Martir Muda dari Mathausen

195
Pejuang Iman: Marcel Callo saat berada di kamp konsentrasi Nazi.
[saintsdefrance.canalblog.com]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pendudukan Nazi mematri duka dalam hidupnya. Rumahnya hancur. Saudarinya tewas. Ia pun terpisah dari keluarga dan tunangannya, mendekam di kamp konsentrasi dan menjalani kerja paksa. Hingga wafat, ia tetap setia merasul di tengah sesama tahanan.

Tahun 1940, Jerman mencaplok Perancis. Di bawah komando Adolf Hitler, pasukan Nazi Jerman merangsek dan meluluhlantakan kehidupan masyarakat di sana, termasuk soal agama. Praktik dan gerakan karitatif yang berbau agama, seperti Asosiasi Karyawan Muda Kristen dilarang. Bahkan, para anggota kelompok itu bernasib naas. Mereka digiring ke kamp konsentrasi, menjalani kerja paksa, intimidasi, penyiksaan, dan akhirnya dibunuh.

Salah satu di antara sekian banyak korban kebiadaban Nazi bernama Marcel Callo. Ia termasuk aktivis kemanusiaan yang amat bersemangat dalam karya pelayanan. Pemuda yang dikenal humoris, gemar berolahraga, dan menggandrungi seni teater ini wafat akibat kebengisan Nazi. Ia meregang nyawa di usia yang masih tergolong belia, yakni 23 tahun. Sebelum wafat, ia sempat menjalani serangkaian kerja paksa, siksaan fisik dan batin, yang merontokkan kesehatan raganya.

Pupus Harapan
Pesawat-pesawat berlambang swastika melayang-layang di teritori udara Perancis. Pesawat-pesawat itu menjadi mesin pembunuh yang memporakporandakan permukiman dan menghabisi nyawa penduduk sipil yang tak berdosa. Pada 8 Maret 1943, serdadu Hitler berhasil dan menduduki Rennes, Ille-et-Vilaine, Perancis Barat. Para tentara Jerman melakukan aksi kekerasan dan intimidasi, seperti yang mereka buat di tempat lain.

Saat pendudukan Rennes, kampung halaman Marcel tak luput dari kekejian tentara Jerman. Bahkan saudari kandungnya, Madeleine ikut menjadi tumbal kekejaman para serdadu Nazi. Madeleine wafat di antara reruntuhan puing rumah mereka yang hancur karena dibombardir Jerman. Marcel amat terpukul atas tragedi yang menimpa saudarinya. Penderitaan seolah belum mau berpaling darinya. Meski luput dari serangan udara, ia akhirnya ditangkap dan menjadi tawanan perang.

Duka kembali menghampirinya. Penangkapan itu memaksanya berpisah dengan Marguerita Derniaux, calon pendamping hidup. Peristiwa itu juga seolah memupuskan harapan mereka untuk mengikrarkan janji setia hingga maut menjemput. Maklum, Marcel dan Marguerita saat itu sudah bertunangan. Kebiadaban Jerman seolah menguburkan mimpi mereka membangun biduk rumah tangga.

Sempat terbersit niat untuk melarikan diri, membawa keluarga dan tunangannya hijrah ke tempat aman. Namun, Marcel tak tega harus melihat dan mengalami orang-orang yang di cintainya tersiksa di persembunyian. Ia pasrah dan membiarkan dirinya diboyong ke Jerman untuk menjalani kerja paksa. Langkah ini ia tempuh agar keluarga dan tunangannya selamat. Sebelum berpisah, ia berpesan kepada mereka, “Saya akan pergi, bukan sebagai pekerja, tapi sebagai misionaris”.

Masa Tahanan
Dari Rennes, Marcel digelandang ke Kamp ZellaMehlis, Jerman. Wilayah ini merupakan laboratorium senjata Jerman pada masa Perang Dunia II. Kenangan akan kematian Madeleine kembali menyeruak dan menyayat hatinya. Betapa tidak, saudarinya wafat karena senjata Jerman. Kini ia dipaksa bekerja di tempat yang telah memproduksi senjata yang merenggut nyawa saudarinya.

Para tawanan bekerja 12 jam tanpa henti. Jatah makanan dibatasi. Mereka tidur berjejalan dalam satu ruangan. Dan tiap hari, perlakuan tak manusiawi terus menghampiri. Syukurlah, di kamp ini para tawanan masih bisa berkumpul usai kerja. Mereka dapat saling berbincang dan berbagi cerita untuk sekadar melepas penat. Selama berada dalam kamp, mereka dilarang merayakan ibadat, apalagi Misa.

