Berbagi Talenta dalam Karya Pewartaan

271
Awak majalah Komunika dalam pertemuan bulanan.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Meski yang berhimpun dalam karya pewartaan ini adalah para pembakti, pengerjaannya relatif profesional.

Di sebuah kafe di kawasan Golden Boulevard Bumi Serpong Damai City, Tangerang Selatan, beberapa pengurus Majalah Komunika berkumpul. Mereka adalah Anggota Dewan Paroki Harian Paroki Serpong Gereja St Monika Pendamping Seksi Komsos Petrus Eko Soelarso, Ketua Seksi Komsos St Monika Helena Sapto, Pemimpin Umum/Redaksi Komunika Maria Etty, Redaktur Pelaksana Komunika Diana Monica, dan Jahya Santoso dari Percetakan Kelompok Kerja Grafika.

Sepekan sebelum naik cetak, mereka berjumpa untuk proof read seluruh materi, mengevaluasi Majalah Komunika edisi yang lalu, serta merencanakan edisi berikut. Pertemuan yang selalu berlangsung pada malam hari itu terkesan “sersan”, serius tapi santai. Seraya menyantap hidangan serta menyeruput kopi atau teh hangat, masing-masing melontarkan ide-ide yang terlintas di benak. Kebersamaan itulah yang menghantar terbitnya Komunika setiap edisi.

Sebentar lagi, 17 tahun sudah usia majalah ini. Edisi perdana terbit awal Januari 2001. Dalam kurun waktu itu, tak sekalipun majalah ini pernah tertunda terbit. Dua bulan sekali, Komunika hadir bagi warga Paroki Serpong dan institusi-institusi yang terkait dengan Ordo Salib Suci, karena Paroki ini merupakan lahan pelayanan para imam OSC. Setiap kali terbit, Komunika di cetak sebanyak 2500 eksemplar.

Berkali-kali, Majalah Komunika meraih penghargaan. Pada 2015, Komunika meraih “Best of the Best” dalam lomba majalah paroki yang diadakan Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta (Komsos KAJ). Tahun ini, Komunika meraih HIDUP Award untuk kategori Feature Terbaik.

Berkat Tuhan
Menurut mantan Pemimpin Umum/Redaksi Majalah Komunika (2011-2015), Petrus Eko Soelarso, memimpin majalah paroki sungguh memerlukan berkat Tuhan. “Talenta dan kemampuan saja tidak cukup,” ungkapnya.

Tahun 2011, Eko diminta menjadi Pemimpin Redaksi Komunika. Padahal, ia belum pernah menjadi Pemred, bahkan belum pernah menjadi redaktur majalah. Ia berasumsi bahwa tim redaksi yang ada sudah berpengalaman selama sepuluh tahun mengasuh Majalah Komunika. “Saya hanya jadi sopir, tinggal mengelola aspek manajerialnya,” ujar Eko.

Setahun terakhir, sebelum diminta menjadi Pemred, Eko memang aktif menulis di Komunika. “Dengan dasar itu, saya menerima, disertai iman bahwa Tuhan akan senantiasa menyertai dan menambahkan apa yang saya perlukan.”

Selama hampir lima tahun menjadi Pemred dan tiga tahun merangkap sebagai Ketua Komsos, Eko mengalami suka duka tersendiri. Awalnya, waktu menjadi Pemred, antara Redaksi dan Bina Usaha secara organisasi dipisah. Alhasil, terkadang timbul perbedaan pendapat mengenai masalah keuangan.

Eko menjelaskan bahwa sejak terbit sampai sekarang, Komunika mandiri secara keuangan. “Bahkan, selalu surplus antara pendapatan dan biaya cetak. Bina Usaha melakukan sistem anggaran yang jelas, yang mengakibatkan jumlah halaman majalah dibatasi.”

Padahal awalnya, Eko tidak membatasi jumlah halaman. “Ini untuk meng-encourage umat agar mengirimkan tulisan,” dalihnya. Pada waktu periode kepengurusan yang lama berakhir dan digantikan oleh pengurus baru, Eko meminta supaya Redaksi dan Bina Usaha di bawah satu komandan sehingga jauh lebih mudah untuk mengatur keuangan.

Mandiri
Rupanya membuka pintu lebar-lebar untuk tulisan dari umat membuat relatif banyak naskah masuk ke redaksi. Demikian pula dari sisi keuangan, pendapatan iklan terhitung cukup banyak. Dengan iklan dan donasi Lingkungan, Komunika bisa menjadi majalah yang mandiri secara finansial. “Hal itu terjadi sampai sekarang, hanya sekarang, donasi dari Lingkungan lebih banyak dibandingkan pendapatan iklan,” beber Eko.

