Tentang Bahagia

258
3.5/5 - (18 votes)

HIDUPKATOLIK.com Sejak pukul 11.00, aku tidur di kamarku. Ketika hari menjelang sore, perutku memberontak dan meminta makanan. Aku hanya bisa menahannya dan menenangkannya sambil terus mencari solusi.

Seandainya masih seperti “di dalam” dulu hidupku pasti tidak akan seperti ini. Karena semuanya sudah disediakan dan aku hanya tinggal makan. Namun sekarang, aku kesulitan untuk makan karena memang beras sudah habis.

Aku juga kesulitan tidur karena terus menahan lapar. Aku pun membaringkan diri lagi sambil mengingat-ingat keputusan “itu” diambil.

Aku seolah-olah masuk dalam peristiwa tersebut. Semuanya itu berawal dari ketika aku pulang kuliah.

***

Di bawah terik matahari, aku mendayung sepedaku yang reyot. Seluruh bajuku basah bukan karena disiram oleh air tetapi disiram oleh keringatku sendiri. Aku memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon mangga sambil memandang kendaraan yang lewat di depanku.

Aku melihat seseorang yang membawa motor. Aku melihat seorang anak muda yang membawa mobil. Seseorang lagi membawa motor memboncengi seorang perempuan, mungkin istrinya atau pacarnya atau teman atau mungkin juga saudaranya barangkali.

Aku melihat mereka semua sangat bahagia menjalani hidup mereka masing-masing.
Aku hanya bisa mengumpat menyaksikan itu semua.
“Mengapa hidupku seperti ini?
Mengapa aku membawa sepeda rusak ini? Ah… sadisnya hidup ini. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan.”

Aku terus mengumpat dan memaki-maki hidupku sendiri sambil menendang sepeda di sebelahku. Tiba-tiba pikiran itu pun datang.

“Yah…aku harus keluar. Aku harus mengundurkan diri. Aku tidak mau hidup sengsara seperti ini. Aku pasti bahagia, apabila aku hidup di luar. Aku pasti bebas hidup di luar tanpa membawa sepeda butut ini.”

Sampai di biara, aku langsung menuju kamar romo selaku pemimpin komunitas.
Aku mengutarakan maksud kedatanganku karena aku sudah tidak bahagia dan betah tinggal di dalam biara. Romo memberiku waktu tiga hari untuk merefleksikan keputusan tersebut.

Selama tiga hari itu, aku hanya berimajinasi tentang indah dan enaknya hidup di luar biara. Ketika sudah waktunya, aku dengan mantap mengatakan bahwa aku tetap pada keputusanku, yakni keluar dari biara.

Hari itu juga, setelah berpamitan dengan para romo dan frater yang lain, aku langsung menuju tempat baruku yakni kos.

Pada malam harinya, sebagai bentuk perayaan “hari bebas”, aku membeli rokok dan mentraktir teman-teman frater yang bolos dari biara dan yang datang ke tempat baruku itu. Aku dan teman-teman ber-euforia bersama merayakan hari kemerdekaanku itu.

***

Sampailah pada saat ini, aku hanya mampu berbaring menahan rasa lapar dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Uangku sudah habis, semuanya sudah habis ditelan kebebasan dan kesenanganku selama ini.

“Ah… ternyata sama saja hidup di luar dan di dalam biara. Semuanya tidak bahagia dan penuh kepahitan.”

Sementara aku merenungkan nasibku, hp-ku berbunyi. Ternyata seorang teman frater menelepon dan meminta pendapat dariku. Karena ia juga mau keluar katanya ia tidak bahagia tinggal dalam biara dan melihat diriku sangat bahagia ketika hidup di luar biara.

Sebelum memberi pendapat, aku lama terdiam memikirkan seluruh peristiwa yang terjadi dalam hidupku selama ini. Sambil menarik napas dalam-dalam, aku mengatakan hal ini,

“Teman, apa yang kamu alami sekarang sama seperti yang kualami dulu. Aku berpikir bahwa hidup di luar biara lebih bahagia daripada di dalam biara. Ternyata tidak!
Teman. Ada satu hal yang menjadi pelajaran buatku sekarang dan mungkin juga baik kuberitahukan padamu.”

Aku melanjutkan, “Seringkali aku melihat bahwa orang-orang di sekitarku merasa bahagia ketika menjalani hidup mereka. Namun, ternyata sebagian dari mereka juga berpikiran seperti diriku. Mereka berkata kepadaku betapa bahagianya kamu.”

“Teman, kebahagiaan itu bukan terletak pada apa yang kita lihat di sekitar kita. Kebahagiaan itu tergantung dari kita yang menjalani kehidupan ini. Apabila kita bisa menikmati dan memaknai setiap moment dalam hidup maka kebahagiaan itu akan datang kepada kita. Kebahagiaan itu diciptakan oleh diri kita sendiri.”

“Orang yang selalu mengeluh dan berkata betapa bahagianya mereka adalah orang yang belum menemukan makna hidup yang dia jalani setiap hari. Dan salah satunya adalah diriku.”

Setelah percakapan itu, aku kembali memikirkan dan merenungkan hidupku.
“Ah… setidaknya aku bisa belajar dari peristiwa yang terjadi dalam hidupku selama ini. Aku tidak boleh lagi mengambil keputusan, hanya karena aku melihat sisi baik dari peristiwa yang akan aku jalani selanjutnya.

Aku juga harus melihat kemungkinan buruk apabila aku mengambil keputusan itu. Dan sekarang aku sudah mengambil keputusan itu.

Walaupun keputusan tersebut merupakan kesalahan terbesar dalam hidupku, aku akan tetap menerima resiko dari keputusan itu.” Aku pun langsung bangun dari tempat tidur dan mulai menata hidup baruku ini.

 

Kardianus Manfour

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here