Renungan Jumat, 10 Februari 2017 : Makna Perutusan

375
[saltandlighttv.org]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com - PW St Skolastika; Kej 3:1-8; Mzm 32; Mrk 7:31-37

ADA tiga hal yang menarik dari penyembuhan orang bisu-tuli pada Mrk 7:31-37, secara khusus dalam kaitan dengan konteks tugas perutusan kedua belas rasul (lih. Mrk 6:6b-12). Pertama, penyembuhan tunawicara dan tunarungu merupakan salah satu mukjizat terpenting dalam karya Yesus. Ini mengacu pada ramalan keselamatan yang dikumandangkan Yes. 35:5-6, di mana “mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka”. “Engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan kau dengar,” kata Ananias kepada Saulus yang baru terkena “sinar Kristus” (lih. Kis 22:15). Pengajaran dan karya-karya kasih yang nyata adalah bagian utama sebuah misi.

Kedua, penyembuhan itu terjadi di Dekapolis, wilayah non-Yahudi, serta dilaksanakan secara pribadi, “orang itu dipisahkan dari orang banyak, sehingga mereka (Yesus dan si bisu-tuli) itu sendirian” (ay.33). Ini artinya, tugas dan panggilan perutusan itu sifatnya pribadi karena dasarnya adalah hubungan iman yang khusus dengan Yesus Kristus sendiri. Arah perutusan itu pun tidak terbatas pada wilayah Yahudi belaka. Misi selalu bersifat inklusif.

Ketiga, Yesus menyembuhkan orang bisu-tuli itu dengan memakai ludah, sentuhan ke telinga dan lidah, serta dengan “menengadah ke langit, … menarik napas dan berkata “Efata!”, artinya: Terbukalah” (ay 33-34). Dalam konteks perutusan, ini bermakna bahwa sumber semua karya penyelamatan (juga secara fisik) berasal dari Allah sendiri. Penggunaan ungkapan “Efata” yang diterjemahkan Markus menandakan karya misi harus menyentuh para pendengar dalam bahasa dan budaya mereka masing-masing.

Henricus Witdarmono

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here