Narkoba

117
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Aspek sosial dari narkoba, baik terkait penyalahgunaan maupun penanggulangan, tidak kalah seram dibanding aspek medis ataupun aspek tanggung jawab hukum. Aspek itu, mau tak mau akan terus terlihat seiring persoalan narkoba di Indonesia yang belum tertanggulangi. Cita-cita Indonesia bebas narkoba 2015 masih jauh panggang dari api.

Cerita tentang keluarga yang jatuh miskin akibat ada anggota keluarga yang terkena narkoba, relatif sering kita dengar. Demikian pula cerita tentang pengguna narkoba dan bahkan keluarga yang “lari” ke kehidupan religius dalam rangka menghindar dari jerat narkoba.

Tapi agak jarang cerita tentang keluarga yang terpaksa merelakan anak yang pecandu untuk terus tenggelam dalam kehidupan narkoba. Jarang kita dengar pula kisah orangtua yang justru mencari narkoba bagi anaknya yang tengah sakaw alias sedang ketagihan.

Cerita tragis ini kemudian tambah terasa miris saat dikait-kaitkan dengan predikat “keluarga baik-baik”, “orangtua yang taat beragama”, dan sebagainya. Seakan-akan orang baik dan taat beragama tak mungkin dan tidak boleh memiliki anggota keluarga yang menggunakan narkoba. Bagaimana jika predikat yang muncul adalah yang terkait dengan ke-Nasrani-an?

Kembali ke fakta dasar, bahwa ujung masalah narkoba adalah masalah ekonomi, di mana agar dapat dikonsumsi, narkoba harus dibeli dengan banyak uang. Dalam kaitan itu, banyak umat Kristen dan Katolik, relatif baik secara ekonomi, sehingga anak-anak mereka juga mungkin terpapar bahaya tadi. Ketika anak menjalani gaya hidup classy, keluar-masuk mal serta klab, maka merekalah pembeli potensial berbagai jenis narkoba, yang jenisnya terus bertambah itu.

Situasi tambah runyam saat para pengedar narkoba juga melakukan penetrasi mencari pasar dari kalangan masyarakat yang kurang baik kesejahteraannya. Bagaimana mungkin? Mereka menempuh cara dengan menciptakan narkoba jenis baru yang “murah-meriah”. Harga beda, tapi efek sama. Itulah pembeda putau dan heroin. Itu pula yang menjelaskan mengapa ada macam-macam ecstasy.

Narkoba murah meriah itu menyasar anakanak dari keluarga dengan kesejahteraan low to middle level income. Persoalan lain, saat keluarga berpenghasilan rendah, maka pendidikan dan lingkungan pergaulan anak pun kerap tak terkendali. Kemungkinan terpapar pun semakin besar. Ditambah lagi, narkoba murah meriah ini kerap diasosiasikan sedemikian rupa, sehingga dapat dikonsumsi di mana saja dan kapan saja, entah itu di pojok gang atau rumah kos yang kumuh. Harap diingat, cukup banyak juga keluarga Nasrani termasuk kalangan ini. Jika demikian, maka dapat diprediksi, cerita tragis di atas sedang atau bakal dialami oleh keluarga Nasrani, baik yang kaya maupun yang sederhana.

Dalam kaitan itu, sepanjang pengamatan penulis, komunitas Kristen jauh lebih terbuka dan sekaligus marak merespons masalah narkoba. Berbagai kesaksian tentang seseorang yang keluar dari jerat narkoba marak ditemui, karena difasilitasi dalam bentuk sharing, khotbah, siaran televisi, dan radio. Tempat detoksifikasi narkoba yang mengkombinasikan pendekatan medis dan keagamaan juga marak di kalangan Kristen.

Tidak demikian dengan komunitas Katolik di Indonesia. Kita jarang menemui kesaksian, khotbah, siaran atau lembaga khusus terapi narkoba. Adakah karena masalah ini tidak menjadi sesuatu yang besar dan kompleks di kalangan Katolik? Penulis dalam hal ini curiga, mengingat narkoba adalah kejahatan yang tidak memandang agama apapun.

Untuk itu, jika benar terdapat kecenderungan keluarga Katolik yang tertutup terkait situasi keluarga, ada baiknya membuka diri. Pertolongan akan jauh lebih banyak diterima daripada menutup diri. Di pihak lain, lembaga Gereja harus lebih banyak lagi memfokuskan karya pelayanan di bidang ini. Tak hanya menyelamatkan keluarga Katolik, tapi masyarakat luas pun ikut terselamatkan.

Adrianus Meliala

HIDUP NO.04 2014, 26 Januari 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here