Memberdayakan Umat Lewat PUKAT: “Jika dapat keuntungan, bagilah dengan karyawan”

819
Berbagi: Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono memberikan beasiswa pendidikan melalui program beasiswa Cawan Getsemani dari Pukat Keuskupan Surabaya.
[NN/Dok.HIDUP]
2/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Jadilah profesional dan usahawan yang berintegritas; ada kesatuan antara perkataan dan perbuatan. Bagikanlah pikiran, semangat, dan pengalaman itu kepada banyak orang. Pukat menjadi satu wadah untuk berbagi dengan masyarakat yang terpinggirkan.

Satu panggilan seorang usahawan atau profesional adalah memperlakukan karyawan secara manusiawi. “Jika dapat keuntungan, bagilah dengan karyawan. Mereka adalah mitra pengusaha. Jangan serakah, mau ambil semua untuk diri sendiri!” tegas Ketua Profesional dan Usahawan Katolik (Pukat) Nasional Michael Utama Purnama saat ditemui di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Selasa, 14/7. Michael tegas mengatakan itu karena ia menilai, banyak pengusaha dan kaum profesional Katolik yang jauh dari ajaran cinta kasih.

Michael mengaku, pernah mencoba menerapkan nilai-nilai kekatolikan ketika ia berkarya di PT Gudang Garam Tbk. Dengan karyawan yang mencapai ribuan orang, Michael berusaha menjalin relasi yang egaliter, tak memandang jabatan dan latar belakang. “Apa salahnya jika saya menghargai seorang office boy atau petugas keamanan. Saya biasa menyapa dengan menyebutkan nama mereka. Pasti mereka akan merasa diperhatikan,” cerita salah satu pendiri Pukat Keuskupan Surabaya ini.

Ketika membantu di bagian sumber daya manusia perusahaan rokok itu, Michael tak segan memberikan fasilitas untuk pengembangan keterampilan bagi para buruh linting rokok. Karyawan yang ulet bekerja diberi kesempatan mengikuti kursus tambahan, seperti menjahit dan memotong rambut. “Agar mereka juga bisa mengembangkan diri. Jangan sepanjang hidup jadi buruh linting rokok,” imbuh Michael. Ia juga membuat program beasiswa pendidikan bagi anak-anak para buruh yang berprestasi. Selain itu, ia juga merancang program pembekalan cara mendidik anak kepada para buruh.

Suatu ketika, para Satuan Pengamanan (Satpam) di tempat ia bekerja menggelar aksi protes. Mereka meminta agar gajinya disesuaikan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Padahal, gaji yang mereka terima sudah di atas upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Ternyata, aksi protes itu dilakukan lantaran hasutan dari satpam perusahaan tetangga. Namun, Michael tetap berinisiatif mengundang berdialog dengan para satpam ini. Dengan menggunakan papan tulis, Michael membuat perbandingan gaji yang mereka terima dengan UMP. “Jadi gimana bapak-bapak, apakah gaji mau diturunkan sesuai UMP, seperti yang bapak-bapak minta?” Para satpam pun serentak menjawab, “O… jangan, Pak!”

Bagi mantan imam Congregatio Missionis (CM) ini, memperlakukan orang lain secara manusiawi adalah tugas semua orang, tanpa memandang dia atasan atau bawahan. “Ini adalah Ajaran Sosial Gereja! Tanpa mengutip sana-sini, dengan menjalankan saja kita sudah mengamalkan pesan Gereja.”

Integritas pemimpin
Pengalaman lain datang dari Maria Yosephine Ina Susanti Darmadi. Menurutnya, sebagai seorang atasan, yang paling dibutuhkan adalah memberi teladan. “Karena buruh atau karyawan yang kita pimpin akan melihat pemimpin tidak hanya dari yang diucapkan, tapi juga yang dilakukan,” ujar umat Paroki St Matius Penginjil Bintaro, Jakarta Selatan ini.

