tentara menggantung rangkaian kudapan tersebut dengan tali. “Para tentara menggantung ransum itu di leher atau di pinggang,” terang suami Cintia, saat ditemui di kediamannya yang berdampingan dengan tempat usahanya itu, di Ruteng, Rabu, 6/6.

Situs Ein Institute, www.ein-institute. org, membenarkan bahwa kompiang semula adalah ransum militer. Alkisah, pada pertengahan abad XVI, seorang jendral pasukan Dinasti Ming, Qi Jiguang, memimpin pengejaran gerombolan perompak Jepang yang meresahkan penduduk Provinsi Hokkien. Namun penyergapan terhadap gerombolan ini selalu gagal, karena keberadaan pasukan sang jendral selalu diketahui lawan. Penyebabnya adalah, saat mereka rehat untuk makan, aroma dan asap masakan selalu terdeteksi. Sehingga para perompak itu bisa menghindar sebelum pasukan Jiguang mendekat.

Begitu mengetahui musaban, Jiguang mendapat ide untuk membuat ransum yang bisa tahan lama. Dengan ransum macam ini, pasukannya tidak harus selalu memasak setiap kali waktu rehat dan karenanya bisa mendekati lokasi gerombolan perompak tanpa terdeteksi. Akhir kata, pasukan Jiguang berhasil menumpas gerombolan pengacau keamanan tersebut.

Kemudian hari untuk mengenang jasa Jenderal Jiguang, makanan tersebut dinamakan Guang Bing (Guang: dari nama Jiguang; bing: kue atau roti). Istilah ini dalam dialek peranakan di Indonesia dan Malaysia diucapkan menjadi kongpia atau kompiang.

Tak diketahui sejak kapan kompiang masuk ke Nusantara, yang jelas keberadaannya tersebar di sejumlah daerah, termasuk di Manggarai. Di bagian barat Pulau Flores itu, kompiang mengalami sedikit modifikasi. “Mama membuat kompiang tanpa lubang di tengah,” ungkap Haryanto.

Merawat Tradisi
Haryanto mengenang, orangtuanya dulu membuat kompiang masih sangat tradisional. Mereka memanggang kompiang dalam oven berbahan bakar kayu. Ibu-bapaknya mulai mengerjakan kuliner itu sekitar pukul 23.00. Butuh waktu dua jam hanya untuk memanaskan oven. Setelah itu, adonan kompiang baru dimasukkan ke tempat pemanggangan.

Selama musim dingin, mulai Juli hingga Agustus, butuh waktu lebih lama lagi untuk memanaskan oven. Begitu suhu alat itu naik, adonan kompiang dimasukkan. Seiring waktu, kompiang makin dikenal. Peralatan dalam proses pembuatannya pun terus berkembang. “Sekarang hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga jam, kompiang siap dijual. Tapi, saya tetap menjaga kualitas dan keasliannya,” tutur pria yang hobi mengoleksi motor itu.

Seperti bisnis lain, usaha kompiang, kata Haryanto, juga menghadapi banyak tantangan. Di antaranya, makin banyak orang yang membuat produk serupa. Namun, itu tak menyurutkan semangatnya. Bagi dia, kompiang yang dibuatnya tetap memiliki kekhasan. Hal itu pula yang rupanya membuat toko Haryanto selalu ramai dikunjungi para pembeli.

Tantangan berikut adalah soal harga. Sudah cukup lama Haryanto menjual harga kompiang-nya Rp 1000 per biji. Sementara, harga kebutuhan pokok naik tiap tahun. Belum lagi, dia harus menggaji delapan karyawannya saban bulan. Namun, dia sadar, jika memaksakan untuk mendongkrak harga jual, bakal membebani daya beli masyarakat. Apalagi, bisnis makanan ada batas kedaluwarsa. Maka, Haryanto tetap mempertahankan harga itu sampai sekarang.

Dia sempat mencoba memperluas dagangannya dengan berkeliling ke sejumlah lokasi di Ruteng, salah satunya terminal. Tapi, hatinya nelangsa saat mendengar kesaksian seorang karyawannya bahwa ada penjaja kompiang lain di tempat-tempat tersebut. Jika tetap menjajakan kompiang Tarzan di sana, penjual lain bakal sepi pembeli dan hilang pendapatan. Haryanto pun menghentikan model penjualan itu.

Di tengah maraknya persaingan usaha serupa, serta berbagai tawaran pekerjaan, Haryanto tetap merawat usaha dan amanah orangtuanya untuk menjaga “nafas kehidupan” Toko Tarzan, dan tentu mempertahankan kompiang yang terlanjur telah melegenda di hati dan lidah masyarakat Manggarai.

Dia berharap, bukan hanya kompiang, tapi juga ada kuliner lain yang harus dirawat kelestariannya, misal gula rebok. Menurut dia, kuliner itulah yang sebetulnya asli Manggarai, yang perlu dirawat dan digaungkan secara gencar, agar generasi mendatang tetap mengenal tradisi kuliner daerah mereka. Merawat tradisi budaya, termasuk kuliner, bagi Haryanto, berarti menghargai karya para leluhur.

Franciscus Haryanto

TTL : Surabaya, 19 April 1972
Istri : Cintia
Anak : Nico, Tiesha

Pekerjaan :
Wiraswasta, pemilik Toko Tarzan 1

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here