Johanes Baptista Soemarsono : Berkat Tuhan dan Dukungan Istri

831
Soemarsono dan Eksa di depan pintu Gereja St Arnoldus Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Perjuangannya mendirikan sekolah kejuruan tak mulus. Berkat belas kasih Tuhan dan dukungan orang tercinta, ia mampu mewujudkan cita-cita.

Soemarsono bergeming saat mendengar keputusan sepihak komite sekolah atas dirinya. Mereka memberhentikannya sebagai kepala sekolah. Padahal, sudah satu dasawarsa ia menakhodai sekolah tersebut. Ia juga salah satu pendiri dan turut mengembangkan eksistensi lembaga pendidikan tersebut.

Keputusan itu terjadi karena Soemarsono tak sependapat dengan kebijakan komite sekolah. Menurutnya, hal tersebut melenceng dari prinsip pendirian lembaga pendidikan itu. Keluar dari sana, ia mendirikan yayasan serta sekolah kejuruan baru bernama SMK Paramitha.

Soemarsono tak menyangka, seluruh guru dan dan sebagian besar murid dari sekolahnya yang dulu pindah ke sekolahnya. Karena hal itu, meski baru berdiri, SMK Paramitha sudah mampu membuka dan menerima siswa sampai kelas tiga. Tapi, baru lima tahun berjalan, cobaan kembali menerpa Soemarsono. “Pemilik gedung mengusir saya,” kenang kelahiran Klaten, Jawa Tengah, saat ditemui di ruang kerjanya, di bilangan Jakarta Timur, pada pekan ketiga November lalu.

Sekolah Darurat
SMK Paramitha waktu itu berada di Tebet, Jakarta Selatan. Bangunan tersebut Soemarsono sewa beli dari seseorang. Selama lima tahun di sana, menurut pengakuan Soemarsono, tak pernah sekali pun Paramitha alpa membayar sewa. “Katanya, ‘sertifikat bangunan ini sudah diangunkan kepada bank’,” ujar Soemarsono, mengutip keterangan pemilik bangunan.

Selang beberapa hari, orang bank mendatangi Soemarsono sembari membawa debt collector. Ia diusir dan gerbang sekolah digembok. Kian rumit karena sepuluh hari lagi Paramitha akan memulai tahun pelajaran baru.

Soemarsono tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sore setelah kejadian, usai berdoa Rosario, ia mengajak adik kandungnya untuk berjalan-jalan. Tanpa ada rencana, kakak-beradik ini menemui Lusia, pemilik lembaga kursus Santa Lusia. Baik Soemarsono maupun sang adik belum pernah bertemu dan mengenal orang itu. “Bu Lusia menerima kami meski kami baru bertemu,” terang mantan Koordinator Penyusunan dan Pengembangan Kurikulum SMK Pariwisata itu.

Ia mengutarakan kepada Lusia bahwa sekolahnya membutuhkan kelas untuk kegiatan belajar-mengajar. Sayang, Lusia tak memiliki ruangan yang mampu menampung 600 siswa. Namun, dirinya berjanji akan menemui dan membicarakan hal terebut kepada Pastor Herbert Henslok SCJ. Pastor Henslok merupakan pengurus Yayasan St Antonius Bidaracina, yang menangani persekolahan St Antonius.

Hanya berselang tiga hari, sesudah Lusia bertemu Pastor Henslok, sang imam menerima Soemarsono di ruang kerjanya. Soemarsono mengulang permohonan seperti yang disampaikan kepada Lusia. Pastor Henslok memberikan respons positif. SMK Paramitha bisa menggunakan SD Antonius pada siang hingga sore.

Soemarsono lantas menanyakan biaya sewa kepada Pastor Henslok. Namun, justru Pastor Henslok yang balik bertanya kepadanya, “Lho, kamu punya duit? Kalau kamu punya duit untuk bangun gedung saja bukan bayar sewa,” ujar Soemarsono, mengulang saran imam asal Polandia itu.

Meski demikian, Soemarsono meminta kepada Pastor Henslok agar Paramitha tetap menanggung biaya penggunaan listrik, telepon, dan air yang mereka pakai. Pastor Henslok menyetujui permintaan tersebut. Sejak saat itu, sebagian besar siswa SMK Paramitha menempati SD Antonius, di Jalan Otista, Jakarta Timur. Sebagian siswa lain di Pondok Kelapa.

Dalam situasi darurat seperti itu, Soemarsono takjub, tak ada satu pun siswa maupun orangtua yang mengeluh dan keberatan ihwal perpindahan sekolah. Padahal, ada siswanya yang tinggal di Pasar Minggu, Depok, Kebon Jeruk, dan Pluit. “Saya yakin, ini bukan karena kekuatan manusia. Saya tak bisa mengandalkan kemampuan saya. Saya harus mengandalkan kemampuan Tuhan,” ujarnya.

Pandangan Hidup
Soemarsono hingga kini tak menyangka, persoalan pelik yang pernah dihadapi sekolahnya waktu itu bisa terurari hanya dalam waktu tiga hari. Bahkan, kenalannya di Dinas Pendidikan sempat mengira masalah tersebut bakal membuatnya stres atau jatuh sakit. Sehingga, saat berkunjung, mereka kaget, ternyata ia masih segar, sehat, dan tesenyum.

