Teolog Sampaikan Kritik Teologis atas Dokumen Sinode Orang Muda

382
[Dok.Synod2018.va]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com Seorang teolog yang dihormati asal Amerika Utara mengirimkan tulisan kritik atas Instrumentum Laboris (IL) atau Dokumen Kerja Sinode Orang Muda kepada Uskup Agung Philadelphia, Charles J. Chaput.

Ia adalah salah satu perwakilan uskup Amerika Serikat yang diutus untuk menghadiri sidang sinode yang diadakan Oktober mendatang di Vatikan. Menurut Uskup Agung, pihak lain boleh saja memiliki pendapat berbeda, namun katanya, “(kritik) ini cukup substantif untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan dan diskusi lebih luas.”

Menurut sang teolog, IL ini memang membahas realitas kehidupan anak muda dari aspek sosial-budaya. Sayangnya, gagal untuk membahas masalah keimanan dan isu moral secara lebih dalam. Ia pun menjabarkan lima masalah pokok teologis draf IL tersebut.

Pertama, adanya paham naturalisme yang tampak dalam dokumen ini. Salah satunya ada dibahas di pasal 144, di mana “ada banyak pembahasan tentang keinginan orang muda; namun hanya sedikit membahas bagaimana agar keinginan ini diubah menjadi rahmat supaya sejalan dengan kehendak Tuhan.”

Menurutnya, IL hanya mengkatalogkan realitas ekososbud orang muda. Namun, “tidak menawarkan refleksi spiritual, eksistensial, dan keprihatinan moral yang berarti.”

Kedua, ia menyinggung bahwa dokumen tersebut berisi “pemahaman yang kurang mendalam akan otoritas Gereja,” sebab “keseluruhan dokumen didasarkan pada kepercayaan bahwa peran utama magisterium Gereja sebatas ‘mendengarkan’.”

Dengan menekankan bahwa peranan Gereja hanya sebatas memberikan telinganya dan menjembatani dialog, memberi kesan bahwa “Gereja tidak memiliki kebenaran mutlak karena harus memperhitungkan juga suara-suara lain,” tulis teolog. “Mereka yang memegang peranan sebagai pengajar atau pengkhotbah di Gereja harus mengurangi otoritas mereka dengan dialog sebagai penyeimbang,” tambahnya.

Ketiga, para teolog membahas tentang “antropologi teologis yang setengah-setengah” dari IL, yang mana “gagal untuk menyinggung soal kehendak (will)” ketika berbicara tentang manusia.

“Kehendak pada dasarnya terhubung pada kebaikan,” tulisnya. “Konsekuensi teologis atas kelalaian ini menjadi luar biasa penting, sebab seyogyanya kedudukan moral bertumpu pada kehendak Ilahi, bukan pada perasaan yang mudah berubah-ubah.”

Keempat, ia membahas tentang merajalelanya konsep relativisme kepada panggilan sehingga memberi kesan bahwa “panggilan hanya terpusat pada pencarian makna dan kebenaran pribadi saja.” Padahal panggilan mencerminkan kehendak Ilahi bukan berasal dari olah keputusan manusia.

Permasalahan pokok terakhir di IL adalah pemaknaan yang kering akan sukacita dalam Kristen. Kehidupan spiritual dan moral, “seolah-olah direduksi menjadi aspek afeksi semata.” Hal ini terlihat pada pasal 130, dimana ‘sukacita’ hanya menjadi suatu konsep sentimentalis.

Menurut sang teolog, dokumen tersebut hanya menggambarkan sukacita sebagai “suatu keadaan afektif yang banyak melibatkan perasaan bahagia.” Padahal sukacita sejati adalah buah dari kemurahan hati yang ditandai dengan menempatkan relasi dengan Tuhan di atas segala-galanya. Di sini IL tidak mencantumkan ajaran tersebut.

Konsekuensi akan pemahaman sukacita seperti ini ialah dangkalnya “pemahaman akan teologi salib” yang sebenarnya menjadi dasar kekuatan beriman umat Katolik. “Sukacita hidup Kristiani bukanlah antitesa dari penderitaan, melainkan menjadi bagian penting dalam bentuk mengemban salib,” tulisnya.

“Dokumen ini meninggalkan kesan bahwa orang Kristen sejati akan terus bahagia (tanpa masalah). Lebih lanjut (dokumen) ini menyiratkan kekeliruan bahwa kehidupan spiritual itu sendiri akan selalu membuahkan sukacita (perasaan).”

Dari hasil refleksinya, sang teolog mempertanyakan, “Apakah tugas Gereja untuk membuat orang muda ‘merasa dicintai oleh Ia (Tuhan) atau untuk membantu mereka mengetahui bahwa mereka sungguh dicintai, terlepas dari apapun yang mereka rasakan?”

 

Sumber: ewtnnews.com/catholic-news
Diterjemahkan oleh: Elisabeth Chrisandra J.T.D/Felicia Permata Hanggu

1 COMMENT

  1. Elisabeth Chrisandra and Felicia Permata Hanggu were excellent translators with good understanding of Catholic theology. Keep up your great work!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here