Lucia Eti Koensetijowati dan Ignatius Dadut Setiadi : Kehadiran dan Dukungan Orang Tercinta

430
Luci dan Dadut.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Vonis kanker sempat membuat semangat hidupnya redup. Saat-saat seperti itu, kehadiran dan dukungan orang terdekat amat vital.

Rumah Lucia Eti Koensetijowati terletak tak jauh dari Gereja St Theresia Bongsari, Keuskupan Agung Semarang. Itulah yang membuat Luci, sapaannya, senang terlibat dalam kegiatan gereja. Kala itu, sekitar tahun 1980, organis paroki belum banyak. Perempuan bertubuh langsing ini ingin mengembangkan talentanya bermain alat musik itu.

Memasuki bangku kuliah, Luci kian terlibat dalam aktivitas menggereja. Semangatnya melayani Tuhan dan sesama terus menggelora. Apalagi, dalam kegiatan-kegiatan tersebut dia dapat bertemu dengan pemuda tampan yang juga sama-sama aktif di paroki. Pria yang menggetarkan hatinya itu adalah Ignatius Dadut Setiadi.

Seiring waktu, kisah cinta dua insan muda itu berpilin. Dadut kerap mengantar-jemput Luci. Lama-kelamaan bunga asmara di antara keduanya bersemi dan kian mekar seirama dengan seringnya waktu kebersamaan kedua aktivis ini di gereja. Senada dengan Luci, Dadut juga senang terlibat di lingkungan gereja dan masyarakat.

Menyiapkan “Istana”
Delapan tahun Dadut dan Luci berpacaran. Waktu yang lama itu mereka gunakan untuk saling mengenal. “Bapak itu cinta pertama dan terakhir saya,” kenang alumna SMU Sedes Sapientiae Semarang ini sambil tersipu malu.

Mereka bertekad mandiri setelah menikah. Maka pasangan yang selalu terlihat kompak ini menabung untuk menyiapkan “istana” cinta mereka kelak. Setelah semua siap, mereka mantap mengikat janji di hadapan Tuhan pada 18 September 1994. Mereka menikah di Gereja St Theresia Bongsari, tempat yang mempertemukan mereka delapan tahun lalu. Setelah menikah, Dadut tetap memberi kesempatan istrinya bekerja. Di sela kesibukan sebagai karyawan swasta, Luci tak melalaikan kewajibannya sebagai istri.

Kebahagiaan pasangan ini kian berlaksa dengan kehadiran buah hati. Tanggungjawab yang kian bertambah dengan kehadiran putri mereka, membuat Luci mengurangi kegiatan menggerejanya. Sementara Dadut tetap aktif di gereja dan lingkungan. Karyawan Unika Soegijapranata Semarang itu sempat didapuk sebagai Ketua RT, lingkungan, pengurus dewan paroki harian. “Selama menjalani peziarahan hidup ini alangkah bahagianya jika hidup kita bisa menjadi berkat bagi banyak orang,” jelasnya.

Demi mengimbangi tanggung jawab di keluarga, lingkungan, dan gereja, Luci dan Dadut berbagi peran. Di tengah seabrek peran tersebut, mereka tetap menyediakan waktu berdua untuk menghangatkan api cinta. Lima tahun kemudian Tuhan kembali memberi mereka anak kedua. Lengkap sudah kebahagiaan mereka diberi sepasang putra-putri.

Sewaktu Riska, putri sulung, duduk di kelas V SD, dia terkena demam berdarah. Luci dan Dadut membawa Riska ke RS Elisabeth. Luci kerap meneteskan air mata menyaksikan putrinya tak berdaya. Dia hanya mampu berdoa, memohon belas kasih Tuhan. “Tuhan sunnguh mendengar tangisan dan doa saya. Putri kami bisa melewati masa kritisnya,” kenang Luci, terharu.

Ujian berikut kembali menerpa pasangan ini. Pada Februari 2013, Luci hendak mengikuti pendalaman iman Aksi Puasa Pembangunan di lingkungan. “Saat saya siap berangkat, tiba tiba saya merasakan benjolan muncul di payudara saya. Bagaikan disambar petir. Saya kaget. Begitu saya raba ternyata benjolan itu agak besar dan sakit,” ungkap alumna Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang ini.

