Misi KAJ di Bumi Khatulistiwa dan Cendrawasih

788
Misionaris: RD Adji Prabowo melatih menyanyi umat Stasi Rumah Betang Tangit 1 sebelum Misa Paskah.
[HIDUP/A. Nendro Saputro]
4/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Badau dan Bomomani adalah dua wilayah misi Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Kehadiran para imam misionaris diosesan di dua daerah misi ini memberi inspirasi rohani, ekonomi, kesehatan, serta pendidikan.

Suasana Kota Badau, malam itu sepi. Hanya satu dua kendaraan melintas, pada pukul 21.00 WIB. Badau adalah kota kecamatan di wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Luasnya sekitar 400 kilometer persegi. Kecamatan ini merupakan daerah perbatasan Indonesia dengan Serawak, Malaysia. Badau dapat dicapai dari Putussibau melalui jalan darat dengan waktu tempuh antara 4-5 jam. Jalan penghubung dua tempat ini cukup memadai, meski tidak ada lampu penerangan jalan. Sedangkan Putussibau dapat dicapai dengan pesawat terbang dari Ibu Kota Kalimantan Barat, Pontianak.

Badau, dalam wilayah gerejawi, termasuk wilayah Keuskupan Sintang, Provinsi Gerejawi Pontianak. Badau merupakan pusat paroki St Monfort, yang kini digembalakan oleh dua imam misionaris diosesan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), yakni Pastor Kepala Paroki RD Antonius Adji Prabowo dan Pastor Rekan RD Benediktus Ari Dharmawan.

Romo Adji diutus Uskup Agung Jakarta, dan mulai berkarya di paroki ini pada 14 April 2005. Selama hampir 10 tahun, Romo Adji masih sering menjumpai umat yang buta huruf, pernikahan muda, dan umat yang merantau ke Malaysia. Di bidang kesehatan, masih banyak warga yang menderita malaria, hepatitis dan TBC. Pada umumnya, umat memilih agama Katolik karena tidak dilarang makan babi dan minum tuak.

Sementara, menurut RD Benediktus Ari Darmawan, yang mulai bertugas 12 Februari 2013, fokus kehidupan umat adalah memenuhi kebutuhan pokok, bukan iman. Karena itu, banyak umat kurang paham liturgi. Paroki St Monfort Badau juga tidak memiliki katekis untuk menggerakkan umat. Ketiadaan katekis ini, antara lain karena paroki tidak punya dana untuk membayar para katekis. Tetapi, mulai 2014 paroki sudah bisa memberikan honor untuk tujuh orang guru agama yang mengajar di sekolah negeri.

Misionaris Guru Akuntansi
Di Badau, bukan saja guru agama yang kurang, tetapi juga guru pada umumnya. Menjadi gembala di wilayah seperti ini, seorang imam juga dituntut bisa segalanya. Romo Adji, bahkan kemudian juga menyandang profesi baru, yakni guru. Mula-mula, Romo Adji mengajar agama di SMA 1 Badau. Kemudian ia juga mengajar Matematika, Bahasa Inggris, dan Akuntansi. Selain mengajar, mantan Rektor Seminari Wacana Bhakti Jakarta ini juga mengurus administrasi paroki.

Sehari-hari, pada sore hari Romo Adji turne ke stasi. Ia pulang ke pastoran pada malam hari. Tetapi, Romo Ari biasanya turne ke stasi dan menginap dua sampai tiga hari. Selama turne, Romo Ari membimbing anak-anak belajar pelajaran sekolah, ikut pergi ke ladang, kerja bakti, olah raga bersama, dan pada malam hari ia mempersembahkan Misa. Ia kadang juga membaptis bayi dan mengajar persiapan komuni pertama.