Misal saat Ina masih akif berkarya di sebuah perusahaan farmasi di Jakarta, tim yang ia pimpin pernah melakukan kesalahan. Lalu, ia meminta kepada karyawan yang melakukan kesalahan itu untuk menceritakan secara detil kejadiannya. Setelah ia mengetahui duduk persoalannya, Ina berinisiatif meminta maaf. “Saya mau membuktikan kepada tim saya bahwa seorang pemimpin harus tetap rendah hati dan bisa menjalankan yang saya ucapkan,” imbuh perempuan yang memilih pensiun saat genap berusia 50 tahun.

Semasa aktif bekerja, kejujuran dan konsisten dengan yang dia ucapkan adalah dua hal yang selalu ia genggam. Menurutnya, segala sesuatu yang sudah disepakati bersama, haram untuk diabaikan, karena disitulah letak integritas seorang pemimpin. “Harus ada kesesuaian perkataan dan perbuatan.”

Hal serupa dikemukakan pengusaha alat-alat fotografi di Jakarta Alex Paul Budiman. Pendiri Jakarta Photography Centre ini mengatakan, dalam dunia usaha yang dibagikan adalah talenta. “Kebetulan saya punya talenta dalam bidang usaha, maka itulah yang saya bagikan,” ujar Alex yang sekarang menjabat sebagai Ketua Pukat Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).

Alex bercerita bahwa ia mengawali usaha dari ketidaktahuan. Pada 2000, ia memilih hengkang dari Holcim Indonesia, tempat ia bekerja. “Saya bingung mau usaha apa. Kebetulan saya hobi memakai gadget, maka saya jualan alat-alat elektronik, seperti handphone, laptop, kamera, dan lain-lain.” Dalam perjalanan waktu, Alex pun memilih kamera sebagai produk yang ia pasarkan.

Menurut Alex, menjual barang-barang elektronik, terutama kamera, tidak mudah. Sebab, setiap tahun atau bahkan bulan selalu muncul produk baru. Sebagai pemasar ia harus menguasai produk yang hendak ia jual. Karena itu, arahan kepada para karyawan adalah hal penting yang ia lakukan saban pagi. Katanya, “Setiap pagi, saya adakan briefing dengan para sales. Ini sangat penting agar mereka juga tahu dan siap ketika berhadapan dengan pembeli. Kalau mereka menguasai betul produk-produk yang dipasarkan, saya memberikan insentif sebagai imbalan,” kata Alex.

Berbagi talenta
Saat ini, Michael, Ina, dan Alex adalah bagian dari Pukat KAJ yang berdiri pada 1990. Alex mengatakan, Pukat KAJ senantiasa berusaha menjadi wadah bagi para usahawan dan profesional yang mau berbagi talenta dengan semua orang. “Tak perlu tunggu kaya dulu baru mau berbagi. Apa yang kita miliki, itulah yang kita bagikan!” ujar Ina.

Hal senada pun dikatakan Alex. Menurutnya, berbagi bisa dalam rupa semangat, pengetahuan, dan pengalaman. Tak melulu soal uang. Cara pandang ini pula yang ia pegang ketika awal bergabung dengan Pukat KAJ pada 1993.

Hingga saat ini, semangat berbagi atau berbelarasa dengan sesama diwujudkan Pukat KAJ dengan memberi bantuan pendidikan dan pemberdayaan bagi masyarakat miskin, terutama di Indonesia bagian timur. Pada 2009, Pukat KAJ mendirikan Yayasan Umat Peduli Pendidikan (YUPP).

Pendirian yayasan ini berangkat dari keprihatinan bahwa dalam 10 tahun terakhir banyak sekolah Katolik yang mulai ditutup, karena kalah bertarung dengan sekolah-sekolah negeri yang terus berbenah dan sekolah internasional. Jika masih memilih bertahan pun kualitasnya sudah jauh menurun. Maka, YUPP mencoba untuk meningkatkan kembali mutu sekolah Katolik dengan memberikan bantuan pendidikan lanjut kepada para guru. Beberapa guru di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua sudah mendapatkan bantuan ini. “Kami memberi beasiswa pendidikan dan setelah itu mereka wajib kembali untuk mengajar di kampung halamannya. Sampai sekarang, sudah ada sekitar 20 orang,” kata Alex.

