Stefany Slamet Mulioni : Jangan Terlalu Lama Bersedih

195
Stefany Slamet Mulioni.
[Konradus R. Mangu]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Kecelakaan merenggut nyawa suaminya. Dia sempat marah dan kecewa kepada Tuhan. Mengapa Tuhan mengambil figur yang amat dicintainya dan dibutuhkan anak-anak?

Stefany Slamet Mulioni tak memiliki firasat buruk saat itu. Semua aktivitasnya berjalan seperti biasa. Pun kalau ada yang berbeda, hari itu dan selama beberapa hari ke depan, hanya dia dan anak-anak tinggal sendiri di rumah. Sang suami, Stefanus Edi, ke luar kota. Karyawan perusahaan tekstil di Jakarta itu mengantar pesanan bahan baku ke sejumlah daerah.

Sebetulnya, ada sopir khusus untuk menangani tugas tersebut. Sayang, orang itu sakit dan beristirahat di rumah. Edi mengisi kekosongan peran itu sementara. Menurut rencana, Edi mengantar bahan baku kain ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kejadian 12 tahun silam itu masih amat membekas di benak Stefany. Selasa, 6 Juli, sekitar pukul 19.00, telepon seluler Stefany berdering. Suaminya menelepon.

Sang suami, kenang Stefany, memberitahu kepadanya bahwa dia dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Sehari kemudian, sebuah panggilan kembali masuk ke telepon genggam Stefany. Suara orang di seberang sana amat asing baginya. Namun, berita yang disampaikan orang itu membuat tubuhnya doyong. “Suami Ibu tewas akibat tabrakan maut.”

Hantaman Keras
Berdasarkan keterangan warga dan kepolisian, sebuah mini bus menyeruduk mobil Stefanus dari belakang. Insiden yang terjadi di jalan raya Purwokerto, Jawa Tengah, membuat kendaraan yang dikemudikan Stefanus terpental dan menghujam tanah persawahan. Kepala Stefanus terluka parah akibat benturan hebat. Warga setempat membawanya ke RS. Namun, mereka tak kuasa menyelamatkan nyawa Stefanus.

Stefany tak kuasa membendung air matanya. Dadanya teramat sesak, pikirannya seketika buntu mendapat berita nahas itu. Tragedi tersebut merupakan hantaman sangat keras dalam hidupnya. Apalagi, kepergian suami tak hanya meninggalkan dirinya sendiri. Mereka punya dua buah hati yang amat membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan dukungan dari ayahnya.

Stefany marah kepada Tuhan atas petaka yang dialaminya. Mengapa Dia begitu tega mengambil figur yang amat dicintainya? Mengapa Tuhan sampai hati mengambil ayah bagi dua anaknya yang masih belia? Apakah Tuhan menutup mata, tragedi ini memaksanya untuk merawat dan membesarkan anak-anak sendirian? Aneka litani pertanyaan dan kekecewaan kepada Tuhan terus terlontar dari bibirnya.

Sekitar 18 tahun pasangan itu berada dalam bahtera rumah tangga. Stefany bertemu dan berkenalan dengan Stefanus kala dirinya mengenakan seragam abu-abu. Jalinan asmara mereka semakin tersimpul kuat hingga memutuskan untuk menikah. Stefany berusia 23 tahun saat itu. Maut pada akhirnya memisahkan dia dengan sang suami.

Sejak kejadian tragis tersebut, Stefany mengambil peran kepala keluarga. Dia berjuang secara gigih untuk menopang fondasi finansial keluarganya. Stefany membuka usaha kuliner di Yogyakarta, kemudian menjual aneka macam alat kesehatan. Dari sanalah dia bisa menyambung hidup keluarga serta membiayai pendidikan kedua anaknya.

Perempuan asal Kota Gudeg itu merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Semula dia bercita-cita menjadi penerjemah. Maka, dia masuk ke Akademi Bahasa Asing Yogyakarta. Seiring waktu, dia justru bekerja di perusahaan garmen kemudian menekuni usaha kuliner. Aktivitas itu merupakan hobinya sejak kecil.

Bekerja, Berdoa
Tak hanya giat bekerja, umat Paroki St Gregorius Agung Kutabumi Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta itu juga tekun berdoa. Jika kerja menjadi “vitamin” dia mempertahankan hidupnya dan keluarganya, doa merupakan “nutrisi” dirinya agar tegar menghadapi aneka tantangan sebagai orangtua tunggal.

