Menilik Museum Santa Maria

4892
4.6/5 - (10 votes)

Satu ruangan lainnya yang sepertinya menjadi kelebihan Museum Santa Maria dibandingkan museum terkait gereja Katolik di Indonesia adalah ruangan relikui. Disampaikan, di dalam ruang relikui terdapat lebih dari 50 relikui santo santa yang dibawa oleh para misionaris. Relikui dimaksud disertai sertifikat yang menjadi penanda bahwa relikui tersebut asli.

Soal banyaknya koleksi relikui di Museum Santa Maria menurut Pastor A. Heuken, SJ sebagaimana dikutip dari Buletin Serviam, mengatakan “mungkin itu (banyaknya relikui) yang membuat biara ini jadi sejuk dan tenang. Di biara-biara lain relikuinya tidak sebanyak yang ada di sini,” katanya.

Catatan tambahan soal ruang relikui, berbeda saat memasuki ruangan-ruangan lainnya, saat akan dan di dalam ruang relikui, pengunjung museum diingatkan untuk tidak mengambil foto maupun video.

“Awalnya sempat merasa canggung karena ternyata isi museum ini tentang agama (Katolik), tapi kemudian karena Suster Lucia dan Pak Adji dan petugas museum lainnya menyambut dengan ramah kepada semua pengunjung termasuk aku yang pakai hijab, rasa canggung hilang,” ujar Mimi.

“..saat ingin bertanya, rasa canggung kembali datang karena takut dinilai salah bertanya. Tetapi kemudian Suster Lucia menjawab dengan ramah,” kata Mimi. Ia menilai semua isi koleksi museum yang dilihatnya berikut penjelasan dari pemandu, semakin memperkaya informasi dan wawasan.

Museum Santa Maria. [dok.Martina Prianti]
Lebih lanjut, ia mengatakan selain semakin mengetahui tentang sejarah dan informasi semua isi koleksi museum, dirinya juga merasa mendapatkan pengalaman lainnya. “Dengan kita tahu misalkan tentang sesuatu hal yang berbeda, seperti disajikan dalam Museum Santa Maria, kita akan lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia seperti perbedaan agama maupun lainnya.”

“Kita akan lebih menghargai dan lebih bisa toleransi lagi. Bahwa sejak tahun 1800-an para suster jauh-jauh datang untuk membantu soal pendidikan dan juga kepada perempuan,” paparnya.

Mimi mengaku, pada sebuah kesempatan berbincang berdua dengan Suster Lucia, ia canggung ketika ingin bertanya soal penggambaran seorang biarawati yang terdapat di dalam film horor The Nun.

“Aku sempat takut apakah akan menyingung perasaan suster atau tidak, tapi pada akhirnya aku bertanya. Lalu suster menjawab pertanyaan, katanya, namanya film pasti ada hiperbola-nya untuk menarik minat penonton. Disampaikan juga oleh suster, bahwa setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif, sisi baik dan tidak baik seperti digambarkan dalam film The Nun,” katanya.

Sementara itu Suster Lucia yang menerima rombongan Ngojak 18 datang ke Museum Santa Maria mengatakan, pihak museum menyambut baik semua tamu museum termasuk mereka yang berasal dari pelbagai latar belakang. “Biasanya yang datang berkunjung ke sini sekolah atau rombongan gereja atau lingkungan, karenanya kami senang sekali kedatangan teman-teman Ngojak yang dari beragam profesi dan agama datang ke kami,” kata Suster Lucia.

Ia menyampaikan setidaknya ada empat tujuan didirikannya Museum Santa Maria yakni pertama untuk mengenang dan menghormati jasa para suster pendahulu; di mana mereka sebagai perintis pendidikan Katolik pertama di Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan.

Kedua, sebagai bukti nyata kedatangan para Suster Ursulin (1856-2018); Ketiga, sebagai sarana untuk mengenal riwayat hidup dan meneladani semangat Suster Angela Merici yang menjiwai para Suster Ursulin di seluruh dunia; Keempat, sarana untuk menggali nilai dan makna dari peninggalan misionaris.

Museum Santa Maria:
Buka: Senin-Jumat, jam 08.00 – 14.00; Sabtu 08-13.00;
Minggu/ libur nasional sesuai perjanjian;
Telp: 021(344-7273); HP/WA : 0896-5589-3880

 

Martina Prianti

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here