Pastoran Badau baru dibangun pada 2011. Pada saat peresmiannya, 22 Juli 2012, diadakan peletakan batu pertama pembangunan gereja oleh Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis M.H. Kini gereja itu telah berdiri, dan akan diresmikan pada 6 Juni 2014. Selain membangun sarana ibadat dan rumah tinggal pastor, di bidang kesehatan Romo Adji juga bekerja sama dengan Perdhaki membuat program pemberantasan malaria dan TBC, sejak 2010.

Romo Adji juga merintis pembangunan Rumah Betang di Stasi Pesayah. Rumah adat Dayak ini mulai di bangun pada 2012, berkat bantuan dari KAJ dan pemerintah daerah. Rumah Betang ini terdiri dari 16 bilik, berlantai semen, beratap seng. Rumah yang dibuat tanpa panggung ini, luasnya 112 meter X 35 meter. “Romo ini baik banget,” kata Kepala Kampung Adrianus Rajali (65 tahun), ketika HIDUP berkunjung ke Rumah Betang ini, Jumat, 25/4. Saking senangnya, dalam sebuah pertemuan, Rajali menjuluki Romo Adji dengan sebutan “Tuhan”.

Misi Papua
Selain ke Keuskupan Sintang, Uskup Agung Jakarta juga mengutus imamnya ke Keuskupan Timika, Papua, Provinsi Gerejawi Merauke. Tenaga imam dan pastoral Keuskupan Timika, seperti halnya keuskupan-keuskupan lain di Papua, sangat terbatas. Itulah mengapa Uskup Timika meminta kepada Uskup Agung Jakarta untuk mengirimkan imamnya. KAJ menanggapi tawaran ini, dengan landasan semangat solidaritas untuk berbagi dalam kesatuan dengan Gereja Universal.

Dari 30 paroki di wilayah Keuskupan Timika, KAJ akhirnya memulai karya di salah satu paroki di pedalaman, yaitu Paroki St Maria Menerima Kabar Gembira, Bomomani. Paroki dengan jumlah umat 2.158 jiwa ini terbagi dalam tujuh stasi yang tersebar di Kecamatan Mapiha, Kabupaten Dogiyai. Wilayah ini sulit di jang kau. Jalan menuju tempat ini sejauh 185 km dari Nabire sedang dibangun oleh pe merintah daerah. Tanah di wilayah inipun sering longsor.

Luas wilayah Paroki ini sekitar 4.000-an kilometer persegi ini, tetapi hanya dihuni oleh 5.805 jiwa. Suku yang mendiami daerah ini adalah Suku Mee yang pada umumnya beragama Katolik dan Protestan. Bomomani, sudah sejak enam tahun di pisahkan dari Kabupaten Nabire, sejak Dogiyai menjadi kabupaten. Tetapi ironis bahwa listrik, komunikasi, tenaga guru, dan fasilitas kesehatan jauh dari memadai di Bomomani.

Tantangan yang kini dihadapi Misionaris KAJ di Bomomani, bukan saja menyangkut keterbatasan fasilitas, tetapi juga kondisi masyarakat pedalaman yang masih minim dalam berbusana dan sederhana dalam berpikir. Namun, di sisi lain, fasilitas dalam budaya modern itu sendiri juga membawa dampak bagi kehidupan masyarakat tradisional suku Mee. Beragam persoalan sosial, seperti perjudian kartu, togel, mabuk minuman keras, mencium lem aibon, hingga HIV AIDS yang merangsek pelosok Papua menjadi tantangan tersendiri dalam berpastoral.

