Marcellina M. M. CM : Selibater Awam CM Pertama dari Indonesia

2032
Evangelisasi dan Pemberdayaan: Mudji mengajar membuat kompos di SMP St Antonius Jakarta Timur.
[HIDUP/ R.B.E. Agung Nugroho]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Panggilan menjadi biarawati sempat singgah dalam kalbunya. Namun ia justru jatuh hati pada ‘panggilan alternatif’ sebagai selibater awam dan menekuni profesi sebagai insan pendidik.

Seorang gadis kecil berusia enam tahun terus merengek agar boleh ikut neneknya yang akan kembali ke Jakarta. Kala itu, sang nenek sedang mengunjungi anak-cucunya di Temanggung, Jawa Tengah.

Tak kuasa menahan tekad si bocah, keluarga pun merelakannya pergi dengan sang nenek. Tak ada persiapan sama sekali, kecuali selembar pakaian yang ia pakai. Sejak itu, ia hidup bersama nenek dan keluarga pamannya di Jakarta.

Secuil cerita ini dikisahkan kembali oleh Marcellina M. Mudjijah, anggota Tarekat Sekular Compagnia Missionaria del Sacro Cuore (Serikat Misionaris Hati Kudus Yesus/CM) Indonesia. “Saya yakin, ada campur tangan Tuhan dalam peristiwa masa kecil saya. Tanpa pengalaman di stasiun itu, kisah hidup saya mungkin akan berbeda,” ungkap perempuan kelahiran Temanggung, 22 Mei 1969 ini. Pengalaman itu pun menjadi tonggak pertama perjalanannya mengenal Kristus.

Mengenal Kristus
Mudji –demikian ia disapa– berasal dari keluarga muslim. Ketika sudah tinggal di Jakarta, ia mulai mengenal Kristen Protestan. Ia dididik sang paman menurut keyakinan yang dihidupi keluarganya. Ia mulai berkenalan dengan cerita tentang Yesus di Sekolah Minggu yang rajin ia ikuti.

Menginjak remaja, Mudji diminta untuk mengantar sang nenek yang ikut katekumen. Neneknya ingin menjadi Katolik. Dengan setia ia menemaninya tiap pelajaran agama. “Tapi waktu itu, saya selalu tidur kalau pelajaran. Mungkin karena yang mendampingi sudah tua dan yang diajar pun orang tua semua,” beber alumna SDN Pondok Bambu 12 Pagi, Jakarta Timur ini.

Kesetiaan menemani sang nenek berbuah. Setelah neneknya dibaptis, terbersit keinginan Mudji untuk mengikuti jejaknya. Kala kelas III SMPN 80 Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, ia ikut katekumen yang didampingi Br St. Sumardi SCJ. Ia pun dibaptis oleh RP Y. Haryoto SCJ saat kelas I SPG-PSKI Budhaya St Agustinus Halim, Jakarta Timur.

“Waktu saya bilang pada orangtua mau jadi Katolik, mereka tak keberatan. Ibu hanya berpesan, ‘Silakan jadi Katolik, yang penting dijalani sungguh’. Keluarga besar pun tak masalah,” ungkap anak kedua dari lima bersaudara pasangan Warkijo dan Siti Jariah ini.

Usai dibaptis, Mudji tetap rajin ikut pelajaran Agama Katolik yang diadakan Br Sumardi di Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur, bagi anak-anak Katolik di sekolah non Katolik. Meski ia bersekolah di SPG Katolik, semangat mendalami agama amat kuat. Br Sumardi berkomentar, “Ini pasti mau jadi suster!”

Figur Inspiratif
Tahun 1990-1995, ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Kateketik (STKAT) Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Kala itu, Mudji terpikat dengan cara hidup J.O.P. Roosa, ibu kosnya. “Bu Rossa tidak menikah. Hidupnya dicurahkan demi pelayanan. Ia aktif dalam kegiatan dan amat peduli dengan panggilan selibat. Jika ada anak yang terpanggil dalam hidup religius, ia berusaha membantu,” ujar Mudji.

Figur selibater awam ini lekat dalam benaknya. Apalagi Mudji pernah berkenalan dengan Tarekat Missionaris Claris (MC) secara intensif semasa SPG. Ia kerap berkunjung ke komunitas MC Duren Sawit dan ikut aneka kegiatan mereka.

“Saya tertarik dengan cara hidupnya (MC, Red). Entah mengapa saat kuliah dan kenal banyak suster, justru panggilan itu luntur. Tapi dalam retret tahunan kampus, justru Bu Roosa menjadi figur inspiratif,” kenang Ketua Seksi Katekese Paroki Bidaracina ini.

Petualangan Rohani
Akhir 1997, RP H. Wardjito SCJ melayangkan tawaran untuk mengenal Tarekat Sekular CM pada Mudji. Sontak ia kaget. “Romo Wardjito pernah mendampingi saya dalam salah satu retret kampus. Ia pun tahu, saya pernah tertarik jadi suster. Tapi saya tak punya gambaran Tarekat Sekular,” ujarnya.

