Cara Fransiskus Mencerna Derita Dunia

777
Partisipasi Gereja: Uskup Bogor, Mgr Paskalis, membuat lubang biopori bersama pemuka masyarakat lain.
[NN/Dok.HIDUP]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Fransiskus! Itu nama yang dipilih Kardinal Jorge Mario Bergoglio ketika beliau dipilih menjadi Paus Gereja Katolik sedunia pada tanggal 13 Maret 2013. Cukup banyak orang terkejut bahwa Yesuit ini memilih nama Fransiskus. Namun kemudian orang pun maklum setelah melihat perhatian dan kepeduliannya pada orang kecil dan dunia yang menderita.

Fransiskus dari Asisi, yang kemudian ditetapkan oleh Santo Paus Yohanes Paulus II sebagai santo pelindung lingkungan hidup pada tanggal 29 November 1979, memang menjadi inspirasi pelayanannya. Caranya menyapa dunia mencerminkan hatinya. Tidak mengherankan bahwa kemudian keluar Ensiklik Laudato Si yang kental menyuarakan keprihatinan dunia seisinya.

Ensiklik ini memang cukup panjang, tetapi tidak terlalu sulit dicerna. Tulisan ini mencoba menggarisbawahi beberapa hal yang penting untuk konteks Gereja di Indonesia.

See-Judge-Act
Ada enam bab dan cukup banyak sub-bab dalam Ensiklik Laudato Si ini. Jika disederhanakan, Paus Fransiskus menuliskannya dengan metode see-judge-act (melihat, menimbang, bertindak) yang diperkenalkan oleh Kardinal Joseph Cardijn dari Belgia kepada para pekerja Katolik pada paruh pertama abad XX untuk merefleksikan tanda-tanda zaman.

Pada tahap melihat, Paus mengajak kita melihat keadaan dunia yang makin rusak. Ada masalah polusi udara dan pemanasan global. Ada masalah kurangnya air bersih. Ada masalah dengan makin berkurangnya keanekaragaman hayati. Semua itu lalu ikut menyebabkan berkurangnya kualitas hidup manusia, dan makin renggangnya hubungan dalam masyarakat. Yang juga di rasakan adalah ketidakadilan yang makin lebar, terutama antara yang kaya dan yang miskin. Sementara itu, tidak banyak pihak yang menanggapi masalah-masalah ini dengan sangat serius.

Kemudian, pada tahap menimbang, Paus mengajak kita melihat semuanya dalam cahaya ilahi, melalui mata iman. Dengan merefleksikan sabda Tuhan melalui Alkitab, kita melihat bahwa pada dasarnya dunia ini diciptakan oleh Allah Bapa yang sama. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mengatakan bahwa se tiap ciptaan, yang terkecil sekalipun, mencerminkan kasih Allah Sang Pencipta yang penuh kasih. Karena itu, setiap makhluk, juga ciptaan, mempunyai martabatnya sendiri. Di lain pihak, setiap ciptaan saling tergantung. Yang satu menghidupi yang lain. Dalam bahasa Santo Fransiskus, dalam Gita Sang Surya-nya yang sangat terkenal dan dikutip sebagai pengantar Ensiklik ini, semua bersaudara. Dalam bahasa Perjanjian Baru, semua makhluk dan ciptaan bukan hanya bersaudara untuk hidup di dunia, tetapi juga untuk ikut men ciptakan Kerajaan Allah. Pendek kata, mau dikatakan bahwa iman Kristiani sangat menjunjung tinggi martabat seluruh ciptaan, dan kepedulian pada ciptaan atau pada lingkungan hidup adalah bagian integral dari iman.

Pada akhirnya, ada tahap bertindak. Hanya, perlu dicatat sebelumnya bahwa Gereja bukanlah sebuah lembaga swadaya masyarakat saja, yang berusaha me nyelesaikan masalah secepatnya. Paus memandang Gereja sebagai gerakan iman. Karena itu, bagi Paus, iman bukan hanya menjadi dasar pertimbangan, melainkan juga tujuan dari tindakan. Hal inilah yang persis membedakan Ensiklik ini dengan banyak dokumen internasional yang juga dikutip oleh Paus.

