Djamester Simarmata : Komoditi Primadona dan Keutuhan Ciptaan

252
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Diskriminasi sawit dengan minyak nabati asal Eropa serta sejumlah permasalahan terkait keutuhan ciptaan hendaknya diselesaikan dalam terang Laudato Si’.

Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya. Adagium tersebut tampaknya cocok disematkan kepada industri minyak sawit Indonesia. Semenjak menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, kian banyak pula kebijakan-kebijakan dari negara asing yang mendiskreditkan produksi sawit Indonesia.

Eropa, misalnya, menolak impor minyak kelapa sawit (CPO) termasuk dari Indonesia dengan alasan perkebunan kelapa sawit tidak dikelola menurut ketentuan lingkunan hidup. Tahun 2015, Indonesia menghadiri United Nations Climate Change Conference Paris (COP21) yang menuntut semua negara menyesuaikan kegiatan ekonominya sedemikian sehingga dapat memelihara temperatur bumi di bawa hdua derajat celcius di atas tingkat temperatur bumi erapra-industri, atau pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat celcius di atas temperatur acuan tadi.

Evolusi Ciptaan
Sebelum COP21, Paus Fransiskus telah menerbitkankan Ensiklik Laudato Si’ tahun 2015, yang menuntut semua kegiatan ekonomi menghormati prinsip pengelolaan lingkungan. Ensiklik ini melihat kehidupan secara komperhensif. Dinyatakan, semua ciptaan Tuhan di atas bumi memiliki nilai sama antara satu dengan yang lain. Paus berangkat dari refleksi Fransiskus Asisi yang menyebut semua ciptaan Tuhan adalah sesama saudara.

Tak tanggung-tanggung, Paus mengritik perilaku manusia sekarang, yang lebih melihat pada manfaat jangka pendek dan mengabaikan dampak jangka panjang terhadap generasi mendatang. Fransiskus mengangkat gejala percepatan ritme pekerjaan ataupun kehidupan, rapidification. Fenomena ini disanjung oleh para pelaku ekonomi sebagai kemajuan teknologi. Tetapi proses alam terlupakan, sebab evolusi biologi alamiah berlangsung amat lambat dibanding dengan proses industri tadi.

Pergantian produk dalam ekonomi terjadi dengan makin cepat, seperti barang-barang elektronik, telekomunikasi, komputer dan sebagainya. Dari informasi peternakan ayam broiler disebut bahwa waktu sampai memanen ayam sekarang hanya sekitar satu bulan, sedang ayam kampung jauh lebih lama. Percepatan ini dimungkinkan dengan memberi vaksin, vitamin, mineral, dan antibiotik. Masalahnya ialah efek samping yang ditimbulkan, seperti lebih cepatnya anak-anak sekarang mencapai masa puber.

Kemunculan produk baru yang cepat menyebabkan banyaknya pekerjaan yang hilang dari pasar kerja, seperti bengkel karburator, montir TV tabung, dan sebagainya. Setelah adanya EFI (Electronic Fuel Injection), ahli karburator kehilangan pekerjaan. Persoalannya, bagaimana mengganti keahlian banyak pekerja ke jenis pekerjaan baru? Situasi itu muncul tanpa persiapan sebab tidak ada pencerahan. Di negara maju ada lembaga negara yang menangani efek seperti ini, disertai jaminan sosial pengangguran sampai waktu tertentu. Disrupsi teknologi oleh revolusi industri dapat memicu pengangguran lalu kemiskinan.

Serentak dengan itu terjadi peningkatan limbah dan polusi udara yang tidak terserap alam, gas rumah kaca. Pantaslah bila Fransiskus secara terang benderang mengritik perilaku kultur buang (throwaway culture). Pemanfaatan ulang limbah masih belum menjadi kultur industri dan masyarakat. Demikianlah limbah plastik di laut menjadi isu global, di mana Indonesia sebagai penyumbang kedua setelah RRC. Baik dibanding ketersediaan sumber daya alam yang dibutuhkan maupun daya serap alam pada limbah, semua telah terlampaui, dan manusia melupakannya. Ternyata yang paling menderika akibat pencemaran dan akibatnya adalah masyarakat miskin.

