Menanamkan Nilai Kebangsaan

192
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Bersediakah saudara berdua menjadi ayah dan ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara dan mendidik mereka menjadi orang Katolik sejati?” Kalimat ini merupakan pertanyaan imam kepada sepasang mempelai yang saling menerimakan Sakramen Perkawinan di depan altar suci Gereja katolik. Lalu dijawab bersama oleh kedua mempelai, “Ya, kami bersedia.”

Kalimat tersebut merupakan salah satu petikan dari buku pernikahan Katolik yang dipakai kedua mempelai saat mengucapkan janji pernikahan di hadapan imam, sejalan dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1136: “Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius”.

Seto Mulyadi menyatakan “Orangtua adalah psikolog terbaik bagi anak. Mereka yang lebih banyak mengamati, dan seharusnya lebih mengerti tentang diri anak-anaknya (Sintong Silaban, 1993). Selama lima tahun pertama terjadi pembentukan dari dasar kepribadian seorang anak. Kepribadian seseorang selain dipengaruhi faktor bawaan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pendidikan dini menentukan karakter selanjutnya bagi perkembangan anak menjadi dewasa. Secara umum, karakter berarti sesuatu yang berbeda antara hal yang satu dengan hal yang lainnya, yang membedakan kualitas seseorang dengan kualitas orang lain (Fatchul Mu’in, 2011).

Karakter yang berbeda dari tiap-tiap anak, dinamika perkembangan zaman dengan segala perubahan dan tantangan yang kompleks, menuntut orangtua untuk fokus pada penanaman nilai pendidikan karakter yang baik terhadap anak. Di sinilah peran orangtua, terutama keluarga Katolik dituntut dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran Gereja dan nilai luhur bangsa ini; Pancasila. Ini terasa penting, mengingat dinamika bangsa pada 72 tahun usia kemerdekaannya di mana nilai persatuan dan kebhinnekaan tergerus.

Kita memiliki kewajiban menjaga bangsa kita; “Kuatkanlah hatimu dan marilah kita menguatkan hati untuk bangsa kita dan untuk kota-kota Allah kita” (Tawarikh 19:13). Ini sejalan dengan ajaran moral bangsa, yaitu Pancasila, terutama sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Nilai-nilai dalam sila tersebut antara lain: mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan, keselamatan bangsa, dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan; serta mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.

Karena tuntutan kesibukan para orangtua pada masa kini, maka orangtua tidak bisa lagi sepenuhnya mendidik anak-anak. Di sinilah peran sekolah mengisi. Sekolah adalah lembaga yang memberikan pengajaran bagi generasi muda. Pengajaran, menurut Ki Hadjar Dewantara (Bartolomeus, 2015), adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak yang dapat berfaedah buat hidup anak-anak,
baik lahir maupun batin.

Ki Hadjar Dewantara melalui Tamansiswa, mempunyai visi “pendidikan dan pengajaran adalah daya-upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia” (Bartolomeus, 2015). Sedangkan misinya, “melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia menuju pembangunan manusia merdeka lahir dan batin, berbudi pekerti luhur serta tinggi harkat martabat kemanusiaannya. Tamansiswa menempatkan misi pendidikan sebagai pencerahan budaya dan mempertebal keindonesiaan” (ST. Sularto, 2016).

Nilai kebangsaan dari Tamansiswa pada awal berdirinya dikumandangkan bagi generasi muda dalam menyadarkan nilai kebangsaan Indonesia dari belenggu penjajah Belanda. Nilai itu pun saat ini masih dapat diterapkan di kala bangsa ini menghadapi dinamika yang gonjang-ganjing, terutama mengenai persatuan Indonesia. Dengan demikian, saat orangtua tidak bisa mengawasi sepanjang waktu pendidikan anaknya, sekolah yang berwawasan Tamansiswa paling tidak dapat mendidik dan mengajarkan anak cinta akan Tanah Air dan Pancasila. Alhasil, janji orangtua di depan altar suci saat pernikahan untuk mendidik anaknya tetap dapat terwujud.

Yustinus Ronny Samsulhadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here