Pengelola Misi
Misi KAJ di tanah Papua sudah dimulai sejak 2004, ketika Uskup Agung Jakarta waktu itu, Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, mengutus RD Ferdinand untuk menggembala di paroki ini (2004- 2011). Setelah itu, menyusul RD Michael Wismu Agung Pribadi yang berkarya pada 2010-2013. Kini, Mgr I. Suharyo tetap melanjutkan karya ini dengan mengirim RD Yustinus Kesaryanto sejak 2011. Selain Romo Kesaryanto, KAJ juga mengutus RD F.X. Suherman, sebagai Pastor Rekan sejak September 2013. Sejak 2011, Seminari Tinggi KAJ juga mengirimkan para frater dan diakon untuk membantu pelayanan pastoral di paroki ini. Mereka yang pernah diutus adalah Fr Purboyo Diaz, Fr Bonifasius Lumintang, Diakon Reynaldo Antony dan Diakon Lukcy. Pada Misa Krisma, Kamis Putih, 17/4, Uskup Agung Jakarta juga mengumumkan tugas perutusan RD Paulus Dwi Hardianto, imam yang ditahbiskan pada 22 Agustus 2013, ke Bomomani.

Misionaris KAJ di Keuskupan Timika tidaklah berjalan sendiri, namun bergerak bersama umat KAJ maupun Keuskupan Timika. Ada sejumlah sukarelawan yang membantu karya misi ini, antara lain Antonius Wahyu yang sudah bertugas pada 2008-2012. Di samping itu, ada pula sukarelawan dari Perancis yang tergabung dalam Fidesco, yaitu organisasi yang bermarkas di Prancis dengan tujuan membantu Gereja-gereja dalam pengadaan tenaga ahli. Paroki Bomomani mendapat dua tenaga dalam bidang peternakan dan pertanian, yaitu dr Correian Mulla Matthieu dan dr Myriam Anne Claire yang bertugas selama enam bulan pada 2012. Mereka digantikan oleh oleh Jean Babtiste Clement dan Jerome Bourgue pada 2012-2013.

Selain itu, ada Mitra Misi Domestik (MMD), yaitu kelompok umat yang mendukung karya Misionaris KAJ di Bomomani. Awalnya kelompok awam ini memiliki perhatian pada karya para imam yang bertugas di pelosok Papua, khususnya Bomomani. Mereka membantu baik tenaga, pikiran, maupun materil untuk umat yang terpencil dan “miskin” dari segala aspek. Saat ini anggota MMD ada di KAJ maupun di Keuskupan Timika, khususnya Nabire.

Karya Iman
Misonaris KAJ, dalam keterlibatannya selama satu dasawarsa, telah berjibaku mendampingi masyarakat Bomomani dalam menghadapi era peradaban modern. Empat pilar pelayanan yang di kembangkan, mencakup pelayanan kerohanian de ngan sakramen, karya kesehatan, perekonomian, dan pendidikan.

Kini Paroki Bomomani telah mendirikan tujuh stasi yang awalnya adalah pos-pos yang didirikan oleh misionaris Belanda pada 1940. Pos-pos ini dibuat untuk memudahkan umat yang tinggal secara tersebar untuk berkumpul. Berkat perjuangan Misionaris KAJ, bantuan dari para donatur, serta kerja keras umat, akhirnya kerinduan mereka untuk memiliki sebuah gedung gereja juga terpenuhi pada 30 Maret 2008. Umat Bomomani bersama gembalanya masih terus berjibaku merampungkan pembangunan sarana-sarana kerohanian lainnya, seperti Gua Maria dan Jalan Salib.

Hasil yang dipetik dari usaha misionaris awal cukup baik dari segi kuantitas. Namun, dari segi kualitas masih yang harus di benahi. Misalnya, sikap umat yang hanya mau berdoa pada hari Minggu pada perayaan Ekaristi. Hari-hari yang lain di anggap bukan hari untuk berdoa.

Ekonomi, Kesehatan dan Pendidikan
Visi Misionaris KAJ adalah menyejahterakan para petani, yang sebagian besar adalah masyarakat Mapiha. Visi ini didasarkan pada konteks masyarakat petani di Mapiha yang termarginalkan akibat keterbatasan akan pengetahuan bertani dan monopoli pasar. Maka, Misionaris KAJ bekerjasama dengan United State Agency International Development (USAID). Kerja sama ini membuahkan Koperasi Serba Usaha San Isidorus, pada 29 September 2011. Koperasi ini didirikan di Mapiha. Kegiatan yang dilakukan koperasi ini adalah membeli hasil panen kopi dari para anggota dan memasarkannya. Koperasi juga bertanggung jawab memberikan pembinaan dan penyuluhan dalam bidang pertanian.

