St Yohanes Gualbertus Visdomini OSB (985 – 1073) : Pelaku Kasih di Lorong Pertobatan

486
St Yohanes Gualbertus Visdomini OSB.
[vallumbrosan.org]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Gengsi keluarga membuatnya ingin mengakhiri nyawa musuhnya. Tuhan menyapa dan memanggilnya menjadi biarawan Benediktin.

Vendetta adalah sebuah pertikaian darah sebagai sebuah tindakan balas dendam atas kematian salah satu anggota keluarga. Saat anggota keluarga ada yang terbunuh, maka anggota keluarga yang lain berusaha membalas dendam atas kematian itu, kepada si pembunuh atau keluarganya. Di abad X, kebiasaan ini terjadi di Florence. Pertikaian antar-keluarga terjadi tak ada habisnya. Setiap ada satu darah tertumpah, selalu melahirkan balas dendam tiada henti.

Ketika Yohanes Gualbertus mendapati Hugh, saudaranya, dibunuh, sang ayah, Don Visdomini, pun meletakkan tanggung jawab untuk melakukan “vendetta” atas kematian ini. Di pundak Hugh lah terletak harapan dalam keluarga Visdomini. Hugh adalah calon penerus kerajaan Florence. Kematian Hugh tak hanya mendatangkan duka bagi Gualbertus juga bagi keluarga.

Tanggungjawab ini bagi pria kelahiran Florence, 985 tak sulit. Ia bahkan berjanji dalam waktu dekat kepala para musuh kerajaan akan diantar langsung olehnya. Pada hari Jumat Agung, di sebuah lorong gelap, Gualbertus berhadapan muka dengan sang pembunuh. Gengsi keluarga membuatnya mengangkat pedang dan segera menghunuskannya. Dengan tubuh kekar, berotot dan terlatih, Gualbertus dengan gampang menjatuhkan musuhnya.

Pembunuh Hugh jatuh bertekuk lutut. Ia menyilangkan tangan di dadanya dan memohon ampun demi kasih Yesus yang tersalib. Dengan berat hati, pedang itu terjatuh di tanah. Gualbertus sekejap berlutut dan memeluk musuhnya. Sekejap, Gualbertus bertobat.

Mukjizat Salib
Prasangka negatif terhadap Gualbertus hilang ketika mengetahui sifat kasih yang ditunjukkan pada hari Jumat Agung itu. Ia tahu bahwa Tuhan telah berbuat sesuatu yang luar biasa atas dirinya. Ia tidak memiliki kuasa mencabut nyawa orang-seberapa besar dosa orang itu. Mukjizat Kristus di atas kayu salib yang berdoa untuk para musuh-Nya juga dialami Gualbertus.

Seantero Florence menjadi heboh dengan tawaran kasih dari Gualbertus. Masyarakat memuji sikap kasihnya saat menyaksikan dirinya memeluk musuhnya dan mengajak keduanya menyusuri jalan menuju sebuah gereja di Biara Benediktin, San Miniano, Florence.

Dengan memandang Yesus yang terpaku, Gualbertus mohon ampun atas dosanya. Yesus seolah-olah tersenyum atas kasih yang telah dilakukan Gualbertus. Detik itu pun, Gualbertus merasa lega karena keberaniannya. Dia lalu menemui pimpinan biara dan memohon agar diperbolehkan bergabung dengan mereka.

Gualbertus percaya dengan janji Allah, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yoh. 1:9). Kadar pengampunan Allah berbeda dengan manusia. Baginya, janji Allah ini akan terwujud bila orang datang berserah, memukul dada tanda tak berdaya di hadapan hadirat-Nya. Belas kasih Allah begitu besar, sehingga dapat menyucikan pendosa dan menjadikan mereka anak Allah. Begitu besarnya kasih itu, bahkan ketika tersandung sekalipun, masih ada pengampunan.

Penyerangan Biara
Don Visdomini saat mendengar berita “kegilaan” anaknya menjadi sangat malu. Ia tidak menyangka anaknya telah memaafkan musuh. Ia paham, bahwa tidak ada kewajiban bagi bangsawan untuk memaafkan musuh, namun setelah peristiwa ini ia harus segera bersikap. Masyarakat kecil selalu memaafkan orang istana, tetapi tidak sebaliknya.

Antara pertobatan hati dan gengsi keluarga membuat Don Visidomini terpaksa harus membuat keputusan. Bila memihak anak semata wayangnya, ia akan kehilangan gelar bangsawan. Maka, demi kehidupan yang lebih baik, ia memilih kontra dengan Gualbertus. Kemarahan itu pun memuncak ketika mengetahui Gualbertus memilih tinggal di biara Benediktin.

