Menikahi Orangnya, Bukan Agamanya

3857
Pasutri Swandy Sihotang dan Maryati.
[NN/Dok. Pribadi]
4.3/5 - (7 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Kami saling mengingatkan untuk tetap setia pada iman kami. Bila kelak hidup dalam iman yang sama itu karena kemauan sendiri bukan paksaan. Sebab berbeda itu indah.

Cinta tapi beda. Saat cinta merasuk ke jiwa, itu jelas anugerah dari Tuhan. Cinta tidak mengenal perbedaan karena sifatnya menyatukan bukan memisahkan. Hanya kebencian, peperangan, dan ego yang memisahkan. Lalu bagaimana jika ada yang saling cinta namun beda agama? Jika Tuhan mempertemukan, mengapa agama (manusia) harus memisahkan?

Pertanyaan ini benar-benar mengusik hati Swandy Sihotang. Mantan frater Kongregasi Hati Tak Bernoda Maria (Congregatio Immaculati Cordis Mariae/CICM) ini menceritakan bagaimana perjuangan mendapatkan cinta Maryati, gadis Muslim yang taat. Swandy bertemu Maryati di Pantar Gerbang, Bekasi, Jawa Barat. “Pada suatu saat diadakan pertemuan kaum buruh dari berbagai wilayah. Di saat itu saya melihat ada seorang gadis cantik yang kemudian menjadi isteri saya,” ujarnya.

Menentang Perbedaan
Dari perkenalan itu, Swandy dan Maryati mulai berteman. Hubungan ini makin erat ketika Swandy memutuskan keluar dari seminari lalu menjalin hubungan dengan Maryati. Hampir delapan tahun keduanya pacaran. “Di tahun kelima kami putus hampir setahun itu karena keluarga meminta kepastian dari saya. Di satu sisi saya mau tetapi di sisi lain orang tua saya tidak setuju,” kisah Swandy.

Karena relasi yang berlanjut, keduanya lalu membagi tugas untuk masing-masing berbicara kepada orang tua. Demi memperjuangkan cinta, Swandy membawa Maryati ke Tapanuli, Sumatera Utara. Orang tua Swandy langsung menyetujui hubungan itu karena calon istri adalah wanita yang baik. “Saya tidak ingin masuk Islam dan saya tidak perbolehkan istri masuk Katolik sehingga kami memutuskan nikah beda agama. Keputusan itu didukung oleh keluarga kedua bela pihak.”

Keduanya menikah secara Katolik di Paroki St. Yohanes Pembaptis Pakkat, Sumatera Utara. Kini, sudah 14 tahun Swandy dan Maryati hidup bersama. Swandy tetap berusaha menjaga perbedaan da menjalani agama masing-masing.

Bayu Sutopo dan Evilina Rahayu pun menikah beda agama. Evilina mengakui, bahwa karena cinta ia yang beragama Katolik berani menjalani bahtera rumah tangga dengan Bayu yang Muslim. Perempuan kelahiran Jakarta 11 September 1960 menceritakan bahwa mereka memutuskan menikah setelah lima tahun menjalani masa pacaran. “Semua terjadi begitu saja dan tidak ada masalah soal perbedaan agama kami. Kami saling mengisi hingga akhirnya menikah,” ujar Evilina.

Evilina dan Bayu menikah secara sipil pada 10 September 1984 dan keduanya menikah secara Katolik di Paroki Hati Kudus Yesus Kramat, Jakarta Timur pada 4 November 1984 dan diberkati oleh Pastor Urbanus Kopong OFM. Keputusan untuk hidup bersama dalam perbedaan didasari pada kedewasaan antara Evelina dan Bayu. Keputusan ini tidak mendatangkan kekecewaan dari pihak keluarga karena keluarga sangat moderat.

Evilina juga menjelaskan bahwa sejak awal, sang suami sangat berkomitmen dengan janji perkawinan untuk mendidik anak-anak secara Katolik. Evilina menceritakan bahwa Bayu bahkan ingin memasukan anak-anaknya ke asrama di Sekolah De Britto Yogyakarta tetapi anak-anak tidak mau. “Saya sangat komit dengan janji perkawinan sekali seumur hidup dalam Katolik. Meski Berbeda dalam agama pendidikan anak harus Katolik,” janji Bayu.

Menjadi keluarga beda agama tentu bukan perkara mudah sebab banyak tantangan. Perbedaan itu, bagi Bayu dan Evilina sangat terasa ketika menyambut hari-hari besar keagamaan. Kalau puasa, Evilina akan memasak untuk suaminya dan keluarga besar. Begitu sebaliknya ketika hari Minggu, Bayu mengantar Evilina ke gereja atau bersama-sama mengikuti jalan salib dan kunjungan ke Gua Maria. “Kami menjalani semua itu dengan indah tanpa ada paksaan dari seorang pun. Kami benar-benar mengalami bagaimana hidup dalam perbedaan yang menggembirakan,” tutur Bayu.

