Maria Aegyptica/Santa Maria dari Mesir (abad-IV) : “Pengantin Ziarah” di Bait Allah

784
St Zosimus saat memberikan Komuni Kudus kepada Santa Maria dari Mesir.
[mariaaegyptica.org]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Ia melacurkan diri demi kenikmatan sesaat. Allah menegurnya dan mengubah hidupnya sebagai seorang pertapa di Padang Gurun Yordania.

Di halaman Bait Allah Yerusalem, Maria menjajakan diri. Berpakaian tak pantas, Maria menggoda setiap lelaki yang hendak mengikuti Pesta Salib Suci (Feast of the Exaltation of the Holy Cross). Semua orang memandang remeh terhadap Maria, khususnya para wanita. Mereka mencemooh dan menganggap Maria telah menodai kesucian rumah Allah. Kemah Suci tidak lagi dikultuskan oleh kehadiran Maria. Wanita “najis” tanpa suami ini dianggap berdosa.

Ia menumpangi kapal menuju Yerusalem pun tanpa membayar ongkos. Tubuhnya diberikan sebagai ganti ongkos. Maria tiba di Yerusalem bukan tanpa alasan. Ia menyadari bila bertahan hidup di Alexandria, Mesir, maka pendapatan dari menjual diri tidak akan bertambah. Para peziarah yang menyemut di Yerusalem bisa menjadi alasan untuk menikmati hidup. Saat itu para peziarah datang dari Mesir, daerah-daerah di dekat lembah Kidron, Tel Aviv, Betlehem, dan daerah lainnya untuk menghormati Relikwi Salib Suci yang ditemukan kembali oleh Santa Helena, ibunda Raja Konstantinus Agung.

Estetika Tubuh
Maria hidup sebagai pelacur selama hampir 17 tahun. Profesi pelacur digadang-gadang sebagai salah satu jenis pekerjaan tertua di Mesir. Sejak sebelum masehi, dalam kitab-kitab Agama Samawi bahkan sudah tertera kepuasan syahwat. Sebut saja bisnis haram di Kota Sodom dan Gomorah yang habis dilalap si jago merah, hingga raja-raja yang memiliki banyak istri, selir atau gundik.

Negeri Firaun sebagai salah satu sumber peradaban bangsa-bangsa di dunia juga tak terlepas dari gemerlap industri prostitusi. Meskipun negara terbesar di Timur laut Afrika dan Timur Tengah ini menganggap ilegal perdagangan seks. Di satu sisi tak bisa dipungkiri bisnis demikian di Mesir merupakan indikator penting bagi kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya.

Maria dibesarkan dalam situasi dimana penghargaan tertinggi terhadap nilai estetika pada tubuh dan arkeologi sangat dijunjung. Maria hidup di zaman dimana tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil, dan meningkatkan kekuatannya. Entitas purba ini menyimpan sejumlah misteri dan karenanya selalu menarik dalam penelusuran esensinya.

Di Mesir zaman Maria, Budaya Patriarki memuncaki nilai estetika soal tubuh pada kaum perempuan. Perempuan dan tubuhnya semacam posisi khusus dalam teater kehidupan sosial yang mempertontonkan estetika. Sebagaimana sesuatu yang dinilai indah, maka kaum perempuan zaman itu berjuang untuk mempertontonkan nilai estetika yang dikagumi itu. Maria dibesarkan dalam pusaran arus estetika tubuh yang dilabelkan pada kaum Hawa.

Maria seorang yang anti ziarah apalagi ke kuil-kuil untuk menyembah sesuatu yang tak mendatangkan kebahagiaan. Pesta Salib Suci hanyalah tameng bagi Maria sebagai “pengantin peziarah”. Untuk sampai ke Yerusalem, Maria harus membayar biaya perjalanan dengan menjajakan tubuhnya. Tubuh sebagai primus interpares (pertama diantara setara) tidak lagi dipertimbangkan Maria. Ia benar-benar tergoda dalam kenikmatan sesaat sebagai konsekuensi dari subjektif aktor. Tubuh hanya dijadikan objek pemuas sesaat.

Santo Sophronius Patriarkh Yerusalem (634–638) dalam otobiografi menulis apa yang digadang-gadang Maria sebagai “pengantin peziarah” tidak didapat. Ia menjadi bertanya-tanya kenapa kemolekan tubuhnya tidak menarik simpati para pria peziarah. Ia lalu memutuskan untuk mencari cara lain dengan ingin masuk dalam Gereja Makam Suci Yerusalem (Sanctum Sepulchrum). Di tempat yang dipercayai sebagai makam Yesus, Maria ingin “mengais rezeki”. Tetapi ketika tiba di dalam gereja tersebut, Maria menatap ikon Theotokos (Bunda Allah-Maria).