Dalam murkanya, ia membawa pasukan ke biara dan mengancam akan meratakan seisi biara jika putranya tidak pulang ke rumah. Para biarawan bingung harus berbuat apa. Mereka hanya bisa menunggu kerja Roh Kudus. Bagi mereka, meminta Gualbertus pulang sama saja dengan menolak kehadiran wahyu Allah. Namun, membiarkan Gualbertus tetap di dalam biara juga menjadi sebuah keputusan dilematis.

Dalam kebingungan, lagi-lagi Allah bekerja. Gualbertus meminjam sehelai jubah milik seorang biarawati. Ia memangkas rambutnya (tonsura) seperti seorang biarawan sebagai simbol penyerahan diri dan ketaatan. Harga diri kerajaan telah tertukar menjadi harga diri keilahian. Gualbertus mempersembahkan dirinya menjadi rahib Benediktin.

Gualbertus lalu berjalan keluar menemui sang ayah. Bak pangeran surgawi, Gualbertus berani menentang titah kerajaan. Don begitu tercengang menatap putranya sendiri. Ia tak menyangka begitu cepat karya Allah bekerja dalam diri penerusnya. Gualbertus hanya bisa menatap dan memberi isyarat bahwa semua ini bukan keinginan dirinya tetapi ada Allah yang bekerja dalam dirinya. Rahib ini sadar bahwa dalam dekapan Allah seseorang tidak mungkin lagi melepaskan diri. Selalu ada kesempatan untuk bertobat. Dosa tetap diampuni asalkan kita membuka tangan mohon ampun pada-Nya.

Lelaki tua itu hanya bisa berdiri menatap ke langit sambil menggeleng-geleng kepalanya. Benar Sabda Allah, “anugerah adalah karunia dari Allah” (Ef. 2:8). Saat kita bertobat maka akan ada pertobatan lain yang mengikuti kita. Sang ayah yang menyaksikan mukjizat ini lalu memeluk anaknya dan mengizinkannya untuk menjalani hidupnya. Keyakinan Roh Kudus dalam hati lelaki bijak itu adalah gerakan kasih dan karunia.

Hidup Tobat
Di kemudian hari, Gualbertus berkembang menjadi biarawan yang hidup dalam pertobatan. Ia menjalani panggilan dengan kepercayaan; dosa tetap harus dinyatakan sebagai dosa, dan tidak dapat diperlakukan seolah-olah itu bukan hal berbahaya atau tidak menganggu. Sekecil apapun dosa itu harus disadari, kalau tidak manusia hanyalah sekumpulan tulang dan air yang tak berkasih.

Gualbertus menjadi teladan bagi penghayatan hidup miskin. Ia berjuang mendisiplinkan dirinya untuk tidak berbuat dosa. Selama sisa hidupnya, rahib bijaksana ini terus mengajak orang untuk bertobat. Ketika seorang yang bertobat, maka anugerah itu harus dibagikan kepada pendosa lain agar bertobat. Begitu seterusnya hingga seluruh dunia disucikan dalam darah Kristus. Corak hidupnya ini membuat banyak orang memintanya menjadi bapak rohani. Banyak anak muda pun terpanggil masuk biara karena terinspirasi kisah pertobatannya.

Namun, kesetiaan Gualbertus pada kehidupan biara harus terusik. Ia memutuskan keluar dari Biara San Miniano karena menentang keras praktik simoni (suap dan jual beli jabatan dalam Gereja) yang dilakukan oleh pemimpin biara itu. Untuk menjalani hidup lebih sempurna, ia pindah ke Camaldoli.

Karena kehidupan rohani Gualbertus membuat banyak orang mencarinya. Dari Camaldoli, ia pindah ke Vallombrosa. Di sinilah, ia mendirikan Ordo Benediktin Vallombrosa (Vallis Umbrosae Ordinis Sancti Benedicti) pada tahun 1036. Ordo ini kemudian berkembang di San Salvi, Moscetta, Rozzuolo, Monte Salario, dan Passgnano.

Tuhan terus mencurahkan kuasa dalam diri Gualbertus untuk mengadakan mukjizat-mukjizat dan memberikan nasihat spiritual. Pada 12 Juli 1073, Paus Leo IX pernah datang kepadanya meminta nasihat. Pada akhir hidupnya, Gualbertus melaluinya dengan kegembiraan. Ia menyelesaikan pertandingannya di dunia pada 1073 di Passignano. Setelah kematiannya, Paus Selestinus III (1191-1198) mengkanonisasinya pada 1193. Ia dikenang sebagai orang kudus pelindung para pekerja hutan. Hari rayanya dikenang setiap 12 juli.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.38 2018, 23 September 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here