Moon Jae-in : Presiden Bernafas Katolik

3523
Moon Ja-ein dan Sekretaris Bagian Luar Negeri Vatikan, Paul Richard Gallagher.
[Dok. Cheong Wa Dae.]
4/5 - (8 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ada kemungkinan bahwa presiden Korea Selatan ini begitu fokus pada dialog bukan hanya karena komitmennya pada janji kampanyenya, tetapi juga karena imannya.

Pertemuan antara Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong Un pada 27 April 2018 rasanya menjadi sebuah peristiwa paling penting tahun ini. Ke dua pemimpin di Semenanjung Korea ini saling berbalas senyum di sebuah siang yang cerah di perbatasan antara kedua negara. Pada satu kesempatan, Moon meminta Kim untuk menginjakkan kakinya di wilayah Korsel. Ajakan yang lalu dibalas Kim dengan meminta Moon menginjakkan kakinya ke wilayah Korut.

Presiden Moon yang berasal dari Partai Demokrat terpilih menjadi pemimpin Korsel dengan perolehan 41 persen suara. Ia muncul dengan catatan karier yang tampaknya bebas dari korupsi. Selain bersih, sosok pemimpin baru ini memang telah sejak lama menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi. Pada tahun 1975, saat masih menjadi mahasiswa hukum, dia dipenjara karena memrotes kediktatoran Park Chung-hee. Setelah lulus kuliah, namanya melejit sebagai pengacara Hak Asasi Manusia terkemuka.

Moon yang bernama baptis Timotius menjadi presiden Katolik kedua di negara ini. Latar belakangnya tergolong sangat sederhana. Orangtuanya adalah pengungsi yang melarikan diri dari Korea Utara. Mereka lalu menetap di Pulau Geoje yang terletak di tenggara Negeri Ginseng. Di pulai mungil inilah ia dilahirkan. Dengan latar belakang ini, masyarakat menaruh harapan padanya. Di pundaknya terletak harapan untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan Korea Utara.

Presiden Katolik
Saat mulai tinggal di “Blue House” -Istana Kepresidenan Korsel-, Moon meminta seorang pastor datang untuk memberi berkat bagi rumah dinasnya itu. Ketika itu, Pastor Yoo datang bersama dengan empat orang suster dan memberi berkat khusus kepada presiden baru.

Saat itu, Pastor Yoo memberikan sebuah foto perahu kecil dengan seorang nelayan yang tengah mengarungi lautan luas. Foto ini seperti lambang kepemimpinan Moon. Pastor Yoo menjelaskan, sebuah pepatah Cina kuno mengatakan, seorang raja (pemimpin) seumpama perahu dan rakyat adalah air. Saat rakyat marah, boleh jadi mereka bangkit dan membalikkan kapal.

Dalam waktu dua minggu setelah menjabat, Moon mengirim utusan ke Roma untuk bertemu dengan Fransiskus Paus dan Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin. Pada pertemuan yang berlangsung selama beberapa hari ini, Presiden Konferensi Uskup Korea, Uskup Agung Hyginus Kim Hee-joong, dan anggota tim presiden memohon dukungan dari Takhta Suci untuk rekonsiliasi di Semenanjung Korea.

Melibatkan Vatikan pada masalah ini dinilai lebih dari sekadar simbolis. Moon memperoleh jaringan sumber daya yang luas dan rahasia untuk mengeksplorasi opsi non-militer, termasuk sejumlah besar uskup Jepang dan Korea serta dukungan dari pemimpinan Katolik di Taiwan dan Hong Kong. Di bawah Paus Fransiskus, Vatikan telah membentuk saluran-saluran tingkat tinggi dengan Beijing dan memberi Seoul sumber informasi dan analisis independen tentang sikap Washington (Amerika Serikat) terhadap peta jalan damai yang telah lama menjadi impian bangsa Korea.