Stefany menganalogikan kerja dan doa seperti dayung bagi perahu. Jika hanya menggerakan satu dayung, perahu itu hanya akan berputar di tempat. Namun, bila dua dayung itu digunakan secara bersama bakal membuat perahu melaju ke depan. “Setiap kesempatan, saya memohon kepada Tuhan melalui Bunda Maria, semoga saya sanggup mendampingi anak-anak saya,” beber penggiat kelompok lanjut usia paroki ini.

Setelah sembilan tahun menjadi orangtua tunggal, Stefany bertemu dan berkenalan dengan Matius Sobari. Dia menyakini bahwa Matius adalah perpanjangan tangan Tuhan. Setelah keduanya saling mengenal, mereka memutuskan untuk menikah sekitar tiga tahun lalu. “Dia juga orangtua tunggal dan memiliki tiga anak. Dia juga berpisah dengan istrinya karena kematian,” ungkap Stefany, saat ditemui di Paroki Kutabumi.

Saat bazaar May Day beberapa bulan lalu, Stefany-Matius membuka stand. Di lapak itu, mereka menjual alat kesehatan serta terapi ion elektrik rendam kami. Pasangan itu menyapa lembut setiap umat yang datang dan mencoba produk buatan Jerman. Tiap kali menjajal alat itu selama 20-30 menit, masing-masing pasien mengeluarkan biaya Rp 10.000.

Usaha ini dia rintis sejak 1997. Menurutnya, setelah 20-30 menit merendam kaki, toksin atau racun dalam tubuh akan kelihatan dalam ember berisi air dan garam kasar. Toksin itu berwarna hitam kekuning-kuningan. Saat penulis mencoba alat itu, semula air terlihat bening. Setelah 20 menit, air tampak berkelir hitam dan kuning. “Racun atau toksin dalam tubuh itu keluar melalui pori-pori telapak kaki,” terangnya.

Perubahan warna itu menunjukkan terdapat keluhan pada tubuh pasien. Ada berbagai keluhan dapat diatasi seperti menunurunkan kolesterol, asam urat, darah tinggi, ginjal tidak berfungsi baik dan sebagainya. Banyak pasien yang menggunakan jasa ini karena ternyata terapi ini bisa menolong mereka yang memiliki keluhan. Menariknya, terapi ini tak membutuhkan obat sehingga meminimalisir efek samping bagi tubuh,’’ kata umat lingkungan St. Yustinus, Paroki St Gregorius Agung,Tangerang.

Banyak orang yang sembuh berkat bantuan alat itu. Misal, bebernya, ada seorang warga dekat kediamannya di Priuk, Tangerang. Orang itu bertahun-tahun duduk di kursi roda. Beberapa kali datang dan terapi dengan ion elektrik, dia bisa berjalan normal.

Begitu juga dengan tetangga satu rukun tetangga dengannya. Orang itu juga punya persoalan dengan kakinya. Setelah merendam kakinya dengan alat itu beberapa kali, dia bisa pergi ke pasar dengan leluasa. Manfaat yang dialami banyak orang itulah yang terus memantik Stefany untuk tekun dan serius menjalani usaha tersebut.

Tuhan Mencintai
Stefany meyakini, Tuhan amat mencintai dirinya. Meski sempat kehilangan orang tercinta, ternyata Tuhan senantiasa menjaga dan memperhatikan dia serta anak-anaknya. Terbukti, dia sanggup bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anaknya. Ini yang membuka mata dan hatinya. Dia yang dulu sempat marah kepada Tuhan, namun seiring waktu berbalik sangat mencintai-Nya.

Stefany telah membuka lembaran baru hidup dan hatinya bersama pendamping baru. Dia menggangap bahwa salah satu tanda nyata cinta dan perhatian Tuhan kepadanya adalah Matius bersama anak-anaknya. Kehadiran mereka melipur lara dan mengisi kehidupannya. Apalagi, puji Stefany, Matius merupakan pribadi yang sabar dan setia mendampinginya. “Kesedihan itu dialami oleh siapa pun namun tidak perlu berlama-lama,” sarannya.

Konradus R. Mangu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here