Membebaskan Mimpi

196
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com  “UMI ga mau!”
“Tapi umi, Kiranti ingin bantu mereka.”
“Mereka siapa? Kamu ini perempuan, takut Umi terjadi apa-apa sama kamu.”
“Percayalah umi, Kiranti bisa jaga diri. Umi juga pernah bilang, hidup ya harus
membantu banyak orang supaya di surga nanti banyak pahala kita.”

“Sudah..sudah. Sekarang mending kamu tidur, besok subuh kita harus membuat
kue pesanan pak Banjur.”
“Ya Umi.”

***

Namaku Siti Kiranti. Begitulah umiku. Sejak kepergian abi, sikap umi berubah. Abiku seorang tentara. Kata nenek, lima belas tahun lamanya abi menetap di Pulau Serafim, yang sarat akan kegelisahan dan ancaman. Tepat pada tahun 2005, abi harus purna tugas karena terinveksi cacing filaria yang membuat kaki kirinya terus membengkak.

Sejak saat itulah kesehatannya kian memburuk. Dan tepat pada tanggal 26 Desember 2005, setahun setelah peristiwa tsunami Aceh, abi meninggal. Sudah tidak ada lagi yang rutin memberiku kado seperangkat jumanji saat aku ulang tahun.

Waktu abi meninggal usiaku baru 10 tahun. Aku ingat, di kerut wajah abi yang tak bernyawa itu terpancar semangat pelayanan yang membara. Semalam penuh aku mendekap jenazahnya dan aku merasakan cinta darinya. Perasaan itu merangsang adrenalin, menguak segala kehampaan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki tentang mimpiku.

Umiku tidak mau jika aku pergi dari rumah. Umi trauma. Namun, aku bukan lagi anak kecil. Aku juga punya mimpi. “Menjadi seperti apa dimasa depan, itu pilihanku.” Demikian kutuliskan pada buku refleksi harianku, kala deru angin meniadakan kesunyian malam dan air mata ikut jatuh bersama hujan.

***

Aku rindu perpustakaan. Barangkali perasaanku yang kalut tentang perdebatan dengan umi bisa segar lagi. Senyum penjaga perpustakaan menyambut kedatanganku. Aku pun dibuatnya tersenyum sambil mengucapkan ashalammuallaikum.

Saat sedang mencari buku, aku melihat seseorang berdaster biru dongker, lengkap
dengan jilbabnya yang manis. Model jilbabnya itu tampak asing kujumpai di toko-toko busana muslim. Ahh, peduli apa aku dengannya, lagi pula jilbabku tak kalah cantik.

Waktu aku masih menjadi mahasiswi jurusan pendidikan guru SD, perpustakaan ini jadi tempatku bermesra diri dengan pelbagai koleksi buku yang ada. Aku menganggap profesi guru adalah suatu profesi yang hebat.

Aku yakin kalau pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia, bahkan
semua profesi dimasa depan awalnya dari bimbingan guru. Untuk itu anak-anak Serafim perlu guru.

Ohh tidak, langit begitu mendung. Aku harus segera pulang, takut umi mengkhawatirkanku.
“Aduhh, kenapa pula hujan harus turun lebih cepat. Baiklah aku menepi pada sebuah pagoda.

“Permisi mba. Halo? Mbaa.”
“Ya, saya?”
Dia mengangguk, kontan kulepaskan headset yang tadi terpasang pada daun telingaku.
“Mba hendak kemana, tampaknya begitu gelisah?”

“Oh, saya mau pulang bu, tapi saya lupa bawa jas hujan.”
“Tunggulah dahulu hujan masih deras.”
“Iya bu.”
Ibu ini bukankah seorang yang tadi membuat terpana mataku karena kulihat begitu seriusnya dia membaca buku di sudut lantai dua perpustakaan? Berdaster biru dongker lengkap dengan jilbab khasnya.

“Mbaa, hujannya sudah reda tuh.”
“Iya, hujannya sudah reda,” jawabku tanpa senyum.
Aku amat penasaran dengan ibu ini. Sekilas, kerut diwajahnya itu melukiskan banyak peluh demi pelayanan bagi banyak orang.

“Bu, boleh saya bertanya?”
“Masa ga boleh,” sahutnya sambil tertawa.
“Maaf, sebenarnya ibu itu siapa, karena saya lihat penampilan ibu tidak umum dijumpai di Aceh?” Aku rasa pertanyaan ini sangat tidak pantas.

“Saya seorang biarawati.”
“Biarawati?”
“Ya, Tuhan panggil saya untuk meninggalkan pola duniawi dan memfokuskan hidup untuk-Nya, lewat pelayanan pada sesama. Nah, di Aceh ini saya sedang berobat.”
“Ibu sakit apa?” tanyaku agak kaku.
“Nih kaki saya diamputasi satu, karna jatuh saat mengendarai sepeda motor di lembah karakan, Pulau Serafim.”
“Apa? Ibu pernah ke Serafim?”

“Ya, 25 tahun saya hidup bersama masyarakat Serafim. Saya juga mencintai anak-anak Serafim. Kalau mba, lagi belajar atau sudah bekerja?”
“Saya sudah lulus kuliah, tapi belum sempat bekerja. Dan semenjak kepergiaan abi, mimpi saya itu jadi guru bagi anak-anak Serafim.”

“Tekadmu begitu luhur, baik jika kamu memperjuangkanya. Tapi, apakah mba tidak takut?” Aku terbangun dari tidurku. Rupanya diluar sana masih hujan. Dan hari masih
malam.

