Ini Tanah Air Saya

539
Letnan Kolonel Slamet Riyadi berjabat tangan dengan Kolonel Ohl di Stadion Sriwedari, Solo.
[gahetna.nl]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Kawan dan lawan mengagumi dan mencintainya. Banyak terlibat dalam misi penting mempertahankan kemerdekaan. Gugur pada usia amat muda, jauh dari tanah kelahirannya.

Kolonel (Purn) Aloysius Sugiyanto masih mengingat secara jelas pengalaman pribadi bersama Brigadir Jenderal Anumerta Ignatius Slamet Riyadi sekitar 68 tahun yang lalu. Pada bulan Desember, Pak Met mengajak Sugiyanto bertamasya ke Bali. Kepergian mereka ke Pulau Dewata itu terjadi selang lima bulan setelah pasukan pimpinan Pak Met berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam Serangan Umum Kota Solo selama empat hari.

Pak Met hanya mengajak Sugiyanto. Mereka bertolak dari Bayuwangi menuju Bali dengan mendayung sampan. Alasan Pak Met mengikutsertakan Sugiyanto ke Bali amat sederhana. Selain karena Sugiyanto ajudannya, mereka berdua belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di pulau tersebut. Mereka di sana hanya dua hari. “Kami hanya jalan-jalan dan melihat-lihat saja,” kenang pria kelahiran Yogyakarta, 25 Juni 1928 ini.

Kembali dari Bali, mereka tetap menggunakan sampan. Saat berada di tengah laut, antara Bali dengan Bayuwangi, Sugiyanto bersama komandan berenang bersama. Beberapa hari kemudian, Sugiyanto mendapat informasi, Pak Met bersama seorang ajudan sekaligus kawan karibnya dibaptis.”Kemarin aku sudah dibaptis jadi Katolik,” ungkap Sugiyanto, meniru ucapan Pak Met kepadanya.

Tugas Khusus
Jauh sebelum bergabung dengan komando grup Pak Met, anggota Pasukan Istimewa Siliwangi ini mengetahui sepintas tentang Slamet Riyadi. Mereka sempat mengenyam pendidikan di kota yang sama, Solo. Sayang, memasuki kelas IV, Sugiyanto pindah sekolah ke Purworejo. Sedangkan Pak Met, yang usianya dua tahun di atas dia, melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setaraf SMP) Katolik atau Bruderan.

Perjumpaan kembali serta kerja sama antara Sugiyanto dengan kakak kelasnya sewaktu di Solo teretas saat bertemu di dekat perbatasan Madiun. Saat itu, Sugiyanto dalam perjalanan menuju Jawa Barat untuk kembali bergabung dengan Pasukan Siliwangi yang telah mendahuluinya ke sana.

Tak dinyana, Pak Met ternyata masih mengingat Sugiyanto. Dia memerintahkan Sugiyanto untuk membantu pasukannya. “Kamu dulu di Solo Cuma sampai kelas berapa? Kamu tidak pernah ikut berjuang di Solo. Orang Solo tak ada yang kenal sama kamu. Kamu adanya di Jawa Barat. Nanti tugasmu khusus,” ujar Sugiyanto, mengulang perintah Pak Met.

Misi khusus yang dipercayakan Pak Met untuk Sugiyanto adalah menyusup ke kota. Banyak mata-mata Belanda di sana. Jika Pak Met menurunkan pasukannya pasti mudah dikenali. Namun, jika menugaskan Sugiyanto, tak banyak orang yang mengetahuinya.

Tugas perdana Sugiyanto adalah keluar-masuk RS Jebres untuk mengambil obat-obatan bagi pasukan. Dia juga menghimpun dana, salah satunya dari pria keturunan Arab pemilik pabrik tenun. Uang yang didapat untuk keperluan gerilya, antara lain makanan. Sugiyanto juga ikut mempersiapkan Serangan Umum Kota Solo serta upacara penyerahan kekuasaan dari Belanda Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Jelang upacara tersebut, Sugiyanto menyiapkan seragam lengkap untuk Pak Met serta seluruh pasukan yang terlibat dalam acara maha penting itu. “Sepatu dari Sadino (produsen sepatu di Solo, seragam, perlengkapan, serta penjahit adalah Orzya asal Karawang,” beber Sugiyanto, saat bertemu di kediamannya, Senin, 29/10.

Taktik yang diterapkan Pak Met ampuh. Selama menjalani tugas dari Pak Met, dia hanya sekali dicegat dan ditanyai oleh tentara Belanda, selebihnya luput.

