Gereja Harus Rela Keluar Dari Kenyamanan

268
Thousands of Catholic faithful from various nationalities participate in the ceremony celebrating the beatification of martyr archbishop Oscar Romero at Las Americas square in San Salvador, on May 23, 2015. Thousands gathered in San Salvador Saturday to celebrate the beatification of archbishop Oscar Romero, a divisive figure whose defense of the poor and repressed split both El Salvador and the Church. AFP PHOTO/Marvin RECINOS
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Uskup Romero adalah sebuah legenda heroik. Ia membela korban ketidakadilan di Amerika Latin. Tak hanya di mimbar tetapi dengan menumpahkan darahnya di altar Tuhan. Kisah Romero bukanlah sekadar legenda personal, tetapi sebuah narasi kritis sosial Gereja. Gereja yang terlibat dalam tangis duka dan jeritan pembebasan orang-orang zaman ini.

Gereja yang Terlibat
Konsili Vatikan II merumuskan identitas Gereja secara singkat sebagai “sakramen penyelamatan” (LG 1). Ia adalah tanda yang berdaya-pikat sekaligus wujud nyata kehadiran Allah di tengah dunia. Karena itu, jati diri Gereja tidak pertama-tama terarah ke dalam untuk semakin mengakumulasi dan memperkuat dirinya sendiri, namun arah dasar Gereja adalah ke luar dirinya.

Di satu pihak Gereja mesti membuka diri dan membiarkan Roh Ilahi terus menghembus masuk dan menjiwai dirinya sehingga sungguh menjadi kenisah Roh Kudus (LG 4). Di lain pihak Gereja berfungsi menjadi kanal-kanal yang mengalirkan kebaikan dan kerahiman Allah ke tengah-tengah dunia ini.

Bahaya terbesar Gereja adalah ketika hanya sibuk mengurus diri sendiri dan terjebak dalam kehidupan rutin yang sakramental- liturgis. Jika Gereja menjadi semakin klerikalistis dan terbius dalam kenikmatan serta kemapanan statusnya, ia perlahan-lahan akan membeku dan menjadi fosil. Hal inilah yang disadari oleh Paus Fransiskus sehingga ia mencanangkan program Gereja pintu terbuka, rela melepaskan kenyamanan, kemapanan, dan berjalan keluar memberi kesaksian sukacita Injil di tengah dunia (EG, 49).

Hal inilah yang diperjuangkan Mgr Romero di El Salvador. Ia keluar dari stabilitas Gereja status quo, yaitu Gereja yang dengan dalih mempertahankan kesatuan umat/ masyarakat, enggan keluar dari ‘zona nyaman’. Gereja status quo adalah Gereja yang bersikap netral dalam situasi ketegangan sosial guna menjamin perdamaian. Padahal realitas sosial yang ada sudah dinodai oleh konflik akibat proses pemiskinan struktural yang menguntungkan segelintir elit dan merugikan mayoritas umat. Karena itu bersikap netral berarti melanggengkan proses penindasan dan ketidakadilan sosial yang terjadi.

Romero sebaliknya memecah kebisuan hirarki Gereja, yang hati nuraninya terbungkam oleh kenikmatan material dan kenyamanan statusnya. Romero memilih opsi lain, mewujudkan Gereja yang terlibat memihak kaum miskin dan tertindas (bdk. GS 1).

Tantangan Iman
Realitas kemiskinan yang masif di El Salvador memiliki dua aspek mendasar. Pertama, kemiskinan merupakan kenyataan sosial akibat dari ketidakadilan struktural. Artinya orang menjadi miskin bukan pertama-tama karena ia malas, boros, dan bermental instan, tetapi hasil dari sistem sosial yang tidak adil.

Kedua, realitas kemiskinan merupakan skandal kemanusiaan. Kemiskinan bukan sekadar persoalan ekonomis, tidak tersedianya sandang, pangan, dan papan dalam jumlah yang cukup. Tetapi terutama merupakan kenyataan yang menyerang, menindas, dan mengeksploitasi seseorang sehingga tak dapat berkembang menjadi pribadi yang bebas dan bermartabat.

Justru karena itulah realitas ini bertolak belakang dengan jati diri antropologi kristiani tentang martabat luhur manusia sebagai citra Allah dan yang telah ditebus oleh Kristus. Kemiskinan di El Salvador menurut Gustavo Gutierrez (Teolog Pembebasan asal Peru) adalah “situasi penuh dosa” (sinnfull situation). Dengan demikian kemiskinan bukan saja persoalan sosial tetapi juga teologis, tidak hanya problem etis ketidakadilan sosial tetapi juga tantangan serius untuk iman kristiani.

Maka dari itu keterlibatan Gereja untuk memerangi kemiskinan, jangan sekadar didorong oleh keprihatinan dan kepekaan manusiawi untuk menolong, tetapi tuntutan iman untuk membela dan mewujudkan hakikat kemanusiaan yang sejati sesuai dengan kehendak Allah.

Mgr Romero berjuang menampilkan wajah Gereja yang baru. Bukan Gereja yang terbius dan terikat dengan kemapanan diri dan peran status quo. Gereja yang terlibat dalam pergumulan manusia untuk mewujudkan dunia yang semakin manusiawi dan berkeadilan.

Hal ini relevan dengan situasi masyarakat Indonesia yang majemuk dan dililit kemiskinan. Gereja Katolik Indonesia dipanggil dan diutus Kristus untuk bekerja sama dengan semua pihak untuk mewujudkan Indonesia baru yang semakin toleran, berkeadilan, dan beradab.

Romo Dr. Martin Chen

Dosen Teologi Dogmatik STFK Ledalero. Direktur Puspas Keuskupan Ruteng

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here