Mengantisipasi Regulasi Pendidikan Keagamaan

415
[Dok. Aloysius Ary Satrio]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Meskipun urgensi dan relevansi RUU ini tidak ada, Gereja Katolik perlu melakukan pilihan strategis dengan cara melakukan pendekatan politik demi kepentingan Gereja Katolik di masa depan.

Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU-Red) perlu dipahami urgensi, relevansi dan kepentingannya bagi karya Gereja Katolik di masa depan. Koreksi demi perbaikan diperlukan, sebelum disahkan. Kadang kala Gereja perlu berselancar antara kepentingan politik dan kepentingan Gereja.

Melahirkan Masalah
RUU membahas tentang Pesantren dan pendidikan keagamaan. Pasal-pasal tentang Pesantren tidak kita bahas di sini. Yang memiliki relevansi dengan Gereja Katolik adalah pasal tentang pendidikan keagamaan. Dalam RUU, pendidikan keagamaan dipahami sebagai “pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengamalan ajaran agama dan atau untuk menjadi ahli ilmu agama” (RUU Pasal 1, ayat 2).

RUU ini mengatur bagaimana lembaga agama mendidik dan melahirkan calon pemuka agama dan ahli agama (awam, klerus dan religius). Dari sudut pandang Gereja Katolik, konsep pendidikan keagamaan ini terkait dengan formasio para klerus dan religius, meskipun tidak menutup kemungkinan ahli agama Katolik adalah seorang awam.

Untuk mempersiapkan calon pemimpin agama (pemimpin Gereja), seperti uskup, pastor, suster, dan bruder, dan ahli agama dari kalangan awam, misalnya teolog awam, Gereja Katolik telah memiliki aturan yang jelas. Formasio para calon imam dan religius sudah diatur dalam ketentuan Kitab Hukum Kanonik. Karena itu, bagi Gereja Katolik, sebenarnya tidak ada urgensi dan relevansi RUU ini dalam konteks penyiapan ahli ilmu agama. Sebaliknya, RUU ini justru melahirkan masalah.

Perbedaan konsep
Terdapat perbedaan konsep tentang pendidikan keagamaan antara yang diatur dalam RUU dengan pendidikan keagamaan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003.

Pasal 30 UU Sisdiknas mengatur tentang Pendidikan Keagamaan, termasuk Pendidikan Keagamaan Katolik. Pendidikan keagamaan ini kemudian diatur lebih detail dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan.

Salah satu contoh perbedaan konsep terkait pendidikan keagamaan adalah pemakaian istilah Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK). Meskipun di dalam RUU pada bagian Pendidikan Keagamaan Katolik ada istilah SMAK, namun konsep SMAK dalam RUU dan PP No.55/2007 sangat berbeda. Perbedaan ini tampak dalam penegasan prioritas isi materi pembelajaran, yaitu terkait mata pelajaran khusus keagamaan dan mata pelajaran umum.

Konsep SMAK dalam PP 55/2007 adalah pendidikan umum (Kurikulum 2013) ditambah dengan mata pelajaran khas agama Katolik, seperti Kitab Suci, Liturgi, Ajaran Moral Gereja, dan katekese. Sedangkan konsep SMAK dalam RUU adalah pendidikan keagamaan Katolik ditambah dengan beberapa mata pelajaran umum. Dua konsep ini sangat berbeda dari sisi implementasi, kualifikasi, dan mungkin juga penerimaannya di kalangan umat Katolik sendiri.

Bagi sebagian besar umat Katolik dan juga bagi beberapa pemimpin Gereja Katolik, keberadaan SMAK seperti diatur dalam PP No. 55/2007 ini pun belum banyak dipahami. Tidak banyak umat Katolik Indonesia yang tahu bahwa Bimas Katolik, di bawah pengawasan Kementerian Agama, memiliki unit kerja Pendidikan Keagamaan Katolik pada jenjang SMA yang disebut dengan Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK).

SMAK adalah satuan pendidikan Katolik yang telah memperoleh izin dari uskup untuk menjadi satuan pendidikan formal di bawah Kementerian Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum plus pendidikan keagamaan. SMAK ini mirip Madrasah Aliyah (MA) dalam pendidikan keagamaan Islam. Saat ini sudah ada 31 SMAK di seluruh Indonesia yang tersebar di 8 Provinsi. Pembiayaan penyelenggaraan SMAK berasal dari anggaran negara yang dikelola melalui Bimas Katolik di Kemenag.