Musuh Mengagumi
Saat terjadi perundingan sebelum akhirnya Belanda menyerahkan kekuasaan kepada TNI. Indonesia yang dipimpin oleh Pak Met bertemu dengan pihak Belanda yang dikomandani Kolonel Van Ohl. Dia adalah komandan tentara Balanda di daerah Surakarta. Dalam buku yang diterbitkan oleh Keluarga Besar SA/CSA, Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, menyebut bahwa Ohl sangat heran bahwa musuh yang dihadapinya selama ini, Slamet Riyadi, yang terkenal di antara mereka sebagai ahli strategi dan berbahaya, ternyata masih muda bahkan terlalu muda dalam kedudukannya sebagai panglima perang.

Menurut cerita Letnan Kolonel Ignatius Djoko Moelyono kepada Soejono Hardjomartono, usia Ohl kala itu sudah menjelang pensiun, sekitar 50 tahun. Jadi, umurnya dua kali lipat dari usia Pak Met. Namun, begitu tahu bahwa musuh yang selama ini dicarinya itu seusia putranya.

Ohl tak sanggup menyembunyikan sisi kemanusiaannya yang terdalam. “Dia merangkul dan mencucurkan air mata. Seperti seorang ayah yang lama tak ketemu anak kesayangannya,” ungkap Djoko, ajudan sekaligus teman dekat Pak Met.

Sejak pertemuan pertama itu, persepsi Ohl terhadap Pak Met berubah 180 derajat. Bila dulu dia menginginkan musuhnya segera dilumpuhkan atau dilenyapkan tapi kini begitu menghormati dan mengaguminya.

Pada pertemuan lain, Ohl mengaku kepada Slamet kalau dia mengikuti gerak-geriknya setiap hari. Dia selalu membawa peta dan terus membuntutinya. Tapi, begitu dia mengirim pasukan untuk membabat Overste (panglima) Slamet bersama pasukannya, mereka tak berada di lokasi.

Ohl juga pernah membujuk Pak Met untuk mengasah kemampuan militernya di luar negeri. Bahkan, dia mau membiayai pendidikan Pak Met hingga tuntas. Tapi, Pak Met menolak secara halus. Katanya, Tanah Air masih memerlukan dia. Dan dia ingin menyelesaikan tugas-tugasnya terlebih dulu di sini.

Mendengar keputusan dan pendirian Pak Met, rasa kagum Ohl kepadanya kian berlaksa. “Baiklah Nak, kalau memang demikian keputusanmu, sekarang kau boleh mengetahui bahwa ik heb liever een sportieve vijand dan een halve vriend (Saya lebih suka mempunya musuh yang sportif daripada seorang teman yang hanya setengah-setengah),” pujinya.

Keberhasilan memimpin Serangan Umum Kota Solo, membuat Pak Met semakin dilibatkan dalam misi-misi berikutnya yang tak kalah penting, antara lain: menumpas gerakan separatis Angkatan Perang Ratu Adil di Bandung. Kemudian, dia dikirim ke Cisalengka serta Bandung timur (Leles, Cicalengka, Garut, Tasik) untuk melawan gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Lantas, dia berangkat ke Maluku untuk meredam gerakan Republik Maluku Selatan.

Keutamaan Hidup
Beberapa tahun berada di dekat Pak Met serta bekerjasama dengannya, Sugiyanto mengagumi keutamaan hidup mantan komandannya itu. Pak Met merupakan pribadi pemberani. Selama mengikuti Pak Met, Sugiyanto menyaksikan, Pak Met selalu berada paling depan, tak pernah jongkok atau merayap ketika di medan tempur.

Selain suka bermeditasi di sela-sela waktu luangnya, Pak Met, kata Sugiyanto, merupakan pemimpin yang dekat dan akrab dengan anak buahnya. Dia mencintai kawan-kawannya dan Tanah Air. Meski rasa cinta itu harus dibayar mahal dengan nyawannya. Keutamaan hidupnya itulah ketika Pak Met gugur, rakyat Maluku menginginkan agar jenazahnya di makamkan di Tanah Ambon.

Sebelum gugur, Pak Met juga sudah menitipkan pesan kepada Djoko, ajudannya. Bila kelak dia meninggal dalam pertempuran di Maluku, tubuhnya tak usah dibawa pulang ke Jawa. “Tanah Ambon yang indah ini juga bagian dari Tanah Air saya,” pesan terakhir Pak Met kepada Djoko.

Yanuari Marwanto
Laporan: Hermina Wulohering (Solo),
Elisabeth Chrisandra J.T.D (Jakarta), Gerry Gabriel (Jakarta)

HIDUP NO.45 2018, 11 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here