MENDESAK PENYIAPAN  KADER  POLITIK  KATOLIK

497
J. Kristiadi, peneliti senior CSIS
1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “Hingga kini masih banyak umat katolik beranggapan bahwa politik itu kotor. Tetapi ada seorang romo yang mengatakan kepada saya bahwa politik itu suci. Buktinya, Allah Bapa mengutus PutraNya yang Tunggal ke dunia yang kotor  dan penuh dosa  ini untuk menyelamatkan. Itu tindakan politik dan  suci. Bahkan ini sesuai sakramen yaitu rahmat yang tidak kelihatan ,” ungkap J. Kristiadi, peneliti senior CSIS, Jakata. Menurut Kristiadi yang kotor adalah manusia yang menunggangi hal suci ini untuk kepentingan priibadinya.

Contoh yang paling merisaukan akhir-akhir ini adalah pemanfaatan  sektarian dan primordialisme oleh orang-orang yang ingin berkuasa. Ini terlihat jelas ketika pilkada DKI. “Asalah bukan A Hok!” Itu sebabnya Kristiadi mengatakan negara sudah melenceng. “Semua penyelenggara negara sudah keluar dari pakem-pakem yang normal,” tandas Kristiadi.

Kristiadi tampil sebagai pemakalah tunggal dalam pembekalan para ketua Seksi Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) se Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Kegiatan ini  berlangssung 30 September.2017 di Katedral Jakarta. Para ketua seksi paroki itu didampingi oleh masing-masing seorang anggota Dewan Paroki Harian (DPH).

Fenomena sektarian dan primordialisme ini ternyata saat ini merupakan gejala dunia. Di AS bisa terpilih presedin karena mengangkat isu anti islam dan imigran. Di Ruanda terjadi perang saudara karena pemenang pemilu adalah suku minoritas. Suku yang mayoritas tiidak bisa terima dan akahirnya terjadi pembunuhan sesama warga yang menewaskan 500.000 orang.

Dalam kondisi seperti ini orang katolik termasuk para romo tidak bisa lagi menghindar dari perpolitikan.  “Mau nikah saja sekarang sudah butuh layanan RT/RW. “Tidur satu kamar dengan istri sudah jadi urusan politik,” kata Kristiadi. Kita dituntut berpartisipasii penuh dalam kehidupan sosial politik. Untukk itu sangat dibutuhkan kader-kader politik yang mumpuni. Sehingga setiap umat yang masuk politik bisa menggarami dan bukan malah larut ikut arus partainya,” tegasnya. Kehadiran kader politisi katolik paliing tidak membawa tiga misi yaitu berjuang untuk kepentiingan umum,  memberi teladan yang tahan terhadap godaan dan kenikmatan daging dan misi ketiga mampu membawa obor yang menerangi sema orang.

Kalau dikatakan sulit menjadi politisi saat ini, itu benar. Sebab kondisinya negara kita belum dilengkapi dengan isntitusi baru yang selaras dengan perubahan teknologi yang begitu cepat. Kita lihat lembaga kepresidenan, DPR/MPR, TNI,  lembaga peradilan semua masih dalam paradigma lama. “Saat ini dibutuhkan kehadiiran penguasa-penguasa baru yang mampu mengenalikan nafsu,” tegas Kristiadi.

Namun lebih jauh Kristiadi menekankan itu bukan alasan untuk menghindari dunia politik. Justeru kehadiran kader katolik diperlukan untuk membangun bangssa. Memang ini   bukan usaha yang ringan. “Perlu dibangun hubungan saling tenggang rasa satu sama lain. Itu persis sepertii membangun sebuah rumah tangga. Suami- istri serta anak-anak harus saling mendukung dan saling tenggang rasa satu sama lain. Untuk itu dibutuhkan waktu yang cukup lama. Sebab pilihan politik itu bukan salah atau benar melainkan konsensus bersama,” tandasnya.  Konsensus kita bersama adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan negara Khalifah. “Itu sebabnya HTI dibubarkan,” ungkap Krisstiadi.

Rm. Antonius Suyadi, Pr, ketua komisi HAAK menyambut baik pernyataan Kristiadi. “Karena itulah komisi ini terus mengadakan kaderisasi Orang Muda Katolik (OMK). Hanya saja belum disambut antusias oleh paroki maupun romo. Sehingga yang mengikuti kaderisasi ini masih sangat minim dari segi jumlah,” ungkapnya tanpa merasa putus asa. (Sonar Wilfrid Sihombing)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here