Lambat laun, kesepian menyelimuti hatinya. Selain tak bisa bertemu dengan ke luarga dan tunangannya, Marcel tak punya kesempatan merayakan Ekaristi yang menjadi kebiasaan dan sumber kekuatannya. Suatu ketika, ia menemukan sebuah ruangan tersembunyi yang bisa di jadikan tempat Misa. Dahaga rohaninya seakan mendapat angin segar. Kuncup harapan pun tumbuh bahwa kekeringan itu akan segera berakhir. Dalam surat kepada tunangannya, ia menulis, “Kristus akhirnya bertindak. Dia membuatku memahami, kesedihan dan depresi merupakan halangan dalam pelayanan. Karena itu, aku harus melayani”.

Naas, karya pelayanan dan aktivitas rohaninya terendus oleh tentara penjaga kamp. Marcel pun dipindahkan ke Gotha. Seolah tak takut akan hukuman yang bakal menimpanya, ia diam-diam rajin mengikuti Ekaristi dan giat mendoakan para tahanan lain. Dalam Ekaristi itu, ia aktif mengambil bagian sebagai penterjemah bagi para tahanan yang hanya bisa berbahasa Perancis. Selain itu, ia sering menjadi lektor dan penyusun lagu-lagu yang dipakai saat Misa. Marcel tak hanya berkecimpung dalam urusan rohani. Ia juga menjadi inisiator kelompok paduan suara, tim sepak bola, dan kelompok teater bersama rekan-rekan sesama tawanan. Lewat aktivitas itu, ia seolah merentangkan sayap misi pelayanan. Ia memotivasi para tahanan lain agar giat mengunjungi, melayani, dan berbagi obat-obatan kepada sesama yang sakit.

Lagi-lagi, sepak terjangnya segera tercium oleh penjaga kamp. Marcel dicap sebagai orang yang sangat berbahaya karena berhasil menumbuhkan semangat kristiani di tengah-tengah para tahanan. Kepala tahanan memerintahkan agar Marcel dipindahkan ke Penjara Flossenburg pada 7 Oktober 1944. Selama perjalanan dari Gotha menuju Flossenburg, tangan dan kakinya dirantai. Ia disekap dalam sebuah gerobak minim oksigen selama 12 jam. Namun entah apa penyebabnya, ia batal di tempatkan di Flossenburg. Ia justru dibawa ke Penjara Mauthausen, Austria.

Keutamaan Hidup
Di Mauthausen, Marcel menjalani masa-masa paling kelam dalam hidupnya. Para penjaga memperlakukannya secara keji. Ia disiksa, dipaksa bekerja berat, minim asupan gizi, serta ditempatkan di ruangan yang dingin dan lembab. Semua benda-benda rohani miliknya dijarah dan di buang ke dalam jamban.

Pada 19 Maret 1945, Marcel terjatuh di toilet saat hendak buang air. Beruntung ada seorang penjaga yang melihat, menolong, lalu membawanya ke barak perawatan. Si penjaga tertegun saat memapah dan memandangi Marcel. “Ada kekudusan di sorot matanya. Saya belum pernah melihat orang seperti dia”, kenang si penjaga. Saat itu, Marcel diketahui telah mengalami komplikasi akut. Ia menderita disentri, maag, dan TBC kronis. Daya tahan tubuhnya rontok. Pada hari itu juga, nyawa pria kelahiran Rennes, 6 Desember 1921 ini tak tertolong akibat penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Jasadnya di kebumikan di pemakaman massal di luar Kamp Mauthausen.

Perjalanan hidupnya amat tragis. Sejak kecil, Marcel sudah bersahabat dengan kemiskinan dalam keluarganya. Ayahnya, Joan Callo hanyalah seorang buruh pabrik kimia. Penghasilannya pas-pasan dan harus cukup untuk menghidupi istri dengan sembilan anak. Tak heran jika sejak belia, Marcel sudah harus bekerja di sebuah percetakan di kampung halamannya.

Meski terbatas dalam materi, tradisi hidup rohani dalam keluarganya tumbuh subur. Kakaknya, Jean menjadi seorang imam. Marcel sendiri rajin mengikuti Ekaristi dan aktif dalam kegiatan paroki. Kala bekerja di percetakan, ia giat terlibat dalam Kelompok Aksi Katolik. Ia meletakkan dasar pendidikan rohani, mengajar katekismus, dan terlibat dalam pelayanan. Karena kesalehan dan teladan hidupnya, ia sempat didapuk menjadi Ketua Kelompok Pekerja Muda Katolik.

Sayang, peziarahan hidupnya berumur pendek. Namun kesaksian hidupnya mendapat tempat di hati banyak orang. Tak disangka, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengesahkan dekrit kemartiran Marcel Callo pada 1 Juni 1987. Ia digelari Beato pada 4 Oktober 1987. Upacara beatifikasinya dihelat di Lapangan St Petrus, Vatikan. Gereja memperingati martir Mautahusen ini tiap 19 Maret.

Yustinus Hendro Wuarmanuk/Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here