Kita Bhinneka, Kita Indonesia

652
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Indonesia yang bhinneka merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-72. Perbedaan sudah menjadi keseharian bangsa ini. Menjaga nilai-nilai luhur kearifan lokal menjadi modal sosial pemersatu bangsa.

Keluarga asal Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku, menjadi gambaran wajah Indonesia sebenarnya. Dari empat anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut, mereka memiliki kepercayaan beragam.

Iwan Batjol, anak pertama pasangan suami istri Petrus Batjol dan Mirna Unaputy menceritakan bahwa keluarganya memiliki kepercayaan berbeda. Ayahnya, Petrus beragama Katolik, sedangkan ibunya beragama Islam. Sementara, Iwan awalnya seorang Katolik tetapi saat berumur 19 tahun memutuskan menganut agama Kristen Protestan Karismatik. Selain Iwan, anak kedua mereka, Malik Batjol ketika menikah pada 2015, memutuskan untuk mengikuti agama sang istri yaitu Budha.

Iwan menceritakan, prinsip beragama dalam keluarga Batjol-Unaputy bukan keturunan, tetapi bersifat holistik dan spiritual yang didapat dari refleksi masing-masing. Walaupun berbeda dalam iman, tetapi keluarga ini saling mendukung. Saat bulan Ramadan, sang ayah selalu setia mengantar istri ke masjid. Begitu pun saat Natal, sang ibu tetap menyiapkan kue dan hadiah Natal untuk ayah dan Iwan. Hadiah yang sama diberikan untuk Malik saat Waisak. “Dalam rumah kami ada berbagai macam alat ibadah. Saya dan ayah punya Kitab Suci, sedangkan ibu punya Al-Qur’an,” ujar Iwan.

Prinsip Pemersatu
Iwan mengakui, meskipun berbeda agama, keluarganya selalu hidup rukun karena memegang erat semboyan lokal orang Maluku, Pela Gandong. Bagi Iwan, istilah ini tidak saja dalam konteks hidup bermasyarakat, tapi juga dalam kehidupan keluarga. Secara etimologi, pela berarti ikatan persatuan, sementara gandong artinya saudara. Sebutan ini untuk mengingatkan masyarakat Maluku bahwa “kita bersaudara.”

Romo Agustinus Ulahayanan mengatakan, gandong merupakan sebutan untuk saudara yang masih ada dalam satu kampung atau keturunan. Sedangkan pela adalah sebuah sistem sosial budaya yang karena alasan tertentu dua pihak membuat kesepakatan
bersama untuk saling menjaga. Imam asal Maluku ini melanjutkan, pela kebanyakan muncul karena perkelahian, dan akhirnya mengikat komitmen (pela). “Jika orang mengikat pela, tabu baginya untuk menyusahkan yang lain. Harus saling melihat dan memperhatikan layaknya saudara sendiri. Apabila melanggar pela, siap menerima konsekuensi,” ungkapnya.

Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia ini kembali menegaskan, pela gandong merupakan warisan budaya yang disampaikan secara lisan, turun-temurun. Nilai-nilai sakral dalam hubungan pela perlu dijaga dan dipertahankan. Sehingga konflik, terutama terkait masalah agama dan kepercayaan di antara penduduk dapat teratasi. “Kearifan ini masih sangat efektif. Harus dipelihara, dijaga, dan diingatkan kembali maknanya,” saran Romo Agus.

Sementara di Fakfak, Papua Barat, ada kearifan lokal untuk menjelaskan kerukunan hidup beragama, yakni ungkapan “Tiga Batu Satu Tungku”. Ungkapan ini menggambarkan prinsip hidup warga Papua dalam menjaga keseimbangan dan kebersamaan hidup, meski dalam perbedaan.

“Tungku” merujuk pada konsep kebersamaan, toleransi, dan harmoni. Sementara “tiga batu” menjadi simbol tiga agama yang banyak dipeluk warga di sana, yakni Islam, Kristen, dan Katolik. Semangat “Satu Tungku Tiga Batu” tidak hanya dijaga oleh adat setempat, namun sudah menjiwai laku kolektif masyarakat. Hal ini disimbolkan dengan tiga rumah ibadah besar, yaitu Gereja St Yoseph, Masjid Agung Jami, dan Gereja Bethel Indonesia, yang berdiri berdampingan.

