Cinta Orang Dengan HIV/AIDS

96
[aletheiaonline.it]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Kaget, gelisah, tak percaya! Sejuta sanggahan melintas di kepala. “Saya orang baik-baik. Tidak pernah ‘main serong’. Orangtua saya baik-baik, taat ajaran agama. Suami saya juga. Tapi kok bisa saya didiagnosa positif?”

Begitulah kira-kira kecamuk hati dan pikiran Dewi -bukan nama sebenarnya saat pertama kali mendengar hasil tes HIV/AIDS yang dibacakan sang suami, Januari 2014. Tapi apa daya. Virus itu kini berbiak di tubuhnya. Aneka keluh kesah dan fisik yang lemah akhir-akhir ini terjawab sudah. Rasa malu di hadapan suami, orangtua, dan mertua yang duduk di tepi pembaringan hanya berbayar air mata. Ingin membantah, tapi tak guna.

Untunglah, cinta selalu memiliki cara sendiri untuk menyatakan kedalamannya. Sang suami dan anggota keluarga menerima kenyataan getir itu. Bahkan mereka serempak menyemangati Dewi. “Kamu pasti sembuh. Kami selalu ada di sisimu selama proses pemulihan nanti.”

Meski sudah menjalani proses pemulihan di RS Sint Carolus, Dewi tetap tak puas. Ingatannya menerjang jarak jauh ke masa lalu. Menebak-nebak waktu, tempat, dan orang yang telah sudi menyemai virus itu di tubuhnya. Ingatan itu tertuju kepada suami pertamanya yang meninggal dunia setelah dua tahun berletih dengan aneka penyakit, seperti yang akhir-akhir ini menimpanya. Flu yang tak kunjung sembuh, batuk berkepanjangan, dan fisik yang kian ringkih. “Itu dia penyebabnya!” tegas Dewi.

Suami pertama yang meninggal dunia lima tahun silam itu terserang virus HIV/AIDS. Dewi mendapat informasi itu setelah berkali-kali mendesak mantan mertuanya untuk membuka kisah penyebab sang suami wafat. Orangtua almarhum suami sebetulnya tahu keberadaan virus itu, tapi mereka menutup mulut rapat. Dewi tak menduga, sang suami yang ia cintai tega mewariskan virus itu di tubuhnya.

Sembilan bulan, Dewi bertempur untuk melemahkan virus HIV/AIDS dengan obat serta berkonsultasi rutin. Alhasil, Oktober 2014, kesehatan Dewi berangsur normal. Tubuh yang sebelumnya terkulai, perlahan kembali tegar. Kulit yang dulu kering dan gatal-gatal, kembali cerah. Aneka peneguhan terus mengalir. Kini, Dewi bisa tersenyum lebar. Cinta Dewi kepada keluarga kecilnya semakin mendalaman.

Kisah lain juga diuraikan Theresia -bukan nama sebenarnya. Ia divonis mengidap HIV/AIDS saat menjalani pemeriksaan di Singapura. Sesuai aturan di Negeri Singa ini, siapapun yang positif mengidap virus ini, harus segera keluar dari sana. Ia pun dipulangkan ke Indonesia. Di Jakarta, ia tak punya kerabat keluarga. Ia tinggal sendiri di kos. Fisiknya makin lemah. Tak bisa makan dan minum. Atas kebaikan hati seorang kenalan, ia diantar ke RS Sint Carolus.

“Saya tak ingat persis bagaimana saya bisa sampai ke RS Sint Carolus. Saat itu, yang saya ingat, untuk bernapas saja, saya harus dibantu tabung oksigen. Kondisi saya sangat lemah,” kisahnya. Theresia menjalani hari-hari pemulihan seorang diri. Jika datang pagi hari, ia menginap seharian di RS Sint Carolus. Kini, dokter dan para suster sudah menjadi keluarga paling dekat bagi dia. Perlahan namun pasti, kekebalan tubuhnya kembali meningkat.

Sampai kini, Theresia masih tetap sendiri. Tak ada keluarga di Jakarta. Kakaknya yang berada di Singapura belum memiliki waktu untuk menjenguk Theresia. Sementara Theresia tak mungkin bertandang ke Singapura.

Namun, nada syukur masih layak dipanjatkan, karena ia bersua dengan dokter dan suster yang mau andil dalam penyembuhannya. Dari seorang diri, kini ia justru memiliki banyak keluarga. Hingga sekarang, Theresia masih rajin datang berkonsultasi dan mengambil obat untuk terus mempertahankan kekuatan tubuhnya.

Stefanus P. Elu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here