Pandangan Gereja Soal Takdir

5448
3.7/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pastor saya sering sharing dengan teman-teman. Ada yang mengatakan bahwa takdir itu tidak ada. Bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam kehidupannya. Namun dalam kenyataannya, di dalam masyarakat ada begitu banyak pandangan berbeda tentang takdir ini. Apakah dalam Gereja Katolik berlaku dan ada takdir (semua sudah ditentukan Allah)?

Andreas, Palembang, Sumatera Selatan

Konsili Trente (1545-1563) membicarakan tentang pemahaman Calvin (1509-1564), bahwa Allah sudah menentukan sejak semula siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan dimasukkan ke dalam siksaan abadi. Keberatan Gereja Katolik, seakan-akan menggambarkan bahwa Allah yang menghendaki adanya kejahatan atau kemalangan, sehingga pengkhianatan Yudas pun seolah sudah ditentukan, atau ditakdirkan oleh Allah. Rahmat seakan hanya untuk yang baik, sehingga mereka yang ditakdirkan jahat atau mendapatkan celaka. Pandangan seperti ini oleh Konsili Trente dinyatakan tidak benar.

Dalam Kitab Suci kita mendengar sabda, “… Bapa-Mu yang di Surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan bagi orang yang tidak benar” (Mat 5:45). Yang hendak diungkapkan adalah bahwa Allah berkehendak menyelamatkan semua orang, bahwa tidak semua orang menerima keselamatan itu, tidak mengurangi dan menghilangkan intensi dasar Allah untuk menyelamatkan semua. Demikian pula, Allah tidak menghendaki celaka atau kemalangan seseorang. Itulah yang sebenarnya ditentukan Allah: keselamatan!

Benar bahwa keselamatan hanya ada dalam dan dari diri Yesus Kristus. Keselamatan tersebut adalah rahmat (gratia, maka gratis). Namun rahmat tersebut menuntut pula tanggapan bebas manusia. Maka tidak bisa dipahami kalau Allah tidak memberi ruang bagi kebebasan manusia, sehingga orang yang sudah ditakdirkan untuk celaka lalu tidak mempunyai ruang kesempatan lagi untuk berusaha memperoleh keselamatan. Paus Leo IX dalam suratnya di tahun 1053 menuliskan, Allah hanya menentukan yang baik, betapapun Dia tahu ada pula yang jahat, yang tidak baik tidak berasal dari-Nya.

Kalau Allah hanya menghendaki yang baik, mengapa ada orang yang tidak beruntung atau malahan bernasib kurang baik? Ketika para murid melihat seorang yang buta sejak lahir, mereka bertanya siapa yang salah, orangnya sendiri atau orangtuanya, Yesus menjawab”.. karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh 9:2-3). Di satu sisi kita tidak tahu mengapa, namun di sisi lain kenyataan itu merupakan undangan untuk memperlihatkan penyertaan Allah dan penyelenggaraan Ilahi. Konsili Trente ketika menyinggung soal ini lalu berbicara tentang perseverantia (ketekunan, daya tahan).

Gereja mengakui bahwa kejahatan dan kemalangan masih senantiasa bisa kita jumpai. Bahwa ada yang hidupnya tidak beruntung, malahan ada yang seakan senantiasa tidak bernasib baik, itu nyata. Namun Allah bukan penyebabnya, walau mengakui itu ada, sebagaimana dalam kisah perumpamaan gandum dan ilalang (Mat 13:24-30). Kenyataan tersebut menjadi ajakan untuk membuat pilihan, sehingga dalam ketekunan pilihan bebasnya mengarahkan hidup kepada Allah, yang dengan misteri-Nya menyelenggarakan hidup ini dalam kerangka tata keselamatan-Nya.

Menilai bahwa segalanya telah ditakdirkan oleh Allah, bahkan kemalangan dan kejahatan, mengingkari kenyataan bahwa Allah tidak menghendaki celaka, sebaliknya Allah hanya menghendaki keselamatan, kebaikan bagi semua. Demikian pula, melemparkan nasib malang dan situasi celaka atau bencana sebagai tanggungjawab Allah, menolak mengakui kehendak bebas manusia dalam tanggungjawabnya atas hidup ini. Kehendak bebas adalah rahmat, Allah mengaruniakan bukan karena Allah melepas tanggungjawab, namun karena Allah dalam kebesaran hati-Nya mengajak manusia ikut terlibat dalam karya keselamatan ini. Situasi yang tidak beruntung adalah undangan untuk menghadapinya dengan sikap iman, menempatkannya dalam harapan, dan mewujudkan tindakan kasih yang nyata.

Kitab Suci menyajikan kisah Yusuf, yang dijual saudara-saudaranya, atau kisah Ayub, yang kehilangan segalanya, demikian pula kisah pengosongan diri Yesus sampai wafat di kayu Salib. Gereja dalam sejarahnya memuat beragam kisah penganiayaan dan kemartiran, sejak dari Stefanus hingga kini, yang justru tidak menghancurkan namun menumbuhkan Gereja. Bahkan kabar buruk pun mendatangkan kebaikan, demikian diungkapkan.

Satu-satunya takdir yang dikehendaki Allah adalah keselamatan. Persoalannya lalu bagaimana kita menyikapinya, bukan lari dan marah, menyalahkan Allah, bila ada kemalangan, nasib buruk ataupun celaka, namun datang dan membuka diri untuk mengenali misteri-Nya, dan bekerjasama untuk ikut memulihkan kehidupan.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here