Hal yang hampir sama juga berkembang dalam masyarakat Batak. Orang Batak mengenal falsafah Boraspati (cecak). Falsafah ini dipetik dari pelajaran cecak; dalam kondisi atau posisi seperti apapun entah di bawah, atas, atau samping, cecak selalu menempel dengan habitatnya. Uskup Agung Medan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap mengatakan, falsafah hidup ini kemudian dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan yang disebut Dalihan na Tolu, tungku yang tiga. Tungku yang dimaksud adalah tungku yang terdiri dari tiga batu simetris kokoh yang menopang periuk nasi. Tiga tungku ini saling mendukung dan merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam kekerabatan Batak, tungku pertama disimbolkan sebagai tubu (teman semarga), tungku kedua disimbolkan hula-hula (jalur keluarga pihak istri), dan tungku ketiga disimbolkan dengan boru (pihak yang menikahi anak perempuan). “Dalihan na Tolu ini bisa diejawantahkan dalam kebudayaan bangsa. Realitas orang Batak Toba adalah kemajemukan. Hal ini nyata dengan adanya berbagai marga. Dan pemersatu itu adalah falsafah ini,” ujar Mgr Sinaga.

Azas Kekeluargaan
Menyinggung soal keberagaman, masyarakat Minahasa juga menghidupi ungkapan Si Tou Timou Tumou Tou. Budayawan Minahasa, Pastor Paul Richard Renwarin mengungkapkan, ungkapan ini terdiri dari dua kalimat; Si Tou Timou dan Tumou Tou. Si Tou berarti manusia Minahasa baik yang berdarah asli maupun campuran yang tinggal menetap di Minahasa, yang bertanggung jawab terhadap tanah adat. Timou artinya tumbuh dan berkembang. “Konsep ini menunjukkan bahwa manusia hidup untuk memanusiakan orang lain,” ujar Pastor Cardo, sapaannya.

Dosen Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng ini merefleksikan bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memanusiakan manusia. Salah satu yang terkenal adalah etos kerja Mapalus atau gotong-royong. Mapalus dianggap sebagai aktualisasi yang paling konkret tentang makna hakiki Si Tou Tumou. “Meskipun kata ini lebih bermakna bergotong-royong dalam dunia pertanian, tetapi artinya sama, yaitu saling membantu dalam hidup bersama,” ungkap Pastor Cardo. Dalam konteks kebangsaan, lanjut Pastor Cardo, falsafah ini harusnya menjadi dasar hidup bersama.

Sementara dalam masyarakat Dayak, hidup bersama dalam perbedaan mewujud dalam Huma Betang atau rumah panjang. Mereka hidup bersama sebagai keluarga besar dalam satu atap. Di rumah adat ini, masyarakat Dayak selalu berikrar untuk tetap menjaga kebersamaan dalam perbedaan.

Tak jauh beda dengan masyarakat Jawa yang mendamba hidup ayem tentrem. Masyarakat Jawa juga mengenggam ungkapan rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, “rukun membuat sentosa atau kokoh, bertengkar membuat rusak atau menimbulkan kehancuran”. Bagi masyarakat Jawa, tak ada masalah yang tidak bisa dibicarakan sambil duduk bersama. Musyawarah dengan kepala dingin dapat menyelesaikan konflik dengan segera. Mereka menyadari bahwa rusak atau tenteramnya kehidupan di setiap lingkungan bukan ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga setempat.

Dalam kerangka hidup bersama dalam perbedaan, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) juga mengajak seluruh umat Katolik agar menghidupi Pancasila sebagai pedoman dalam cara berpikir, berucap, dan bertindak. Tahun depan, umat Katolik di KAJ akan diajak menghayati tema “Kita Bhinneka, Kita Indonesia”.

Dari aneka kearifan lokal itu, kita bisa menimba nilai-nilai luhur bangsa ini. Meskipun hidup dalam perbedaan, tapi ada semangat untuk bersatu. Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, berbeda-beda tetapi satu itu, tak ada kerancuan dalam kebenaran.

Marchella A. Vieba/Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Christophorus Marimin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here