Bernadette Deram Bellen : Jalan Terjal Pemberdayaan Perempuan

275
Bernadette Deram Bellen.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Bekerjasamalah dengan kaum perempuan maka kamu akan menemukan arti pribahasa klasik, surga di telapak kaki ibu.

Negeri Lamaholot. Begitu sebutan khas untuk Adonara, sebuah pulau Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain catatan sejarahnya yang unik, Adonara bak permata NTT khususnya di bidang pariwisata. Di Adonara kita akan menemukan pulau nan cantik dengan Pantai Watu Tena yang memiliki hamparan pasir “kristal”, bersih berkilauan.

Ada pula pegunungan Ile Boleng yang masih alami. Ada seloroh, di puncak Boleng, “anda bertemu Tuhan (surga)”. Tentu biota bawah laut pun tak kalah menawan. Bebatuan magma dengan terumbuh karang serta aneka ikan warna-warni menambah pesona birunya pemandangan bawah laut Adonara.

Sayup-sayup keindahan negeri Lamaholot membawa Bernadette Deram Bellen tiba di sana. Dette, demikian orang menyapanya tiba di Adonara demi menikmati pesona desa wisata berkelas dunia ini. Dette tak peduli pada matahari yang memanggang merah tubuhnya. Tapak demi tapak diayunkannya untuk menunaikan misinya, menikmati keindahan pulau di tengah laut ini. Sungguh turis asal Lembata, NTT ini sangat menikmati perjalanannya.

Sayang, keindahan Lamaholot tak terbayarkan dengan situasi masyarakatnya. Dette menemukan hunian-hunian masyarakat yang amat sederhana, mungkin tak lebih baik dari kandang babi. Tidak saja karakteristik fisik hunian masyarakat Adonara. Nilai-nilai budaya pun tercebur lalu tenggelam bersamaan dengan perkembangan zaman. Budaya paternalisme disulap menjadi budaya yang segala sesuatu dilimpahkan kepada istri. Slogan “ibu tahan banting” melekat pada mama-mama atau kebarek (gadis-gadis).

Menyulut Asa
“Memprihatinkan”, gumam Dette dalam hatinya. Dengan mata telanjang ia menyaksikan begitu hebat perjuangan kaum ibu Lamaholot. Kaum bapak ingin memenuhi tuntutan ekonomi “berdiri di atas kaki sendiri” sampai-sampai rela merantau ke tempat lain katanya untuk mencari penghidupan yang layak.

Tetapi nyatanya peran mereka sebagai bapak keluarga hilang. Pesan moral gelekat lewotana (berbakti pada kampung halaman) turut mengilhami mereka terangkut gerbong ke tana sina Jawa (pulau Jawa). Membangun lewotana tidak harus pulang Adonara, tetapi nyatanya banyak suami pergi begitu saja. Ada yang sudah menikah dengan wanita lain, sementara di kampung sang istri menunggu tanpa kepastian.

Idealisme memuliakan modal sosial dengan menjunjung tinggi nilai budaya membuat mama-mama Lamaholot bertahan hidup dalam satu tarikan nafas kepasrahan. Mereka harus bersua keringat agar asap dapur terus mengebul. Belum lagi tradisi yang hidup ketika seorang perempuan telah dibayarkan belisnya (mas kawin) membuat mereka “angkat tangan” dan tidak boleh menikah lagi apapun alasannya. “Perempuan hanya menempati kelas dua di tanah kami. Apalagi perempuan tanpa suami,” ujar kelahiran Lembata, 17 November 1969 ini.

Mereka mencoba bertahan dalam nuansa kekeluargaan, keakraban dengan keluarga suami karena bingkai pernikahan adat yang mengikat. Rasa membangun negeri Lamaholot yang bermartabat tanpa mentuhankan budaya membuat Dette ingin berjuang membebaskan kaum perempuan dari stigma kelas dua. Berbekal pelatihan yang didapat dari Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Jakarta pada Desember 2001, Dette ingin memajukan perempuan sebagai tulang punggung keluarga.

Ia lalu mendirikan sebuah komunitas bernama Serikat Lodan Doe. Komunitas ini diharapkan Dette menjadi oase bagi suara-suara kaum lemah yang ingin disapa. Mula-mula ia menghimpun data kaum “single fighter” agar berjuang bersamanya. Dari analisa Dette, tidak semua dari mereka yang telah menikah. Ada juga dari mereka yang memutuskan
tidak menikah tetapi hidup dalam beban menafkahi orang tua, keponakan, dan saudara-saudarinya yang lain. Dette menuturkan, “Kepala keluarga di sini tidak mengarah pada jabatan, melainkan peran.”

Disayangkan bila kisah heroik wanita-wanita ini hanya berakhir di dapur di antara tumpukan panci dan belangga goreng. Dette ingin mengangkat peran mereka sebagai “kaum yang terluka” karena banyak alasan. Ia lalu menarik perhatian mereka dengan membuka unit simpan pinjam. Di tahun 2002, simpanan pokoknya hanya sebesar dua ribu lima ratus, sementara simpanan wajib sekitar dua ratus lima puluh rupiah.