Setelah menyadari bahwa segala macam kerusakan dan kehancuran itu jauh dari gambaran kasih Allah, pentinglah kita umat beriman, juga semua orang yang ber tindak baik, melakukan sesuatu, baik secara bersama maupun sendiri, baik yang besar maupun yang kecil. Dalam hal ini, di satu sisi Paus Fransiskus meng apresiasi banyak upaya yang telah dilakukan komunitas dunia, dan di lain pihak memberikan catatan tambahan –dalam cakrawala iman – agar upaya itu lebih optimal lagi. Pun, tetap dikatakan bahwa setiap upaya bukan hanya dinilai dari hasilnya, melainkan dari sejauh mana iman berbuah bagi dunia.

Anthropogenic
Di bagian awal dari Ensiklik ini, Paus menyebut adanya throw-away culture atau budaya buang yang sudah mendarah-daging pada masyarakat manusia, yang menjadi salah satu sebab penting dari segala macam kehancuran lingkungan hidup. Bagi Paus, budaya buang ini adalah cermin dari sikap ketidakpedulian manusia yang merasa menjadi tuan bagi seluruh ciptaan. Bukan hanya sampah yang ditimbulkan, tetapi juga kerusakan alam, dan berujung pada kemiskinan bagi banyak orang.

Dengan kata lain, Paus setuju dengan para ahli yang tergabung dalam IPCC (Inter governmental Panel on Climate Change) yang memunculkan istilah anthropogenic. Artinya, penyebab penting dari  adalah ‘ulah’ manusia. Dalam hal ini, Paus lebih tajam lagi dengan menyebut keserakahan manusialah menjadi bilangkeladinya.

Untuk itu, dengan mengutip Santo Yohanes Paulus II, perlulah pertobatan ekologis. Hal itu dimaknai sebagai sikap iman yang mau peduli dan menghargai setiap ciptaan, baik untuk kebaikan ciptaan itu dalam harkat dan martabatnya, maupun demi kehidupan bersama, termasuk manusia. Kepedulian itulah yang perlu di wujudkan dalam hidup sehari-hari.

Upaya Kecil
Pertobatan itu tidak hanya berarti pertobatan pribadi, melainkan juga pertobatan lembaga. Karena itu, baik lembaga kecil maupun lembaga besar, termasuk para pelaku industri maupun negara, perlu punya sikap dan tindakan kepedulian yang nyata. Upaya bersama tentu sangat diapresiasi, meski upaya pribadi berskala kecil juga sangat dihargai.

Sangatlah menarik dalam hal ini bahwa seorang Paus menyebutkan contoh-contoh upaya-upaya kecil itu dalam ensikliknya, seperti peduli sampah, mengurangi plastik, menanam pohon, hemat air, dan sebagainya. Yang mau digarisbawahi Paus adalah bahwa pertobatan itu perlu diwujudkan dalam perilaku terus-menerus sehingga menjadi habitus.

Upaya pribadi itu tentu baru akan mendapatkan bentuknya jika didukung oleh lembaga-lembaga madya, seperti sekolah dan Gereja lokal, termasuk paroki. Pendidikan iman yang mencakup kepedulian pada lingkungan hidup perlulah lebih digalakkan. Dalam hal ini, perlu di catat bahwa kepedulian pada lingkungan hidup juga berarti kepedulian pada generasi yang akan datang.

Karena itulah, secara khusus Paus juga menyebut pentingnya pendidikan ke pedulian ini pada keluarga. Dalam tradisi Gereja, keluarga dipahami sebagai sel terkecil dari Gereja. Karena itu, pendidikan iman yang integral menjadi penting. Integral ini berarti isi maupun bentuknya. Isinya perlu mencakup kepedulian pada lingkungan hidup. Sementara itu bentuknya melalui pembiasaan yang membentuk habitus peduli lingkungan hidup.

Doa Indah
Akhirnya, Paus menutup ensiklik ini dengan dua doa yang sangat indah. Yang pertama adalah doa untuk bumi kita, yang adalah rumah bersama kita. Doa kedua adalah doa Kristen dalam kesatuannya dengan seluruh ciptaan.

Doa ini sangat pantas didoakan oleh setiap orang Kristen setiap hari. Di satu sisi menjadi harapan bagi kita sendiri agar mewujud dalam sikap hati sanubari. Di sisi lain, diharapkan bisa menggerakkan banyak orang untuk sungguh memelihara dan menjaga bumi rumah kita, sehingga bisa bersama memuji Dia Allah Pencipta. Laudato Si’..

Al. Andang L. Binawan
Vikaris Episkopal KAJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here