Mata pencarian tradisional suku Mee adalah berkebun dan beternak babi secara tradisional. Babi mereka biarkan berkelana tanpa kandang dan tanpa diberi pakan, hingga banyak ternak yang tidak sehat, dan tak jarang mati. Di sisi lain, mata pencarian warisan nenek moyang itu juga hampir punah lantaran para petani sudah terlanjur malas beternak karena menerima bantuan uang respek dari pemerintah. Atas alasan inilah, maka misi mengembangkan peternakan, yang diharapkan dapat menjadi sarana masyarakat untuk belajar. Dengan melihat cara beternak yang baik, diharapkan para petani tertarik, dan semangat mereka untuk beternak tumbuh kembali. Selain babi, peternakan yang dikembangkan adalah ayam pedaging dan ikan lele.

Di bidang kesehatan, kondisi masyarakat Mapiha boleh dibilang memprihatinkan. Masyarakat belum punya kesadaran akan kesehatan diri, kebersihan, sanitasi rumah, di samping seks bebas dan kekurangan gizi. Kondisi rawan dialami anak-anak Balita yang kekurangan gizi. Melihat kondisi ini, Misionaris KAJ tergerak untuk mengusahakan pelayanan kesehatan. Pelayanan ini dilakukan secara swadaya, diadakan di pastoran maupun di rumah-rumah umat. Kegiatan bakti sosial juga kerap dilakukan Misionaris KAJ dengan mengundang dokter dan tenaga medis dari luar. Kehadiran mereka disambut antusias oleh masyarakat. Kehadiran mereka bukan saja mengobati penyakit. Mereka, sebagai warga di pelosok, merasa mendapatkan perhatian.

Pendidikan lahir di Mapiha pada 1952, seiring dengan kehadiran para misionaris awal. Sekolah merupakan sarana pewartaan dan mencerdaskan masyarakat. Jejak karya itu menjelma menjadi Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK). Misionaris KAJ di Distrik Mapiha- Bomomani juga diserahi tanggung jawab sebagai pembina SD YPPK St Stefanus Bomomani dan SD YPPK St Yohanes Abaimaida.

Masih di bidang pendidikan, Misionaris KAJ kemudian membuka Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Training Center dengan aneka kegiatan, dari program baca tulis hingga aneka kursus. Misionaris KAJ juga memperhatikan pendidikan nonformal, untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. PKBM merupakan suatu lembaga resmi yang mendapat legalitas dari pemerintah pada 1 Maret 2012. PKBM awalnya adalah Taman Belajar St Agustinus yang didirikan pada 17 September 2011. Taman Belajar St Agustinus ini dibentuk untuk membimbing orang muda maupun orang tua yang tidak bisa mengenyam pendidikan sekolah formal, agar bisa membaca dan menulis.

Misionaris KAJ juga mendirikan TK St Maria Magdalena pada 15 Juni 2013. Tujuannya untuk membimbing anak usia dini belajar mandi, gosok gigi, cuci kaki, cuci tangan, dan pembiasaan memakai alas kaki. Sedangkan, kepada orang tua, mereka diajarkan kebiasaan mencuci seragam anak, mempersiapkan bekal untuk anak, dll. Pola pendampingan ini cukup efektif. Bukan saja mengenalkan kebiasaan hidup yang sehat, tetapi juga meningkatkan kepedulian orangtua terhadap anak-anak mereka.

A. Nendro Saputro (Badau), Yustinus K. (Papua)

HIDUP NO.19, 11 Mei 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here