Pastorsentris

1305
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Salah satu persoalan yang muncul dalam pelayanan pastoral ialah sikap “pastorsentris”. Artinya, segala-galanya berpusat pada pastor. Umat seakan-akan “mati”, “lumpuh” dan tanpa partisipasi aktif. Padahal, sejak Konsili Vatikan II, partisipasi kaum awam sangatlah diharapkan dalam membangun kehidupan menggereja. Sebab Gereja bukan hanya milik hierarki, kaum klerus, rohaniwan, biarawan-biarawati, tetapi milik kita semua.

Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium (LG), menggarisbawahi kewajiban mulia kaum awam untuk berusaha supaya rencana keselamatan Ilahi semakin mencapai semua orang di segala zaman dan di mana-mana (LG art.33). Atau dalam dekrit tentang kerasulan awam, Apostolicam Actuositatem (AA), juga ditegaskan bahwa kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan dunia (AA art.3). Ciri khas status hidup awam ialah hidup dalam dunia dengan segala urusan duniawinya. Maka, mereka dipanggil untuk dijiwai semangat Kristiani ibarat ragi menunaikan kerasulan di tengah dunia ini.

AB. Susanto melukiskan Paroki ibarat sebuah taman bunga yang puspa ragam. Masing-masing bunga menyumbangkan keindahan dan memberikan arti taman. Semakin beraneka ragam, maka semakin kaya taman itu. Tidak ada satu pun bunga yang tidak berarti dalam konteks taman itu. Oleh sebab itu, puspa ragam talenta umat semestinya dapat dikelolah dengan baik. Menafikan atau tidak dapat memanfaatkan sumber daya yang ada, merupakan pengingkaran dari prinsip-prinsip manajemen (AB Susanto, Managemen Paroki hal. 138-145).

Dalam The Parish As Covenant-‘Paroki Sebagai Perjanjian’, Thomas P. Sweetser SJ mengungkapkan, beberapa akibat sikap “pastorsentris”, misal pastor terlalu banyak pekerjaan alias rangkap jabatan, Dewan Paroki merasa kecewa dan frustrasi karena harus mengikuti suatu model kerjasama yang hanya namanya saja, para pelayan sukarelawan tidak diberi kepercayaan dalam menangani suatu karya, dan umat yang marah karena tidak adanya perubahan dalam paroki (The Parish As Covenant, hal. 23-24). Sebagai pastor bonus, ‘gembala yang baik’, kita tidak boleh menutup mata. Kreativitas, inisiatif, dan partisipasi kaum awam sangatlah dibutuhkan dalam pelayanan pastoral.

Supaya sikap “pastorsentris” itu tidak semakin menggurita, ada beberapa hal yang dapat menjadi perhatian para imam sebagai gembala umat. Pertama, perlunya belajar manajemen. Mayoritas para imam adalah pakar dalam teologi, filsafat, Kitab Suci, liturgi, katekese, dan yang lain, namun bisa jadi lemah dalam manajemen. Ilmu manajemen bak sebuah “alien”, ‘makhluk asing’. Padahal kita perlu tahu apa itu ilmu manajemen lalu di-follow up dalam Paroki atau karya lainnya.

Kedua, mengenal situasi umat. Dalam istilah Paus Fransiskus ialah an ear to the people; ‘menjadi telinga bagi umat’ (Evangelii Gaudium art.154). Kita bisa mengenali mereka melalui sensus dan pendataan. Pastoral berbasis data sangatlah urgen untuk mengetahui dengan jeli dan tepat kebutuhan umat yang kita layani. Database umat sangatlah penting dalam menentukan pembinaan, matriks kerja lingkup paroki, dan visi-misi paroki.

Ketiga, membangun komunikasi yang lebih baik. Di sini pentingnya manajemen komunikasi. Dalam konteks komunikasi, Yesus adalah sang mediator antara Bapa dan manusia. Ia rupa Allah itu sendiri (realis presentia Dei). Komunikasi yang dibangun Yesus dengan para pengikut-Nya bukanlah komunikasi satu arah. Ia berempati dan berbelarasa dengan khalayak. Dia turun gunung (blusukan), menyusuri lembah dan naik perahu dengan murid-murid-Nya, dan lainlain. Karena itu, kita perlu meneladani Yesus dalam pelayanan dan pengajaran, yakni mengajarkan yang dilakukan dan melakukan yang diajarkan.

Pastor bukan berlagak seperti “superman”, tahu segala-galanya. Justru umat beriman (awam) yang lebih profesional dalam bidang profan. Maka, kita perlu membangun komunikasi dua arah demi perubahan yang positif dalam pelayanan. Paus Fransiskus mengajak kita supaya jangan takut pada sesuatu yang baru dari Injil, janganlah takut pada hal-hal baru yang dikerjakan Roh Kudus dalam diri kita masing-masing dan janganlah takut pada pembaruan struktur. Kiranya, spirit itu sungguh terekam jejaknya dalam tugas perutusan kita di tengah dunia ini.

Andreas Satur OFM

1 COMMENT

  1. “Menjadi telinga bagi umat.” Paus Fransiskus yg sangat akrab dengan kehidupan sehari2 umat serta klerus, tahu betul masalah2 yg ditulisnya dlm Evangelii Gaudium. Mengapa paus berkata demikian? Mungkin, dan logisnya, karena selama ini kurang menjadi telinga bagi umat.

    Bagaimana pastor di paroki bisa menjadi telinga? Kalau disediakan sarana utk mendengar. Tanpa “kuping” orang tidak akan bisa mendengar. Tanpa “kuping di paroki” pengurus paroki tidak akan mendengar…

    Kuping bisa diadakan kalau paroki secara sistematis meminta umpan balik dr umat, lewat ketua lingkungan. Mana hal2 yg dirasa baik, mana hal2 yg kurang bagus dan perlu disempurnakan. Ini PR berat, karena meminta umpan balik atas kekurangan diri sendiri itu amat sangat berat. Utk itu diperlukan kerendahan hati. Tapi bila ini dilakukan paroki akan bener2 merupakan kawanan domba dengan gembalanya yg mengasihi mereka…

Leave a Reply to E. Nugroho Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here