Kelahiran Semarang itu lantas menceritakan hal tersebut kepada sang suami. Dadut langsung memeluk isterinya. Mereka berdua sangat sedih. Saat itulah Dadut merasakan betapa sayangnya dia kepada pasangan hidupnya itu. Mereka berpegangan tangan, saling menemani dan menguatkan.

Meski sedih, Luci dan Dadut tetap ikut pendalaman iman lingkungan. Usai itu, mereka memanggil anak-anak. Mendengar cerita ibunda, Riska terpukul. Dia menangis. Hati Luci bak tersayat melihat kesedihan putrinya. Bayang-bayang kematian menghantui dirinya. Dia kuatir anak-anak kehilangan kasih sayang seorang ibu. “Saya harus tetap tegar di depan suami dan anak anak,” ujarnya, bertekad.

Menjaga Keutuhan
Demi memastikan benjolan, Luci dan Dadut pergi ke dokter spesialis penyakit dalam dan hematologi. Kebetulan sang dokter masih kerabat dengan mereka. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dengan raut wajah yang serius, sang dokter mengatakan, Luci kemungkinan menderita kanker ganas.

Agar lebih memastikan, dokter meminta Luci untuk memeriksa ke laboratorium. “Mendengar vonis itu, saya menangis. Saya tidak bisa tidur semalaman. Di benak saya sebentar lagi malaikat maut akan menjemput saya,” ujar wanita yang tergabung dalam komunitas survivor kanker ini.

Sehari kemudian, Luci memeriksakan dirinya di RS Telogorejo. Berdasarkan hasil laboratorium pathologi anatomi, Luci positif menderita kanker payudara dengan stadium 2B. Dia harus menjalani program operasi, kemoterapi, dan radiasi yang membutuhkan waktu panjang dan stamina prima.

Luci tak lagi bergairah menjalani kehidupan. Dia merasa hidupnya takkan lagi berarti. Di ujung keputusasaan, Dadut hadir dan menjadi sahabat baginya untuk melewati lembah duka bersama-sama. “Sebagai suami, saya mempunyai tanggungjawab: menjadi penjaga iman dan penjaga keutuhan keluarga. Jika salah satu anggota keluarga menderita maka seluruh anggota harus saling menguatkan,” ujar Dadut.

Teladan St Yosef, suami St Maria, menjadi sumber inspirasi Dadut untuk meneguhkan semangat hidup sang istri yang meredup. St Yosef dengan setia mendampingi Bunda Maria ketika akan melahirkan Yesus. St Yosef juga tetap setia mendampingi Maria meski tak ada penginapan yang menerima mereka.

Kesetiaan St Yosef kepada keluarganya menjadi kekuatan Dadut untuk selalu berada di sisi orang tercinta kala badai kehidupan menerpa.

Beruntung, setelah melewati beberapa kali kemoterapi dan radiasi, kondisi Luci berangsung-angsur membaik. Setiap ingin menyerah, dia selalu mengingat suami dan kedua buah hatinya. Kehadiran orang-orang terkasih memompa semangatnya untuk sembuh.

Kesempatan Kedua
Setelah menjalani semua program penyembuhan sekitar tujuh bulan, Luci merasa bahwa Tuhan memberikan kesempatan hidup kedua baginya. Dia ingin menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Maka dia kembali aktif di berbagai komunitas seperti Kursus Evangelisasi Pribadi, Persekutuan Doa Karismatik Katolik, dan menjadi pengajar bagi anak-anak katekumen.

Luci ingin agar imannya dan suami semakin ditambahkan. Dia juga ingin hidup mereka lebih bermakna bagi banyak orang. “Cinta Tuhan dan dukungan keluarga itulah yang membuat saya tetap kuat dalam mengarungi setiap badai kehidupan hingga kini,” ujar Luci.

Ivonne Suryanto

HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here