Maria Theresia Dita Rukmini Sutiami : Setengah Abad Berkarib Sunyi

229
Bahagia: Dita memberikan bimbingan belajar bagi tuna rungu di Yogyakarta.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Meski Alat Bantu Dengar menempel di telinganya sejak kecil, semangatnya untuk memberikan diri bagi sesama tuna rungu tak pernah surut. Ia justru berjuang agar mereka bisa memperoleh pendidikan dan pekerjaan seperti orang pada umumnya.

Sejak lahir, Maria Theresia Dita Rukmini Sutiami (56) berteman dengan kesunyian. Ia tak dapat mendengar suara-suara di sekitarnya. Hari-hari ia lewati dengan bantuan Alat Bantu Dengar (ABD).

Dita –begitu ia biasa disapa– sempat merasa tak nyaman ketika mengetahui dirinya mengalami gangguan pendengaran. “Perasaan saya tertekan pada saat saya mengalami hambatan komunikasi, misalnya salah paham, salah tangkap, salah pengucapan sehingga pergaulan terganggu. Padahal, saya sudah menggunakan alat bantu dengar. Saya beberapa kali ditertawakan karena dianggap orang aneh,” ungkapnya.

Meski demikian, orangtua dan ketiga kakaknya tak henti menguatkan dan membesarkan hatinya dengan mengajak bicara dan bercanda sembari membetulkan artikulasinya yang kurang tepat. “Mereka sangat sayang pada saya dan penuh perhatian sehingga saya tidak minder lagi dan semakin percaya diri. Ibu juga selalu membawa saya ke mana saja. Ibu tidak pernah malu mengatakan bahwa saya tuli, dan berbicara dengan saya di depan teman-temannya.”

Orangtuanya juga memperhatikan pendidikan Dita, sama seperti ketiga kakaknya. Meski mengalami gangguan pendengaran, orangtuanya berharap agar Dita tetap dapat mengenyam pendidikan seperti saudara-saudaranya dan anak-anak lain seusianya.

Dari pengalaman itu, Dita merasa terpanggil untuk memperhatikan tuna rungu. Ia ingin mereka juga bisa memperoleh pendidikan dan pekerjaan layak. Dorongan itu membuatnya melibati kegiatan dalam organisasi bagi kaum tuna rungu. Bersama teman yang lain, ia berjuang demi kesejahteraan para tuna rungu seperti dirinya.

Gigih Berjuang
Dita terlahir dari pasangan R. Soebagjo Hadinoto dan C.C. Hetty, sebagai anak bungsu dari empat bersaudara. Ketika mengandung Dita, sang ibu terkena campak pada usia kandungan 12 minggu.

Dokter yang memeriksa mengatakan, sakit yang mendera sang ibu bisa berpengaruh terhadap kesehatan janin dalam kandungannya. Dokter pun mengungkapkan beberapa kemungkinan yang bisa dialami anak dalam kandungannya kelak saat lahir: jantung lemah, mata juling atau gangguan pendengaran.

Mendengar penjelasan itu, kegundahan merayapi hati sang ibu. Ia seolah terkunci dalam pikiran tentang masa depan buah hatinya jika yang dikatakan dokter benar-benar terjadi. Namun ia tetap menyerahkan semua pada Tuhan.

Ketika Dita lahir, tak ada tanda-tanda kelainan atau gangguan yang dialaminya. Namun, menginjak usia dua tahun, sesuatu yang tak beres mulai nampak dalam diri Dita. Tatkala kakak-kakaknya berlarian dan berteriak-teriak dengan suara keras, Dita tetap bergeming. Ia tetap tidur nyenyak seolah tak terusik. Hal itu membuat sang ibu mulai menaruh curiga dengan pendengaran si bungsu.

Kekhawatiran sang ibu pun menjadi kenyataan. Dita mengalami gangguan pendengaran. Sang ibu berusaha menapaki kenyataan getir ini. Meskipun kesedihan sempat hinggap di hati, ia bertekad untuk menjadi guru yang dapat mengajari Dita berbicara.

Pada usia lima tahun, Dita didaftarkan ke SLB/B Dena Upakara Wonosobo, Jawa Tengah karena waktu itu di Yogyakarta belum ada sekolah untuk anak-anak tuna rungu. Namun, karena asrama di sana sudah penuh, baru tiga tahun berselang Dita bisa masuk asrama dan sekolah yang dikelola para suster Putri Maria dan Yusuf (PMY) itu. Ia menjalani pendidikan khusus sampai kelas dasar VII.

Orangtuanya melihat, si bungsu memiliki semangat belajar yang tinggi. Selain itu, mereka berharap Dita bisa mengenyam pendidikan seperti saudara-saudaranya. Tak heran, Dita didorong untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah umum.