Meski buta, Mudji tetap membuka hati. Ia dibimbing RP H. Henslock SCJ untuk mempelajari Tarekat Sekular yang didirikan RP Albino Elegante SCJ, 25 Desember 1957. Romo Wardjito pun membantunya berkomunikasi dengan Francesca, Pimpinan CM di Bologna, Italia.

Tarekat Sekular ialah Lembaga Hidup Bakti, di mana umat kristiani yang hidup di dunia ramai mengusahakan kesempurnaan cinta kasih dan melaksanakan pengudusan dunia terutama dari dalam (bdk. KHK Kan.710). Dalam Katekismus Gereja Katolik No.929 ditegaskan, “Oleh kehidupan yang secara sempurna dan penuh terarah kepada kekudusan, di mana kehadirannya bekerja sebagai ragi” (bdk. PC art.11). Kesaksian mereka dimaksudkan untuk ‘menyelenggarakan urusan-urusan duniawi menurut kehendak Allah dan meresapi dunia dengan semangat Injili’. Mereka menerima nasihat Injil oleh ikatan kudus serta memelihara persekutuan dan persaudaraan di antara mereka sesuai dengan cara hidupnya yang sekular (KHK Kan.713).

Dua tahun berselang, Mudji mendapat tawaran untuk mengenal CM lebih dekat di Bologna. Ia mengaku nekad menerima tawaran itu. “Saya belum pernah pergi jauh. Naik pesawat belum pernah. Lalu komunikasinya? Saya tak bisa Bahasa Italia. Bahasa Inggris pun seadanya. Pengurusan macam-macam, saya juga tak paham. Semua diurus Romo Henslock. Ini petualangan rohani saya!”

Mudji berangkat bersama enam Fransiskan yang akan berziarah ke Roma. Setiba di Roma, ia disambut para Dehonian di Generalat SCJ. Namun, ia harus naik kereta sendiri ke Bologna. Ia sempat panik saat ketinggalan kereta dan mesti naik kereta berikutnya. Seorang Dehonian lalu menitipkannya pada seorang penumpang agar memberi isyarat untuk turun di Bologna. Pada 1999, arus peziarah ke Kota Abadi begitu padat, menjelang Tahun Yubelium Agung 2000.

Jatuh Hati pada CM
Tiba di Rumah Induk CM Bologna, suasana kekeluargaan langsung terasa. Kehadiran Mudji disambut hangat. Ia diajak mengenal CM secara langsung, menggali panggilannya kembali dan belajar Bahasa Italia. Proses pengenalan yang diagendakan selama setahun akhirnya molor. Berkat bantuan banyak pihak, visumnya diperpanjang dan ia tinggal di sana hingga 20 bulan.

“Tuhan, tunjukkanlah jalan yang Engkau mau,” demikian doa yang selalu ia panjatkan. “Saya selalu ingat kisah Abraham yang disuruh Tuhan berpetualang ke tanah terjanji yang tak ia ketahui. Berkat imannya, ia taat.”

Akhirnya Mudji memutuskan bergabung dengan CM. Pada 29 Juni 2000, Masa Orientasi (Periodo di Orientamento) –formasi dasar mengenal CM– dimulai hingga Juni 2001. Pasca orientasi, ia pulang ke Indonesia dan menjalani Masa Dua Tahun Pembinaan (Biennio di Formazione). Kaul pertama ia ikrarkan pada 27 Desember 2004.

“Pilihan hidup selibat ini saya jelaskan pada keluarga. Mereka butuh waktu untuk memahami panggilan hidup saya sampai akhirnya paham,” ungkap Koordinator CM Indonesia (2003-2010) ini.

Pekerjaan sebagai guru Agama Katolik pun terus ia tekuni sembari aktif di lingkungan dan paroki. Sejak 1994, Mudji mengajar pada SD dan SMP St Antonius Jakarta Timur. Pada 2003-2005, ia juga mengajar Pengantar Pendidikan Teologi dan Pendidikan Teologi pada SLTP di FKIP Atmajaya Jakarta. “Kami dituntut bekerja profesional dan menghidupi diri kami sendiri,” jelas anggota CM yang berkaul kekal pada 11 September 2010.

Awalnya, Mudji menjadi satu-satunya anggota CM di Indonesia. Namun kini ada lima anggota, bahkan sejak 27 Januari 2014 sudah resmi sebagai kelompok mandiri. Mereka pun sowan (menghadap) uskup di mana mereka tinggal dan menyerahkan statutanya. “Gereja butuh ‘panggilan alternatif’ ini: terjun dalam masyarakat dan berdaya tahan. Sayang, anggota Tarekat Sekular di Indonesia amat sedikit. Selain kurang dikenal dan dipromosikan, juga kurang didoakan,” demikian Mudji.

R.B.E. Agung Nugroho

HIDUP NO.18, 4 Mei 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here