Selain itu, Pukat KAJ juga memiliki Panitia Peduli Keuskupan Agats-Asmat, Papua. Bagian ini khusus memperhatikan dan memberi bantuan kepada Keuskupan Agats-Asmat, yang dalam peta keuskupank-euskupan di Indonesia merupakan salah satu keuskupan miskin. Ada beberapa bidang yang menjadi fokus bantuan, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan penyediaan sarana dan prasarana publik.

Pukat KAJ juga memiliki Yayasan Sahabat Seminari yang khusus menggalang bantuan untuk seminari-seminari di Indonesia. Yayasan ini bersinergi dengan Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). “Karena bantuan dari Eropa sudah semakin berkurang, maka yayasan ini adalah masa depan Gereja Katolik Indonesia. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memperhatikan pendidikan seminari?” ujar Alex.

Satu lagi divisi yang baru dibentuk dua tahun lalu adalah Koperasi Pemberdayaan Umat Katolik. Koperasi ini memusatkan perhatian kepada pemberdayaan masyarakat di NTT dalam bentuk peternakan babi dan budidaya singkong. Alex menuturkan, peternakan babi sudah dimulai di lahan milik Seminari St Yohanes Berkhmans Mataloko, Flores. Pada April 2014, pembudidayaan singkong juga sudah dimulai di Mataloko. “Singkong itu diolah menjadi tepung tapioka, sehingga bisa diolah lagi menjadi produk turunan yang lebih beragam. Kami sudah membuat beberapa kali pelatihan dengan harapan, masyarakat bisa melihat dan melakukan hal yang sama,” tutur Alex.

Pukat bersatu
Kini, Pukat telah berkarya di 15 keuskupan dari 37 keuskupan yang ada di Indonesia. “Jadi, kami masih punya tugas untuk mengembankan Pukat ini,” ujar Michael Utama. Karena menurut Alex, kehadiran Pukat di setiap keuskupan sangat penting. Kehadiran komunitas profesional dan usahawan Katolik bisa menjadi mitra keuskupan dalam memberdayakan masyarakat. Selama ini, keuskupan-keuskupan masih memandang bahwa Jakarta, termasuk Pukat KAJ, sebagai lumbung dana. “Kalau butuh duit baru lari ke Jakarta. Padahal di daerah-daerah juga ada pengusaha Katolik. Merekalah yang harus jadi pioneer pemberdayaan masyarakat Katolik di daerahnya,” tutur Alex.

Michael Utama dan Alex berharap, ada sinergi antara hirarki Gereja dengan para pengusaha dan kaum profesional. Uskup setempat bisa mengambil inisiatif dengan mengundang para pengusaha Katolik untuk duduk bersama memikirkan cara-cara kreatif untuk meningkatkan taraf hidup umat. Setelah itu, biarlah para pengusaha dan profesional yang bekerja.

Lebih jauh Michael mengusulkan, agar para uskup dan imam mau membuat ringkasan Ajaran Sosial Gereja yang terkait dunia usaha untuk dibagikan kepada para pengusaha dan profesional. Kata Michael, “Kami juga butuh suntikan semangat berupa siraman rohani, agar kuat dalam mengarungi dunia usaha dan kerja.”

Michael Utama bermimpi, kelak, Pukat Nasional bisa mendirikan rumah sakit Katolik modern, sekolah Katolik dengan standar yang mumpuni, dan stasiun televisi. “Pukat seharusnya bisa melakukan itu, asalkan mau bersatu. Karena lewat cara-cara seperti itulah, Pukat bisa mengamalkan dan menyebarkan pesan cinta kasih kepada semua orang.”

Stefanus P. Elu
Laporan: Chirstophorus Marimin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here