Ia merasakan Bunda Allah sedang merana menyaksikan dirinya. “Jika Anda menyeberangi sungai Yordan, Anda akan menemukan tempat istirahat yang mulia,” pesan Bunda Maria kepadanya saat itu. Wanita berdosa itu lalu berlutut dan menangis tersedu-sedu. Ia menyesali segala dosanya. Ia memohon pengampunan dan berjanji akan mengikuti perintah Bunda Tuhan dan menjadi seorang pertapa.

Pertapa Abadi
Pesan itu membawa Maria menuju Sungai Yordan. Ia singgah di Biara Santo Yohanes Pembaptis yang berada di tepi sungai itu. Di sana ia menerima Sakramen Pengampunan Dosa dan menjalani laku silih yang berat. Selanjutnya, ia menyeberangi Sungai Yordan menuju padang gurun untuk menggenapi kaulnya dan menebus dosa-dosanya dengan menjadi pertapa. Dia hanya membawa tiga roti dan mulai menjalani hidup matiraga.

Maria bertapa selama hampir 50 tahun di padang gurun di sisi Timur Sungai Yordan. Dia hidup dalam keheningan dan doa yang khusuk, serta hanya makan daun-daun atau buah-buahan yang jatuh ke tangannya. Kehidupan asketiknya dijalani sebagai pemulih atas dosa-dosanya. “Ia menjadi wanita yang tahan godaan. Ia belajar mengendalikan nafsu tak teratur dan menyesali dosanya,” tulis Sophorinus.

Suatu hari Maria yang sudah tua renta bertemu seorang biarawan bernama Santo Zosimus dari Palestina yang tinggal di biara kecil di tepi sungai Yordan. Wanita hermit ini meminta Zosimus membawakan komuni kudus pada hari Paskah. Ketika Zosimus memenuhi keinginan itu, Maria menemuinya di seberang sungai dengan cara berjalan di atas permukaan air. Setelah menerima Komuni Kudus, Maria meminta kepadanya untuk kembali memberi komuni pada Paskah berikutnya.

Saat bertemu dengan Zosimus, Maria benar-benar telanjang. Ia kemudian meminta kepada Zosimus untuk memberikan mantelnya untuk menutupi tubuhnya. Dalam tulisan Sophorinus di abad VI, dikatakan Maria hampir tidak dikenali sebagai manusia. Ia benar-benar kusam dan kotor. Tubuhnya kurus dan tak terawat. “Tetapi dibalik matanya tersimpan kekudusan yang mendalam. Ia telah menemukan Tuhan dalam masa-masa asketiknya.”

Sayang, setahun kemudian, Zosimus kembali dan mendapati tubuh Maria sudah tidak bernyawa. Tubuh pertapa wanita ini sudah lama meninggal dunia, namun tubuhnya tetap utuh dan tidak berbau. Di sekeliling tempat tinggalnya bau harum semerbak. Zosimus lalu memakamkannya dengan bantuan seekor singa yang lewat dekat tempat tersebut.

Tidak ada tanggal yang pasti soal kematiannya. Dalam Catholic Encyclopedia Maria disebutkan meninggal sekitar tahun 421. Dalam sebuah artikel Wiki Ortodoks disebutkan Maria meninggal tahun 522. Dalam sebuah tulisan para rahib yang dimuat dalam Prolog Ohrid disebutkan Maria meninggal 1 April 530 bertepatan dengan hari Kamis Putih.

Banyak tulisan mengenal Maria dari ikonografi Mesir dimana Maria digambarkan sebagai wanita tua berkulit kecokelatan dan kurus dengan rambut abu-abu yang tidak terawat, telanjang atau ditutupi dengan mantel yang dia pinjam dari Zosimus. Gambarnya sering ditunjukkan dengan tiga roti yang dibelinya sebelum melakukan perjalanan ke padang gurun.

Kehidupannya dihormati sebagai pelindung orang-orang berdosa yang bertobat. Ia dihormati di Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Ortdoks Oriental. Di Italia, Maria diasosiasikan sebagai pelindung para wanita yang pernah jatuh dalam dosa seperti Maria Magdalena. Banyak Gereja juga didedikasikan kepada Maria seperti Gereja Sta Maria Egiziaca a Forcella di Roma, Italia; Gereja Sta Maria Egiziaca a Forcella Napoli; Gereja Sta Maria Egiziaca a Pizzofalcone Napoli; dan Gereja Makam Kudus Yerusalem. Setiap Hari Minggu Paskah V, Gereja Katolik Bizantium juga memperingati hari raya St Maria.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here