Dengan konsep pendidikan umum plus tambahan mata pelajaran keagamaan Katolik saja SMAK masih memiliki banyak tantangan dan belum banyak memperoleh dukungan dari uskup, para imam dan umat Katolik sendiri, apalagi bila pendidikan keagamaan dipahami sebagai murni pendidikan keagamaan plus beberapa mata pelajaran umum. Mungkin sekolah jenis terakhir ini akan kesulitan memperoleh peserta didik baru.

SMAK selama ini didirikan di kantong-kantong yang secara mayoritas penduduknya beragama Katolik, seperti di NTT, Papua, atau Kalimantan, sehingga potensi penerimaan siswa baru masih besar. Di Pulau Jawa hanya ada satu SMAK, yaitu di Malang. SMAK belum ada di semua Provinsi.

Dari sudut pandang politik, RUU ini bisa dibaca sebagai sebuah usaha untuk menarik dukungan dari kalangan santri dengan memanfaatkan momen kedekatan Presiden Joko Widodo dengan para santri. Konsekuensi dari RUU ini adalah pembiayaan pendidikan para santri dan pendidikan keagamaan oleh negara. Meskipun porsi pembagian anggaran tidak sebesar untuk pesantren, sebenarnya pendidikan keagamaan Katolik juga mendapatkan keuntungan, misalnya para katekis bisa mendapatkan honor dari pemerintah melalui anggaran pendidikan keagamaan.

Bila ditilik dari sudut pandang politik, Gereja Katolik akan sulit untuk menolak RUU ini. Bila demikian, yang bisa dilakukan adalah mengusulkan revisi beberapa pasal yang merugikan sehingga di masa depan pendidikan keagamaan Katolik dapat berkembang lebih baik dengan dukungan negara.

Tiga Sikap
Terkait RUU ini, ada tiga sikap yang bisa dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai lembaga keagamaan Katolik. Pertama, menolak RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan secara menyeluruh dengan alasan bahwa pendidikan keagamaan, termasuk pesantren, sudah diatur di dalam PP No.55/2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Kalau pun kepentingan pesantren belum terakomodasi secara detail dalam PP ini, para pihak yang berkepentingan perlu merevisi PP untuk mengakomodasi kepentingan dan aspirasi dari kalangan pesantren dan pendidikan keagamaan. Lebih dari itu, Gereja Katolik sudah memiliki lembaga formasio untuk para ahli agama dan calon pemimpin agama. Ini semua sudah diatur dalam Kitab Hukum Kanonik.

Kedua, kalau pun secara politis Gereja sulit menghentikan RUU ini, Gereja tetap perlu mendorong revisi PP No. 55/2007 sebab dalam PP ini tentang pendidikan keagamaan Katolik hanya diatur pendirian SMAK dan Pendidikan Tinggi Agama Katolik saja. Pendidikan keagamaan Katolik pada jenjang SD, SMP tidak diatur. Karena itu, sampai sekarang Bimas Katolik tidak dapat mendirikan Sekolah Dasar Agama Katolik (SDAK) dan Sekolah Menengah Pertama Agama Katolik (SMPAK).

Ketiga, menyetujui RUU dengan catatan. Catatannya adalah perlu diatur tentang pendidikan keagamaan Katolik mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi. Agak aneh bahwa pendidikan keagamaan Katolik yang diatur dalam RUU ini hanya pada jenjang SMA dan universitas, sedangkan PAUD, SD dan SMP tidak diatur. Padahal pendidikan keagamaan pada agama lain diatur sejak PAUD sampai Perguruan Tinggi.

Seandainya pada akhirnya RUU ini adalah produk politik yang dipaksakan, kita perlu mengantisipasinya dengan menyediakan dasar hukum yang baik bagi implementasi pendidikan keagamaan Katolik mulai dari PAUD sampai Pendidikan Tinggi yang saat ini belum diatur secara komprehensif, baik dalam PP No.55/2007, maupun dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Dengan demikian, pilihan umat Katolik pengelola dan penyelenggaran sekolah Katolik bisa lebih variasi. Anda bisa memilih mengelola sekolah umum berciri Katolik, atau sekolah agama Katolik versi PP 55 (sekolah umum plus beberapa mata pelajaran keagamaan Katolik), atau sekolah agama katolik versi RUU (sekolah keagamaan plus beberapa mata pelajaran umum).

Doni Koesoema A.
Pemerhati Pendidikan dan Tenaga Ahli di Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan, Kemendikbud.

HIDUP NO.48 2018, 2 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here