***

Serafim adalah desa sempit yang diapit dua bukit. Rerumputan hijau bertebaran menutupi seluruh permukaan tanahnya. Hanya ada beberapa ratus orang di sini. Mereka tinggal di gubuk berdinding lumpur, bentuknya mirip sarang lebah, disangga satu tiang kayu utama di bagian tengah dan beratapkan jerami.

Lantainya dari sarang semut yang diratakan di lantai dan diolesi dengan kotoran sapi segar
supaya memperkuat strukturnya. Aku menikmati kenyataan ini. Serafim dingin sekali. Apalagi waktu pagi, segelas kopi panas tak cukup untuk menangkal dinginnya pagi.

Kini tidak ada lagi yang menyiapkan segelas susu dan sandwich segar waktu masih bersama umi. Sarapanku biasanya ditemani semangkuk bubur jagung beserta awetan sagu dan sorgum buatan mama Lukas.

“Nak Siti jagungnya sudah siap,” kata mama Lukas kepadaku.
“Iya Mama, makasih.”
“Tidak! Makasihlah pada Tuhan Yesus, Dia berkenan membangunkan Lukas pagi-pagi benar untuk memetik jagung di bukit.”
“Iya Mama. Ye..Ye..Yesus tu baik yaa..,” gagapku pada mama Lukas.
“Ya, kasih-Nya itu lebih besar dari yang kita orang pikirkan.”

Di pulau Serafim, aku tinggal bersama keluarga Lukas. Baru semalam aku tinggal, sudah kurasakan kalau keluarga ini luar biasa. Sederhana tapi bersahaja. Penuh syukur dan tekun berdoa. Di sini hanya ada aku, Lukas dan Mama. Ayah Lukas merantau ke Jakarta, tapi tak pernah lagi mengirim kabar.

***

“Ibu guru Siti asalnya dari mana?” tanya Lukas.
“Ibu dari Aceh. Kau tau Aceh ta?”
“Ohh Lukas tau, Aceh tu tempat Bapak Presiden tinggal kan bu?”
“Ihh bukan.”
“Hehe, Lukas salah ya bu?” Tampak rasa sesal membekas di raut wajahnya yang hitam tapi manis itu.

“Aceh tu ada di bagian barat Indonesia,” aku mencoba memperjelas.
“Wah berarti matahari tenggelamnya di Aceh ya bu?” Dia tampak kebingungan.
“Ya. Kau ta salah. Hehe.”
“Kapan kita sampe?”
“Lagi bentar bu.”

***

Kemarin kuhitung ada empat puluh enam, kok sekarang hanya lima yang hadir di kelas. Moro si kribo, Angela dari Sorong, Bonifasius si tukang jahil, Lukas, dan Marko. Mereka semua duduk manis, kecuali Marko.

“Cukup! Beta tak mau belajar sama ibu. Ini tanah kami anak Serafim. Ibu tak pantas hidup di sini.”

Kontan aku terkejut. Tak percaya ada muridku membentakku demikian.
“Bapak bilang ibu jahat!”
“Apa, mengapa kamu berbicara seperti itu Marko?”
“Hey, Kau! Kau! Harus tau ni orang jahat!” Dia coba menabur kebencian pada teman-temannya.

Sedang aku sulit menerima kenyataan ini. Dan sekarang, tinggal aku dan Lukas di kelas.
“Ibu guru jangan nangis, nanti ibu sakit.
Lukas ga punya obat loh.”
“Apa salah ibu sampe Marko marah?”
“Lukas ta tau. Tapi kata teman Lukas, bapaknya tu suka nampar Marko.”

***

Sudah dua minggu aku mengajar, tak kulihat lagi batang hidung Marko. Bermodal nekat, coba kucari keberadaan rumahnya. Dari timur ke Barat, Selatan ke Utara, ketelusuri dengan cermat setiap rumah di desa Munaf. Kata Lukas, Marko tinggal di sini.

Aku mendapati sebuah rumah kayu beratapkan jerami, lengkap dengan obornya yang bernyalakan api di samping pintu saat hari mulai menua dan awan gemawan tampak lebih orange. Ada pula disana asap perapian yang menerobos atapnya, untuk kemudian terbang ke angkasa dan mengambil tempatnya diantara awan.

Kupandangi rumah itu lamat-lamat. Dinginnya senja membuat kaki dan tanganku kaku. Baru ingin mengetuk, terdengar isak tangis seseorang dari dalam. Agak samar-samar
tapi lama-kelamaan jadi jeritan yang makin menggebu-gebu.

Aku takut, tapi juga penasaran. Aku terkejut dengan apa yang kulihat.
Marko menjerit sambil menciumi kaki bapaknya. Ia tidak habis dipukuli.
Marko sedang memohon-mohon pada bapaknya.
“Marko tu minta sama saya untuk dibelikan buku sama pensil. Tapi saya ta mau. Saya tak yakin Marko bisa belajar.”
“Lihatlah!, matanya tu buta.” Bentak bapanya Marko padaku.

***

“Bangun. bangun. Lupa kan bantu umi buat kue.”
“Mana Marko! Dia tak buta. Dia butuh buku dan pensil untuk belajar. Mimpinya Marko juga mimpiku.”
“Hey, kamu ngigo ya.”
“Umi, tekadku ke Serafim sudah mendidih, mematikan apinya adalah kebodohan.”

 

Beda Holy Septianno

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here