Menurut Eko, Pemred mesti punya keberanian untuk pasang badan. Kadang umat sangat kritis, komplain karena tulisannya tidak dimuat, atau punya pemikiran yang berbeda dengan redaksi. Ada juga umat yang ingin “mempromosikan diri” di majalah sehingga muncul permintaan beraneka ragam. “Pemred harus punya keberanian untuk mengatakan tidak,” tandas Eko.

Terkadang, Pemred harus mencari penulis pengganti atau terpaksa harus menulis sendiri. “Untungnya, saya hanya mengalami satu atau dua kali saja kalang kabut harus menulis. Tapi, itu pembelajaran yang tidak ada duanya,” kenang Eko.

Selama menjadi Pemred, Eko merasa lebih banyak belajar. “Semua naskah yang masuk, saya baca, meskipun untuk editing dilakukan pembagian bersama temanteman redaksi.”

Masalah lain adalah sumber daya manusia. Hal ini, menurut Eko, lebih krusial dan membuat was-was. Rata-rata staf Redaksi Komunika sudah tidak muda. Mencari kader untuk redaksi sungguh tidak gampang. “Sampai sekarang, regenerasi untuk redaksi masih perlu doa novena terus-menerus supaya Tuhan mengirimkan kader.”

Tim foto lebih beruntung, karena banyak kader yang punya keahlian teknis luar biasa. Meski demikian, para fotografer Komunika sering kalang-kabut karena banyaknya kegiatan di Paroki Serpong. “Yang sulit adalah menajemen dokumentasi hasil fotografi yang jumlah jepretannya banyak sekali.”

Tugas lain yang tak kalah penting adalah distribusi majalah ke Lingkungan-lingkungan. Begitu selesai dicetak, majalah bisa diambil oleh Ketua Lingkungan atau Pengurus Lingkungan setelah Misa Sabtu dan Minggu. Mengatur petugas juga tidak mudah, perlu kesabaran. Apalagi semua tugas ini dilaksanakan secara sukarela.

Tentu diperlukan keahlian tersendiri untuk memimpin tim. Pemimpin harus punya kemampuan bertindak sebagai bapak, sebagai teman, dan juga sebagai manajer. “Dengan demikian, keahlian teknis saja tidak cukup, harus disertai dengan kemampuan manajerial yang baik. Itu juga belum cukup. Yang pertama dan utama adalah harus berserah pada penyelenggaraan Ilahi,” tegas Eko.

Candradimuka
Realitanya, tidak semua yang terlibat dalam Redaksi Komunika berlatar belakang dari dunia tulis-menulis. Namun yang penting adalah kemauan untuk berkarya. Ketua Komsos Paroki Serpong Helena Sapto mengakui hal ini. Saat ini, ia menjadi penanggung jawab majalah Komunika secara keseluruhan. Wanita yang bergabung dengan Komunika sejak 2007 ini, menganalogikan situasi di majalah ini seperti kawah Candradimuka.

Ia mengawali sebagai Sekretaris Redaksi Majalah Komunika. “Awalnya terasa berat banget. Tapi, melalui pelayanan ini, Tuhan membentuk saya untuk rendah hati, banyak berusaha, pantang menyerah, dan mengandalkan pimpinan-Nya.”

Lewat tugas-tugas di Komunika, Helena belajar berkordinasi dengan banyak pihak; mulai dari penulis, fotografer, hingga romo paroki. “Saya belajar berkomitmen. Deadline membuat saya makin rajin berdoa karena membina relasi dan berkordinasi dengan awak majalah yang punya keahlian membuat saya tergantung pada kebaikan hati mereka,” urainya.

Sebagai Ketua Komsos Paroki Serpong dan Koordinator Forum Komsos Dekanat Tangerang, Helena makin menyadari bahwa sebagai tim, masing-masing menjalankan tugas yang berbeda. Ada yang menjadi “kepala”, ada yang menjadi “kaki”, “tangan”, dst. “Seperti satu tubuh yang mempunyai bagian-bagiannya. Tidak mungkin kami bekerja sendirian tetapi harus bekerja sama sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan,” ujarnya.

Helena menambahkan bahwa partisipasi warga Paroki Serpong melalui iuran Lingkungan yang mendukung pembiayaan Komunika sejak 2014, merupakan kebanggaan tersendiri. “Ini merupakan kepercayaan umat Paroki St Monika kepada Majalah Komunika.”

Viveka M.V.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here