Gereja di Persimpangan Jalan

340
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Seperti halnya dengan kunjungan ke Chile, kunjungan Paus Fransiskus ke Irlandia merupakan kunjungan yang pelik. Keduanya ditandai dengan persoalan penyelewengan seksual dan penyalahgunaan kekuasaan di dalam tubuh Gereja. Namun, kasus yang menyertai kunjungan Paus ke Irlandia terlihat begitu kuat dan menyesakkan, karena melibatkan seorang kardinal. Apalagi kemudian muncul desakan dari mantan duta besar Vatikan di Amerika Serikat (AS), Carlo Mario Vigano, agar Paus Fransiskus mengundurkan diri, karena dituduh menutupi perkara yang terjadi di AS.

Lama seakan menjadi suatu tradisi dalam Gereja, kalau ada sesuatu yang kurang beres dalam kepemimpinan Gereja, maka orang lebih menyarankan agar sabar, menunggu ada pergantian kepemimpinan, pun juga kalau itu terkait dengan Paus. Maka nyaris tidak terdengar desakan agar Paus mundur. Benar, pada saat kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II ada petisi kepada Paus, dari kalangan beberapa teolog, namun semua itu berlalu, tidak terdengar dan tidak bergema.

Namun, desakan yang muncul di hari-hari ini terdengar kencang, karena didukung oleh media dan kelompok tertentu yang kuat dan militan. Surat dari Uskup Agung Vigano diberitakan didukung oleh seorang jurnalis Italia dan seorang pengacara AS, yang juga menguasai sebuah media besar. Beberapa kalangan kemudian menengarai bahwa mereka ini dari kalangan konservatif, yang memang sejak lama sudah memiliki kecenderungan menolak Paus Fransiskus.

Krisis Kepemimpinan
Krisis kepemimpinan tidak dimaksudkan di sini tentang pribadi atau jabatan tertentu. Dimaksudkan di dalamnya lebih adanya sesuatu yang keliru dalam tubuh Gereja, dalam cara atau proses pemilihannya maupun cara bertindak dalam menjalankan peran kepemimpinan tersebut. Orang bertanya, kalau benar tuduhan yang dialamatkan ke Kardinal Theodore McCarrick, bagaimana mungkin dia bisa diangkat menjadi uskup, kardinal bahkan menjadi seorang tokoh penting dan menentukan dalam Gereja.

Ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pemilihan. Kemudian, kalau benar bahwa Paus Benediktus XVI sudah pernah memberikan sanksi kepadanya, namun sanksi tersebut seakan tidak berfungsi, bahkan tidak terdengar, pasti ada sesuatu yang tidak lazim dalam tubuh Gereja. Carlo Vigano menuduh Paus Fransiskus tahu sanksi itu dan tidak menerapkannya. Ada persoalan penyalahgunaan kekuasaan.

Paus dalam suratnya kepada seluruh Gereja menanggapi kasus tersebut, menyebut akar persoalan, yakni kultur klerikalisme di dalam tubuh Gereja. Sudah beberapa kali Fransiskus menyebut klerikalisme sebagai salah satu bahaya yang mengancam tubuh Gereja. Dikatakan tentangnya tentang budaya kekuasaan, di mana kekuasaan itu lebih melayani dirinya sendiri, tidak menghantar orang kepada Allah. Hasilnya, pelayan Gereja yang hatinya beku, sikapnya kaku, sehingga tidak punya hati.

Klerikalisme tersebut menurutnya tidak hanya dimiliki oleh kaum imam-religius, namun tidak sedikit kaum awam pun ditengarainya memeluk budaya tersebut. Tandanya adalah sikap tertutup, lalu mudah merasa diri beres, sehingga orang mudah berpegang pada status atau kuasa, bahkan lalu cenderung memamerkan aksesori untuk menunjukkan bahwa dirinya itu penting dan berarti.

Kalau memperhatikan kecenderungan untuk menutupi perkara atau menganggap enteng persoalan yang terjadi, sehingga lalu tidak menyelesaikan masalah yang menerpa. Kita bisa mengerti bahwa ada suatu ketidaktepatan dalam menjalankan fungsi kepemimpinan dan peran pelayanan di dalam tubuh Gereja. Gereja dipandang abai pada kurban, terlebih kurban dari pelecehan seksual pada anak, pedofilia. Yang ada adalah kepemimpinan yang lebih sibuk pada dirinya sendiri, yang lebih mau cenderung mempertahankan status dirinya, sehingga lebih dijalankan untuk melayani dirinya sendiri. Tidak mengherankanlah kalau kemudian muncul ajakan untuk merefleksikan ulang pemahaman mengenai imamat, pelayanan dan pastoral Gereja.