Tahun 1974, Dita diterima di SMP Stella Duce Dagen, Yogyakarta. Ia mulai menapaki dunia baru bergaul dengan teman-teman normal pendengaran. Di kelas, ia memilih duduk di bangku depan agar bisa membaca gerak bibir gurunya.

Awalnya ia merasa berat menghadapi lingkungan baru setelah lepas dari lingkungan asrama. Seiring waktu bergulir, Dita terus berusaha menyesuaikan diri. “Saya berusaha dan berjuang untuk menunjukkan di hadapan para guru dan teman-teman bahwa saya bisa walaupun tuli,” lanjut perempuan kelahiran Yogyakarta, 9 Oktober 1957 ini.

Wounded Healer
Saat duduk dibangku kelas II SMP (1975), Dita tak hanya bertekun dengan pelajaran sekolah. Ia mulai terlibat dalam Persatuan Tuna Rungu Yogyakarta (PERTRY). Anggota PERTRY merupakan alumni SLB dari berbagai daerah yang bekerja sebagai buruh, tukang jahit, petani, dan peternak.

Tahun 1977-1979, Dita melanjutkan ke SMA Stella Duce I Kota Baru, Yogyakarta jurusan Bahasa. Lulus SMA, ia diterima di Fakultas Sastra dan Kebudayaan (kini: Fakultas Ilmu Budaya) Jurusan Arkeologi, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, melalui proyek perintis (testing). Namun ia tak menuntaskan kuliahnya.

“Saya mengalami konflik batin. Jurusan yang saya ambil tidak sesuai dengan hati. Sebenarnya saya ingin mengambil Sosiologi atau Psikologi, tapi hanya untuk lulusan IPA dan IPS. Maka cita-cita saya pupus sudah,” ujarnya. Selain itu, ia memilih aktif dalam organisasi tuna rungu.

Meski demikian, Dita merasa beruntung karena berkesempatan untuk mengenyam pendidikan. “Sementara teman-teman saya yang tuli, banyak yang tidak diberi kesempatan berkembang,” ujar umat Paroki Kristus Raja Baciro, Yogyakarta ini.

Dengan menggenggam prinsip “Orang yang beruntung harus menolong orang yang tak beruntung”, Dita terus melibati berbagai kegiatan PERTRY. Sejak 1981, PERTRY telah dilebur menjadi Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN). Kegiatan GERKATIN antara lain: pengembangan dan pengajaran Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) di perguruan tinggi dan rumah sakit, seminar, workshop, pelatihan, dan pemberdayaan tenaga kerja tuna rungu.

Dita tak ingin berdiam diri melihat teman-teman tuna rungu tidak berkembang. Ia ingin melakukan sesuatu bagi mereka. “Saya terdorong oleh keprihatinan yang mendalam karena di Indonesia masih kuat diskriminasi pendidikan, pekerjaan, warisan, hukum, dsb. Padahal sudah ada landasan hukum berupa undang-undang disabilitas, termasuk tuna rungu, tapi realisasinya belum terbukti,” jelas Sekretaris Pusat GERKATIN periode 2002-2006 ini.

“Di samping itu, saya terpanggil untuk menggerakkan teman-teman tuna rungu agar tidak pasif atau apatis dalam menghadapi permasalahan kehidupan,” imbuh perempuan yang pernah mengikuti pelatihan kepemimpinan tuna rungu se-Asia Pasifik (2002) di Jepang sebagai utusan pemerintah Indonesia ini.

Selama dua tahun terakhir Dita mengumpulkan hasil ketrampilan teman-teman tuna rungu, berupa dompet HP, tas wanita, dll. Ia pun giat mengembangkan kerohanian teman-temannya, seperti mengadakan Misa untuk tuna rungu Katolik dan pengajian untuk tuna rungu Islam, dua bulan sekali. “Rohani harus dibina dengan baik, apapun agamanya,” tegasnya. Ia juga memberi motivasi agar mereka lebih percaya diri.

Sekian lama bergaul dan berjuang bersama sesama tuna rungu tak menyurutkan semangat Dita untuk terus melangkah. “Kekurangan saya adalah suatu karunia Tuhan! Saya bahagia bisa menolong teman-teman tuna rungu walaupun tantangan menghadang. Saya yakin Dia (Tuhan, Red) selalu membimbing saya,” tandasnya.

Dita pun berharap masyarakat bisa memahami dunia tuna rungu. Selain itu, ia menaruh harap agar teman-teman tuna rungu bisa mandiri, bebas dari diskriminasi di segala aspek kehidupan. “Dan bisa bergerak lebih maju,” demikian Dita, “dengan penuh semangat serta percaya diri.”

Ivonne Suryanto/Maria Pertiwi

HIDUP NO.10 2014, 9 Maret 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here