Pertaruhan Kebinekaan

246
2/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Seorang filsuf bernama Herakleitos (540 – 480 SM) mengatakan, “di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.” Saya menggunakan ungkapan ini untuk melihat tantangan bangsa kita dalam Pemilihan Umum. Sejak awal, negeri ini sadar akan tantangan untuk menyatukan warganya yaitu soal mengelola perbedaan. Negeri ini tidak disatukan oleh kesatuan agama, suku atau warna kulit. Bangsa ini perlu memiliki satu keyakinan bersama yang menyatukan perbedaan. Maka lahirlah Pancasila dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Lebih dari tujuh dekade, para pemimpin bangsa ini meyakini Pancasila sebagai senjata ampuh menyatukan bangsa. Meski berkali-kali mengalami konflik agama, etnisitas ataupun golongan politik, bangsa ini masih bisa bangkit dan kembali memekikkan semangat persatuan. Sayangnya, seperti perkataan Herakleitos, semua hal berubah. Pancasila sebagai senjata persatuan kita sedang dirongrong terutama karena anak-anak negeri ini mulai percaya bahwa Pancasila tak cakap lagi mempersatukan bangsa. Ada keyakinan bahwa dasar kesatuan kita adalah agama atau golongan tertentu.

Suksesi Kepemimpinan
Ada dua cara untuk mengubah dasar negara dalam negara demokrasi: cara yang legal dan cara yang tidak legal. Cara yang legal adalah dengan menggunakan pemilu untuk merebut kepemimpinan nasional. Sementara cara yang tidak legal adalah melalui perang. Tentu negara kita tidak ingin dasar negara yang telah mengayomi seluruh putra-putrinya diganti. Terakhir, pemerintah Indonesia membatalkan izin keberadaan HTI yang dianggap mengacam keberadaan bangsa ini. Pemerintah yang sekarang berkuasa masih meyakini bahwa Pancasila adalah dasar negara yang harus dipertahankan guna menghadapi berbagai perbedaan. Oleh karenanya, kelompok yang ingin merongrong kedaulatan Pancasila dan tak sejalan dengan cita-cita bangsa ini tidak diperkenankan tumbuh di negeri ini.

Sayangnya usaha-usaha untuk mengganti ideologi bangsa ini terus menerus berjalan sampai dengan hari ini. Cara-cara illegal pernah dilakukan, yang legal pun pernah dicoba. Dalam konteks mengubah secara legal ‘number is matter’, jumlah itu penting sebab ini berhubungan dengan suara yang didapat melalui pemilu. Kalau semakin banyak orang meyakini bahwa Pancasila tak layak lagi menjadi dasar negara, maka tentu negara ini akan mengalami perubahan kiblat. Tatkala hal itu terjadi, Indonesia tidak lagi memegang prinsip “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Saat itu terjadi, bisa jadi kita akan berpikir tentang kekuatan ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’, yang berarti perbedaan hak yang mencolok antara mereka yang berjumlah sedikit dan yang berjumlah banyak. Saat itu terjadi, kita bisa jadi kembali ke hukum rimba, mereka yang kuatlah yang akan jadi pemenang. Padahal, selama ini, kita menganut keyakinan bahwa yang kuatlah yang menjaga yang lemah.

Disinilah arti penting dari Pemilu yaitu sebagai jalan yang legal guna mengubah banyak hal di negeri ini. Dengan cara tertentu, pemimpin yang akan datang bisa kembali melegalkan HTI atau memberi keuntungan pada pihak tertentu dengan merugikan yang lain. Neil Fligstein dan Doug McAdam mengatakan bahwa pihak negara adalah pihak yang bisa menentukan aturan main di dalam suatu wilayah tertentu. Pemerintah sebagai aktor penentu kebijakan negara mengarahkan arah gerak suatu negara (2012, 67). Kalau di dalam pemilihan umum kita memilih pribadi-pribadi yang meyakini bahwa Pancasila bukan dasar yang tepat, dalih-dalih bisa dicari untuk mengubah cara negeri ini mengelola perbedaan.

Tentu tugas awam Katolik untuk terlibat di perpolitikan semakin dituntut. Selain itu, tugas semua anggota Gereja untuk ikut menentukan arah gerak bangsa ini tidak bisa dianggap ringan. Dalam nota pastoral KWI berjudul “Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa-Menjadi Gereja yang Signifikan dan Relevan”, para uskup mengajak kita untuk semakin memahami gagasan Pancasila, mengembangkan usaha persaudaraan dan kemanusiaan lintas batas dengan berbagai cara yang pas dalam konteks ke-Indonesia-an yang “Bhinneka Tunggal Ika”.

Negeri ini sedang ada di persimpangan penting! Akankah kita tidak mau ikut menentukan arah perubahannya?

Martinus Joko Lelono

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here