Fransiskus kemudian mengajak seluruh Gereja untuk bertobat. Persoalannya tidak sekadar pada para pemimpin dan pelayan Gereja, namun ini adalah persoalan seluruh tubuh Gereja. Kita tidak bisa berlindung pada fakta bahwa persoalan yang terjadi tidak hanya dialami dan terjadi di kalangan Gereja. Karena kita adalah Gereja, maka kita malahan harus lebih berusaha agar kasus-kasus tersebut, lebih soal yang terkait dengan seksualitas, jangan sampai terjadi di dalam tubuh Gereja. Selain itu, kita harus lebih peduli pada kurban, bukannya malahan membela diri, ataupun pelakunya kalau kita klerus, dengan menutupi atau menganggap enteng perkaranya.

Tidak Menuding
Krisis yang terjadi senantiasa merupakan undangan untuk bertobat. Pertobatan senantiasa ditandai dengan pengakuan diri akan kerapuhan dan kelemahan dirinya. Gereja diajak Paus untuk mengakui bahwa dirinya gagal: gagal menghindari pelanggaran dan gagal dalam membela kurban. Gereja, karenanya, tidak sanggup menyembuhkan luka, padahal luka satu orang adalah luka seluruh tubuh. Maka sebenarnya Gereja sedang terluka.

Di tengah kenyataan tersebut tidaklah saatnya menuding dan menuduh, apalagi lalu meminta Paus mengundurkan diri. Apalagi lalu desakan-desakan tersebut seakan digerakkan lewat desakan massa, opini publik, sesuatu yang sebenarnya bukan cara Gereja. Bila itu sudah terjadi, maka sebenarnya yang lebih terasa adalah ideologisasi kasus pelanggaran seksual. Kita ingat pesan Paus kepada Vigano saat masih menjabat duta besar Vatikan, para Uskup jangan terlalu sibuk dengan perdebatan ideologi, karena bisa lupa untuk melayani.

Begitu saja serta merta menuduh, bisa jadi sikap gegabah. Memang Paus dituduh lamban dalam menangani kasus-kasus yang ada. Akan tetapi, dia berpijak jika kasus lebih baru bersifat opini, belum ada pembuktian valid, tidak bisa begitu saja sanksi diterapkan. Apalagi, cukup sering mereka yang terlibat dalam perkara itu menyatakan diri tidak bersalah, maka tentu tidak mudah lalu untuk bisa segera menyelesaikan. Tentu di sini ada tegangan, antara keberpihakan segera akan kurban dengan pembuktian akan kebenaran perkaranya yang relatif tidak berjalan amat cepat.

Ajakan Paus untuk bertobat, bahkan dengan doa dan matiraga, menjadi berarti di sini. Persoalannya bukan terutama siapa yang berbuat, namun mengapa persoalan-persoalan tersebut, betapapun sudah diupayakan langkah-langkah penyelesaian, masih saja terjadi dan perkaranya tidak cepat tertangani. Bahwa ada imam dan uskup yang terlibat, tidak berarti semua imam dan uskup bermasalah. Asas proporsionalitas perlu diperhatikan di sini.

Sikap menuding dan menyalahkan yang menjadi terkesan berlebihan, ditengarai bisa menjadi liar, bisa malahan mengarah pada perpecahan yang tidak perlu, bahkan ada yang menyebut tanda-tanda skisma dalam tubuh Gereja. Tidak senang dengan Paus yang sekarang lalu serta merta menyerang secara personal, bisa mengarah pada penodaan akan cara dan struktur hidup Gereja yang sudah tertata sejak awal keberadaannya. Paulus pernah tidak setuju dengan Petrus, namun dia tetap menempatkan Petrus sebagai pemimpin. Kharisma rasuli, ciri hierarkis Gereja tidak bisa begitu saja dirombak, apalagi hanya karena rasa tidak suka.

Kiranya, situasi yang sedang dihadapi Gereja merupakan saat dan kesempatan bagi Gereja untuk memurnikan diri, menjernihkan dan menatap kembali dasar hidupnya sebagai Gereja Kristus, tubuh mistik-Nya yang kudus, yang betapapun kudus, namun anggotanya adalah pendosa. Gereja di persimpangan jalan adalah Gereja yang diajak untuk bertobat, kembali ke jati dirinya yang asli, setia pada akar tradisi rasulinya serta tugas perutusan yang diembannya.

T. Krispurwana Cahyadi SJ

HIDUP NO.37 2018, 16 September 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here