Kebijakan Rekonsiliasi
Oleh sejumlah pihak, kekatolikan Moon dikatakan menjadi sangat penting. Sebelas persen dari total 50 juta jiwa penduduk Korsel memeluk agama Katolik. Dari hasil jajak pendapat, Gereja Katolik menjadi institusi yang paling dihormati di Korsel. Salah satunya adalah karena karya Gereja yang aktif untuk HAM, demokrasi, keadilan sosial, perdamaian, dan rekonsiliasi. Moon mengakui, kekatolikan membantunya menentukan arah diplomasi yang ia pilih. “Saya tak mungkin memisahkan gerak pemerintahan saya, tanpa mendasarkan diri pada nilai-nilai iman yang saya anut,” demikian ungkap Moon suatu kali.

Moon Jae-in menyatakan bahwa Korea Selatan tidak akan pernah menanggapi provokasi Presiden Korut, Kim Jong-un, dengan menyebarkan atau mengembangkan senjata nuklir. Dia mengatakan, tidak akan ada aksi militer di Semenanjung Korea tanpa persetujuan Korsel. Ia berjanji, pemerintahannya akan terus bekerja untuk perdamaian. “Deklarasi denuklirisasi bersama yang dibuat oleh Korea Utara dan Korea Selatan, tidak ada toleransi atau mengakui Korea Utara sebagai negara nuklir. Kita juga, tidak akan mengembangkan (senjata) nuklir atau memilikinya,” katanya.

Kebijakan ini jelas searah dengan suara Vatikan yang sejak lama menentang pengembangan nuklir untuk persenjataan. Paus Fransiskus menolak sistem keamanan yang menimbulkan rasa takut.

Benar saja, langkah yang diambil Moon nyatanya menuai hasil yang sebelumnya belum pernah dicapai sejak pecah perang Korea pada 1950. Moon pun bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Pertemuan bersejarah, pada saat itu, keduanya sepakat mengakhiri perang Korea dan kedua negara akan bekerjasama dalam upaya “denuklirisasi sepenuhnya semenanjung Korea”. “Kim Jong Un dan saya menyatakan, bahwa tidak akan ada lagi perang di Semenanjung Korea dan perdamaian telah dimulai.”

Diplomasi Perjumpaan
Pada September 2017, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengkritik kepemimpinan Moon terkait langkah yang diambil untuk Korut. Moon lebih memilih untuk bernegosiasi dengan Pyongyang, yang disambut dengan peringatan oleh Trump. “Berbicara bukan jawabannya,” ungkap Trump suatu kali.

Ada kemungkinan bahwa presiden Korsel ini begitu fokus pada dialog bukan hanya karena komitmennya pada janji kampanye, tetapi juga karena imannya. Paus Fransiskus dalam anjurannya untuk masalah Korea: Ia menganjurkan “diplomasi perjumpaan” yang memprioritaskan dialog dan pertemuan fisik antara pihak-pihak yang bertikai untuk bersama menemukan kesamaan kajian, kepercayaan, dan fokus pada kebaikan bersama.

Kebijakan Moon selaras dengan diplomasi perjumpaan. Perjumpaan langsung berfungsi agar dapat memandang lawan dengan lebih manusiawi dan menginspirasi lawan untuk menghasilkan perjanjian tanpa balasan yang setimpal.

Masyarakat Korsel menaruh asa pada Moon untuk membersihkan semua korupsi yang melekat di hampir seluruh sistem publik Korea. Memasuki tahun keduanya menjabat sebagai presiden, Moon juga memikul harapan besar dari masyarakat untuk memecahkan masalah ketidaksetaraan ekonomi. Jumlah pengangguran di Korsel terbilang tinggi meskipun orang mudanya berpendidikan tinggi. Kaum pekerja dieksploitasi dan dibayar rendah. Janji Moon untuk keadilan sosial dan martabat manusia cukup jelas dari perspektif Katolik, namun masih dinanti realisasinya hingga akhir masa jabatannya pada 2022 mendatang.

Moon Jae-in

TTL : Geoje, Korea Selatan, 24 Januari 1953
Istri : Kim Jung-suuk
Anak : Moon Da-hye dan Moon Joon-yong

Pendidikan : Ilmu Hukum, Universitas Kyungheedengan

Jabatan : Presiden Korea Selatan ke-19 sejak 10 Mei 2017

Hermina Wulohering

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here