Embrio koperasi ini tidak hanya bertransaksi menggunakan uang. Hasil kebun berupa kelapa, kopra, dan hasil tani lainnya pun bisa sebagai nilai tukar untuk memenuhi kebutuhan para perempuan ini. Tak salah kaprah, Dette juga mengajarkan mereka untuk menjadi pelaku ekonomi yang handal.” Selama ini mereka lebih banyak menabung uang di bank di mana orang lain yang mengelola uang mereka. “Di sini, mereka sendiri yang mengelola uang mereka, meminjam uang yang juga milik mereka,” ungkap Dette.

Program Kesejahteraan
Hidup tak segampang membalikkan telapak tangan. Demikian yang dialami Dette. Banyak jalan terjal, berliku dan melelahkan yang pernah dialaminya. Kedekatannya dengan orang-orang di dunia tanpa suami membuatnya dijuluki “bos para janda”. Demi suksesi programnya, ia blusukan ke desa-desa, tetapi yang terjadi ia hanya ditolak dan dilirik sebelah mata. Ada banyak alasan seperti mengumpulkan kekuatan perempuan untuk melawan hegomoni posisi lelaki Adonara. Kisahnya, seorang kepala desa dan jajarannya pernah mengusir dia dengan tombak dan parang ketika hendak memperkenalkan visi misi kelompoknya.

Pengalaman lain juga yang dialaminya adalah ketika berhadapan dengan kisruh tanah. Dalam sengketa tanah antar suku, Dette selalu menghimbau para ibu agar tidak ikut-ikutan. Mereka harusnya tetap beraktivitas dan bergaul seperti biasa. “Saya katakan kepada para ibu bahwa kita masih bersaudara, tidak perlu bertikai demi tanah,” katanya menerangkan. Tetapi selalu ada kontra ketika kaum ibu dari dua suku yang berdamai. Dalam situasi perang sekalipun, Dette hadir dan memperkenalkan pemberdayaan kaum perempuan.

Lewat peluh, Dette mendapat restu para pejabat di Adonara. Ia lalu memulai pembangunan Center PEKKA Lodan Doe. Melihat perjuangan Dette, banyak orang pun berbelarasa dan ikut ambil bagian dalam pembangunan kantor ini. Tidak saja dalam bentuk uang tetapi bahan material pun disumbangkan. Tak disangka bangunan dari iuran bersama ini kemudian hari menjadi rumah bagi berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan.

Dari rumah ini mengalirlah aneka program pemberdayaan kaum perempuan. Aneka program untuk kepala keluarga feminin tidak saja menyasar soal finansial tetapi juga isu sosial. Ia mengupayakan pendidikan advokasi. Ia membuka kelas baca tulis bagi para ibu yang melek aksara. Ia juga mengangkat isu derajat wanita dalam keluarga dikaitkan dengan hak dan kewajiban mereka. Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga, keseteraan gender, hingga leadership menjadi program unggulan kelompok ini.

Soal perhatian kepada anak-anak, Dette juga mengadakan kebun gizi dan arisan bulanan dari “kaum janda” untuk semua ibu. Dette benar-benar menjadi pahlawan bagi ratusan ibu pejuang di Adonara. Seorang ibu yang melek aksara kini tulisannya telah diterbitkan dalam sebuah buku. Seorang ibu yang tak takut melaporkan suaminya setelah kembali dari perantauan. “Rumah babi” yang dilihatnya dulu kini terlihat asri karena perbaikan ekonomi. Setidaknya sudah ada tiga anggota yang terpilih menjadi kepala desa salah satunya Kepala Desa Nesa Nula, Petronella Penne. “Saya ingin agar para perempuan berani menyampaikan aspirasinya,” bebernya.

Mata rantai perbaikan kehidupan ini pun tercermin dalam bidang pendidikan. Dampak utama sangat dirasakan oleh anak-anak yang putus sekolah bisa melanjutkan pendidikan meski melalui sistem paket. “Kesadaran akan pendidikan tampak seiring membaiknya kondisi ekonomi keluarga,” ujar Dette.

Kadang-kadang Dette harus berbangga diri tetapi ia sadar bahagia itu adalah melihat kaum perempuan tersenyum bahagia. Betapa bahagianya hati seorang ibu ketika bangga memperkenalkan anaknya yang lulus dalam studi. Ia bangga ketika kehilangan sosok suami, tetapi kaum perempuan masih mengangkat muka dan melangkah.

Dari pendidikan, program pemberdayaan menyasar lingkungan luar anggotanya yaitu kaum muda. “Saya usul pada ibu-ibu PEKKA agar anak muda tersebut bisa dihimpun untuk sekadar membaca koran atau buku-buku bekas. Untuk memancingnya, kami membuat pasar senja yang menjual gorengan dan kopi sore sehingga menarik mereka datang. Perlahan kami ajak mereka diskusi,” kisahnya.

Kepedulian terhadap lingkungan sekitar melahirkan program air masuk desa. Lewat kepala desa kaum perempuan lahirlah inovasi baru. Mereka tak mau hidup mereka terbuang percuma dengan mengemis air di kampung tetangga. Dette benar-benar memperkenalkan kaum perempuan sebagai aset utama pembangunan bangsa. Bekerjasamalah dengan kaum perempuan maka kamu akan menemukan arti pribahasa klasik, “surga di telapak kaki ibu”.

Bernadette Deram Bellen
Lahir : Lamawara, Lembata, 17 November 1969
Pendidikan : Universitas Nusa Cendana Kupang
Penghargaan: Trubus Kusala Swadaya 2017

Hermina Wulohering

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here