Tak hanya itu. Kendati masih dalam keadaan darurat, ternyata SMK Paramitha tak sepi dilirik para calon siswa baru. Bahkan, saking ramai yang mendaftar, Soemarsono sempat menyarankan untuk membatasi pendaftaran. Namun, atas saran para guru, rencana tersebut ia urungkan. “Dari situ saya semakin menyadari, bukan karena saya, tapi Tuhanlah yang bekerja. Roh Kudus yang menggerakan semua,” ungkapnya, yakin.

Begitu kegiatan persekolahan melaju, dalam sebuah rapat para guru, ada yang mempertanyakan soal masa depan SMK Paramitha. Apakah kegiatan sekolah selamanya berada terpisah? Soemarsono meyakinkan, dalam setahun akan mendapat dana untuk membangun gedung baru sekolah. Meskipun dalam hati ia tak tahu bagaimana dan di mana mendapatkan dana tersebut.

Selang beberapa hari setelah rapat, jelang makan siang, seorang agen asuransi mendatangi dan menawarkan asuransi untuknya. Pada kesempatan itu, Soemarsono bertanya sekaligus meminta bantuan kepadanya, jika ada kliennya karyawan bank agar dihubungkan. Ia ingin mengajukan pinjaman kepada bank. “Ternyata ada. Saya langsung menghubungi orang tersebut. Tak sampai seminggu bank mengabulkan pinjaman saya,” kenang Soemarsono.

Pinjaman perdana ia gunakan untuk membeli tanah dan membangun gedung. Seiring waktu, bank kembali memberikan pinjaman untuknya. Uang yang ia terima, dipakai untuk memperluas lahan dan menambah gedung baru. Hanya dalam waktu delapan bulan, bangunan sekolah yang berada di Jalan Kalimalang, Duren Sawit, Jakarta Timur itu rampung dan langsung digunakan untuk ujian para siswa.

Krisis moneter yang terjadi tahun 1997 membawa dampak buruk bagi Soemarsono. Ia kesulitan melunasi utang kepada bank. SMK Paramitha juga turut terpapar persoalan ekonomi dalam negeri. Siswa yang mendaftar ke sana menurun drastis. Banyak siswa terpaksa drop out (DO) lantaran orangtua mereka dirumahkan. “Sampai dua kelas (siswa) yang DO,” beber mantan Ketua Badan Kerjasama Sekolah Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata ini.

Kondisi muram seperti itu justru semakin mengantar Soemarsono lebih dalam menyelami imannya. Ia menyadari, semua persoalan itu tak bisa diatasi semata-mata mengandalkan kemampuannya. “Jika hanya mengandalkan logika dan kemampuan manusia, saya bisa gila waktu itu. Persis seperti pesan Nabi Yeremia, ‘terkutuklah orang yang mengandalkan kekuatan manusia, kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari Tuhan’ (Yer. 17:5)’,” ujar umat Paroki St Monika Serpong, Keuskupan Agung Jakarta ini.

Dua tahun setelah krisis, Soemarsono mulai bangkit dan menata kembali kehidupannya. Namun, ia masih berjibun kepada bank. Dalam situasi yang belum stabil, Tuhan mempertemukan Soemarsono dengan Eksa Sari Wani. Banyak perbedaan mendasar yang dimiliki pasangan ini, antara lain suku, agama, dan usia. Jarak umur mereka terpaut 21 tahun. “Ada yang menuding, saya menikah dengan Bapak karena harta. Padahal waktu mulai berkenalan, beliau tak punya rumah dan masih banyak utang kepada bank,” ujar Eksa.

Dukungan Istri
Berkat Tuhan serta kehadiran dan dukungan istri, Soemarsono mampu lepas dari lilitan utang di bank tahun 2006. Dukungan Eksa tak hanya di ranah ekonomi dan keluarga, ia turut membantu perkembangan iman dan pelayanan suami dan anak-anaknya sebagai penganut Katolik. “Saat di Mekkah, Ibu menelepon saya. Beliau mengingatkan, agar saya jangan lupa mengantar anak ke gereja untuk katekumen. Saya terharu,” puji Soemarsono kepada istrinya.

Sebagai seorang ibu, Eksa tak menampik, sempat ada kesedihan ketika kedua buah hatinya memutuskan untuk mengikuti iman suaminya. Namun, ia mampu menerima keputusan mereka secara ikhlas. Pesannya, jadilah orang Katolik yang baik, moderat, dan terbuka kepada semua orang.

Terkait perkawinan beda agama, Eksa tetap menyarankan, sebaiknya carilah pasangan yang seagama. Jika memang tak bertemu, carilah yang seiman. Bila dua-duanya tak berhasil carilah pasangan yang memiliki kesamaan pandangan hidup. “Jika tak memiliki semua itu takkan bisa bersatu dan bertahan. Saya dengan Bapak memang berbeda agama. Tapi kami memiliki iman yang sama, yakni sama-sama mengimani Tuhan, Sang Pencipta,” pungkasnya.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.52 2018, 30 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here