Menebah Dada Waktu Menyatakan Tobat dalam Misa

3056
[kmkika.blogspot.co.id]
3.4/5 - (10 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ketika seorang katekis berusaha menjelaskan makna pernyataan tobat dalam Misa, ia mengatakan: ”Kita menepuk dada tiga kali pada waktu mengucapkan ’saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa’.” Upssss… menepuk dada? Bukankah sikap itu biasanya bermakna menyatakan diri berani atau menantang? Berdosa kok bangga. Untunglah, meski secara visual tata geraknya sama, tetapi dalam TPE 2005 sudah ada pelurusan dengan penggunaan istilah menebah dada, yang berarti menampar-nampar dada karena sedih.

Mengakui dosa

Kita patut bersedih, jika merasa berdosa. Itulah yang mungkin juga dirasakan seorang pemungut cukai, ketika menyadari diri berdosa. Ia berdiri jauh-jauh, bahkan tidak berani menengadah ke langit, melainkan memukul diri dan berkata: ”Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Lukas 18:13).

Sikap batin kita mungkin sama dengan pemungut cukai itu. Bahkan sikap lahir pemungut cukai itu pun boleh kita tiru. Secara khusus kita memukul diri dalam pengertian menebah dada tadi. Itu kita lakukan dalam pernyataan tobat, sesudah imam mengajak jemaat hening untuk menyadari diri, lalu ”menyesali dan mengakui bahwa kita telah berdosa supaya layak merayakan peristiwa penyelamatan…” yang akan kita alami dalam Misa.

Umat sebaiknya sudah terlibat mengucapkan ”Saya mengaku…” bersama imam. Jangan biarkan imam mengaku sendirian, sementara umat hanya mengekor. Begitu melihat mulut imam mulai terbuka untuk mengucapkan suku kata pertama Sa-, umat langsung membarengi saja. Maka, imam dan umat bersama-sama mengakui ”bahwa telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, perbuatan dan kelalaian.”

Pengakuan ini tak hanya disampaikan kepada Allah, tetapi juga kepada semua yang hadir. Dosa memang tak hanya berdimensi vertikal (terhadap Allah yang Mahakuasa), tetapi juga horisontal (terhadap sesama, saudara). Hubungan yang terganggu karena dosa kita, hendak dipulihkan dalam perjamuan kasih ilahi. Pengakuan ini pun bersifat komuniter, maka sangat relevan dengan ciri gerejawi dari perayaan Ekaristi.

Mohon pengampunan

Gereja di dunia tidak merayakan Ekaristi sendirian. Kita sebagai mahkluk duniawi juga sedang merayakannya bersama para malaikat dan semua orang kudus. Maka, setelah menyadari diri berdosa, kita pun mohon kepada Santa Perawan Maria, para malaikat, dan orang kudus, serta kepada seluruh jemaat yang hadir, agar mendoakan kita pada Allah.

Yang kita mohonkan adalah belaskasih dan pengampunan dari Allah melalui imam sang pemimpin. Lalu imam menyatakan rumus absolusi singkat: ”Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita…” Absolusi ini tidak bermakna sakramental seperti dalam Sakramen Pengakuan. Maka, imam mengucapkannya hanya dengan tangan terkatup, tanpa mengulurkan tangan dan tanpa memberi berkat Salib kepada jemaat. Jemaat pun tak perlu latah membuat tanda Salib pada dirinya sendiri.

Sudah sepantasnya jiwa kita yang merasa berdosa dibersihkan kembali ketika berada di hadapan Allah. Ritus ini pun diadakan agar umat merasa pantas mendekati misteri luhur yang akan mempersatukannya dengan Allah, melalui santapan Sabda dan Tubuh-Darah Kristus, Putra-Nya.

Begitulah sedikit tentang makna dan teks pengakuan (Confiteor). Teks yang konon berasal dari tradisi ibadat harian para rahib ini adalah bagian dari actus paenitentialis. Istilah dalam Ordo Missae itu dapat diterjemahkan dengan pernyataan tobat. Namun TPE kita hanya menuliskan tobat untuk bagian sesudah pengantar ini. Seperti halnya pernyataan tobat dalam Ordo Missae, versi TPE pun menempatkan cara ini sebagai pilihan pertama di antara beberapa pilihan yang ada.

Christophorus H. Suryanugraha OSC
Ketua Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here