Perjalanan Gereja Membangun Dialog

272
Gayeng: Romo Miguel dan rombongan mengunjungi Ketua PBNU KH Said Agil Siradj di Kantor PBNU.
[NN/Dokpen.KWI]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Keterbukaan untuk berdialog dengan agama lain seperti yang tampak dalam kunjungan utusan Tahta Suci ini merupakan buah dari perjalanan panjang Gereja dalam merefleksikan kehadirannya di dunia.

Mulanya, Gereja tidak serta-merta mempunyai pandangan positif terhadap agama lain. Gereja belum berinisiatif untuk membangun relasi dengan umat beragama lain. Pada masa kekristenan awal, Gereja belum disibukkan dengan pertanyaan bagaimana membangun hubungan dan kerja sama dengan penganut kepercayaan lain. Pada zaman para Bapa Gereja, yakni pada abad II, perlahan-lahan mucul pengakuan bahwa ada keselamatan di luar Gereja. Pada zaman ini, Gereja mulai berjumpa dan berdialog dengan budaya baru, yakni Yunani dan Romawi.

Namun ketika kekristenan menjadi agama resmi dalam kekaisaran Romawi, sikap terhadap mereka yang berada di luar Gereja/Kekristenan berubah. Pada zaman ini pula, Gereja mensyaratkan bahwa orang yang ingin mendapatkan keselamatan harus ada dalam satu kawanan yakni umat kristiani. Hal ini diperkuat oleh pernyataan extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tak ada keselamatan) yang digemakan oleh Origenes dan Cyprianus.

Akan tetapi, angin segar berhembus setengah abad yang lalu, tepatnya pada Hari Raya Pentakosta tahun 1964, ketika Paus Paulus VI membentuk sebuah lembaga khusus yang memberi perhatian dalam berhubungan dengan umat beragama lain. Tiga windu kemudian, yakni pada 1988, lembaga ini diberi nama Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID). Nama inilah yang dipakai hingga saat ini.

PCDI dibentuk dengan tujuan untuk mempromosikan dialog antaragama sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II, khususnya deklarasi Nostra Aetate (pernyataan tentang hubungan gereja dengan agama-agama bukan Kristiani) pada 28 Oktober 1965.

Dokumen yang terdiri dari lima poin ini, salah satunya berbunyi “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus, Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang,” (Nostra Aetate, 2).

Dengan diumumkannya pernyataan tersebut, Gereja mulai membuka mata terhadap nilai-nilai yang dihayati agama lain. Gereja pun mendapat mandat dan terdorong untuk membuka diri, membangun relasi dan komunikasi dengan umat beragama lain.

Selain Nostra Aetate, dokumen lain yang yang menunjukkan keterbukaan Gereja terhadap agama lain adalah dekrit tentang misi gereja (Ad Gentes) dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam dunia modern (Gaudium et Spes). Ad Gentes dengan gamblang mengakui bahwa di dalam agama-agama lain terdapat “unsur-unsur kebenaran dan rahmat,” (AG 9). Sementara itu Gaudium et Spes menyatakan bahwa di dalam agama-agama lain terdapat “unsur-unsur yang berharga, baik religius maupun manusiawi” (GS 92).

Celtus Jabun

HIDUP NO.30, 27 Juli 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here