Deforestasi Sawit
Tak bisa dipungkiri pesan Fransiskus juga menyasar perusahaan-perusahaan sawit. Faktanya perkebunan sawit di Indonesia kebanyakan dibangun di atas areal hutan tropis. Pembangunan tersebut menyebabkan penebangan hutan yang kaya dengan keragaman hayati. Dari hutan yang tadinya ditumbuhi oleh beragam tanaman, diganti oleh satu jenis tanaman atau monokultur, yang mengurangi unsur hara, peningkatan hama, dan sebagainya. Pembangunan perkebunan sawit dalam areal hektaran tentu mempunyai dampak negatif luas dan besar.

Indonesia menawarkan kontribusi dalam pengurangan gas rumah kaca misalnya dari tata-guna lahan hutan. Dalam kelompok ini tercakup penebangan dan kebakaran hutan serta degradasi lahan gambut, yang dapat merupakan bagian pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Indonesia menyatakan moratorium penebangan hutan dan penggunaan lahan gambut untuk pembukaan perkebunan baru. Ada beberapa tawaran lain seperti dalam penggunaan enersi ramah lingkungan. Tetapi penggunaan batubara dalam berbagai kegiatan ekonomi serta ekspor, yang tentu berseberangan dengan isi ensiklik. Ini memerlukan penyelesaian kreatif oleh pemerintah.

Berdasarkan data, produksi rata-rata CPO per hektar per tahun adalah yang tertinggi dari tiga produk alternatif, seperti kedeleai (soybean), bunga matahari (sun flower) dan rapa (rapeseed). Berarti untuk menghasilkan per ton minyak tanaman akan membutuhkan luas lahan berlipat bila menanam tanaman alternatif. Tetapi kandungan asam-lemak CPO dianggap paling tinggi, walaupun sebenarnya ada kelebihan lain darinya.

Dalam kaitan dengan potensi menghasilkan gas rumah kaca, penebangan hutan dan lahan gambut menduduki posisi tinggi. Namun tingkat produktivitas lahan sawit saat ini masih dapat ditingkatan lebih tinggi melalui berbagai perbaikan sistem pengelolaan, termasuk pemilihan bibit, pemupukan, serta pengelolaan lahannya. Ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) dalam peningkatan produksi, tanpa menebang hutan atau mengganggu lahan gambut.

Dari sisi lain tentang perkebunan kelapa sawit, 40,3 persen luasnya dikuasai oleh rakyat, 6,6 persen oleh negara, dan 53,1 persen dikuasai swasta. Dari sisi produksi, perkebunan swasta menguasai 58,6 persen, sedang perkebunan rakyat menguasai hanya 33,9 persen sedang perkebunan pemerintah hanya 7,5 persen. Perkebunan swasta dikuasai oleh sejumlah kecil pengusaha dibanding dengan perkebunan rakyat. Ini menyatakan terjadinya ketimpangan dalam penghasilan dan penguasaan asset dalam bidang perkebunan sawit.

Informasi ini menyentuh isu vital dalam Laudato Si’ dan ensiklik lain serta dokumen Evangelii Gaudium, yakni tentang ketimpangan. Dari sisi lain, ketimpangan ekonomi ditengarai sebagai penyebab penurunan pertumbuhan ekonomi. Laporan dari World Economic Forum (WEF) yang ditulis Klaus Schwab menunjukkan informasi sebagai berikut: sebelum tahun 2008 ekonomi global tumbuh sebesar 5 persen per tahun; setelah Resesi Global tahun 2008, angka itu turun menjadi antara 3-3,5 persen. Ini terjadi pada saat berbagai laporan menyatakan peningkatan ketimpangan global. Schwab juga menyebut ketegangan dan keresahan sosial akibat ketimpangan, sesuai dengan ensiklik.

Walaupun ada aspek positif kelapa sawit, sejumlah masalah seperti penebangan serta kebakaran hutan, isu keragaman hayati, ketimpangan penghasilan maupun penguasaan asset perkebunan, justru bertentangan dengan Laudato Si’. Ini pun masih sebagian dari issu yang menuntut penyelesaian berdasarkan ensiklik tersebut. Penguasaan luas perkebunan kelapa sawit yang timpang juga tidak sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah masih dituntut bekerja keras untuk memenuhi COP21, lebih-lebih lagi tuntutan ensiklik terkait, juga konstitusi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here