Butuh Pemahaman
Menyinggung soal pendidikan anak, keluarga Accha Andhikarani dan Matius Subagio punya pengalaman lain. Pasutri beda agama Budha dan Katolik ini sebelum menikah telah sepakat untuk membagi iman anak dimana laki-laki harus beragama Katolik dan perempuan beragama Budha. Hampir 15 tahun kedua pasangan ini telah menikah dan dikarunia sepasang anak. “Karena kesepakatan kami maka kedua anak kami terbagi yang pertama mengikuti saya dan kedua mengikuti ibunya,” jelas kelahiran Magelang, 20 September 1969 ini.

Theo, demikian sapaan Matius menceritakan awal mengenal Accha saat sama-sama masih di bangku kuliah. Umat Paroki St Laurentius Alam Sutera ini berani mengungkapkan perasaannya ketika sama-sama terlibat dalam beberapa aksi sosial. Awal menyampaikan perasaannya, Theo ditolak oleh Accha. Selain situasi ekonomi juga karena perbedaan agama. Accha adalah anak orang berada dan keturunan Tianghoa. Orang tu Accha pemilik perusahaan sementara Theo berasal dari keluarga biasa.

“Saya menyatakan perasaan dan Accha menolak. Dengan berbagai cara mencari perhatian Accha tetapi ia lebih memilih teman saya yang sama suku dengannya. Tetapi saya tidak putus asa. Selama lima kali saya mengungkapkan perasaan baru saya diterima. Benar-benar butuh perjuangan untuk mendapatkan cintanya. Bisa jadi dia menerima saya karena kasihan melihat aku,” ujar Theo sambil tersenyum.

Achha menjelaskan bahwa agama baginya adalah bersifat pribadi dan tidak dapat diganggu gugat. Orang harus bebas beragama dan mengeks-presikan imannya. Ia setuju bila dikatakan Indonesia benar-benar diuji soal kebebasan beragama. “Karena itu ketika kami menikah kami ingin memberi pesan lain bahwa kekuatan cinta itu menjadi modal utama bagi keluarga untuk hidup bersama.”

Keberanian untuk memilih Theo, bagi Accha bukan tanpa alasan. Ia melihat sang suami sebagai sosok bertanggungjawab dan suka tantangan dalam diri pasangannya. Ia merasakan Theo itu seorang yang mampu menerima diri dan tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan. “Saya kagum karena dia tidak memaksa saya menjadi Katolik padahal beberapa kali saya minta dia masuk Budha tetapi dia mengatakan lebih baik bercerai daripada menjadi Budha. Ini suatu komitmen yang luar biasa,” ujar Accha.

Keteguhan Iman
Keteguhan untuk mempertahankan iman juga dirasakan oleh pasutri Yohana Erni Riberu dan I Gusti Ngurah Jaga Antara. Yohana bercerita sejak muda orang tuanya sangat fanatik terhadap Katolik. Baginya menjadi Katolik dari kecil adalah sebuah rahmat yang tak bisa di lepaskan begitu saja bahkan berharap kelak menikah dengan pria seiman.

Sayang jodoh berkata lain. Umat Paroki St Arnoldus Yansen Tambolaka, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur ini mendapat jodoh Gusti, seorang beragama Hindu yang taat. Sebagai orang Katolik, Yohana benar-benar menyangsikan apakah Gusti adalah pasangan hidupnya. “Banyak sekali tantangan ketika yakin ingin menikah dengan suami saya. Tetapi saya yakin waktu yang akan menjawabnya,” ujar Yohana.

Pergolakan batin paling dirasakan adalah setelah menikah, Yohana memilih mengikuti agama suaminya. Keputusan ini diambil sebagai bentuk ketaatan terhadap suami dan juga masa depan anak-anak. “Kendati sudah menjadi Hindu, saya setiap hari selalu berdoa seperti Salam Maria dan Bapa Kami. Saya tidak ingin melupakan begitu saja iman saya,” ujar Yohana.

Kekuatan doa membuka jalan bagi Yohana. Tahun 2015, Gusti bertanya apakah tidak ada keinginan untuk balik ke Katolik. Yohana tidak sendirian. Gusti mengizinkan tiga anaknya Gusti Agung Putri Wulandari, Gusti Ayu Mardili Ningsih, dan Gusti Ayu Agustini Dewi untuk memilih imannya. Ketiganya memilih menjadi Katolik sementara Gusti tetap beragama Hindu. “Saya benar-benar merasakan bahwa istri saya seorang pendoa. Saya tahu bahwa istri saya ingin kembali ke agama aslinya. Karena itu saya berpikir untuk merelakan istri saya memilih agama yang terbaik baginya,” ujar Gusti.

Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Willy Matrona

HIDUP NO.36 2018, 9 September 2018

1 COMMENT

Leave a Reply to John Nahar Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here