Uskup Agung Oscar Romero

1302
[ilustration by camaro]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pada waktu saya menjadi mahasiswa, saya pernah melihat sebuah poster dengan kalimat yang hingga hari ini saya terus ingat, “When I helped the poor, they called me Saint, but when I asked why they were poor, they called me Communist – Oscar Romero”.

Menurut saya, kalimat itu sungguh dashyat, karena kalimat itu saya temukan tiga dekade lalu, masa yang disebut sebagai masa kekuasaan Orde Baru. Entah mengapa, saya sangat tersentuh dengan kalimat tadi, sembari saya melihat sejumlah imam yang kala itu banyak berkiprah dalam masyarakat. Sebut saja almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya yang menangani penduduk Kali Code dan masyarakat Kedung Ombo, atau Romo I. Sandyawan Sumardi SJ yang berjuang membela tukang becak, buruh, hingga melindungi mahasiswa aktivis politik.

Oscar Arnulfo Romero y Galdamez, Uskup Agung San Salvador, El Salvador, Amerika Selatan. Ia menjadi Uskup Agung San Salvador 1977-1980. Ia seorang rohaniwan yang dekat dengan kelompok masyarakat kecil dan sangat membela kelompok ini, sehingga ia kerap dituduh sebagai bagian kaum komunis. Pada dekade yang kurang lebih sama, di Amerika Selatan memang berkumpul sejumlah uskup yang kemudian mendeklarasikan Teologi Pembebasan, suatu bentuk teologi yang ingin melihat suatu masalah seperti kemiskinan, kebodohan, dari akar struktural.

Saya memang bukan teolog dan tak punya kapasitas menjelaskan isi Teologi Pembebasan berikut kritik ataupun komentar para pendukungnya. Namun, yang mengesan dari riwayat Uskup Agung Romero adalah ketika kebencian pemerintah El Salvador kepada dirinya memuncak. Hingga ia akhirnya ditembak saat memimpin perayaan Ekaristi pagi di San Salvador.

Pada 23 Mei kemarin, Uskup Agung Oscar Romero dibeatifikasi. Pengumuman ini disambut kebahagiaan luar biasa. Tidak hanya umat Katolik di El Salvador, ataupun negara Amerika Selatan yang lain, tetapi juga di seluruh dunia. Di situs Catholic News, Presiden Dewan Kepausan untuk Kerasulan Keluarga Uskup Agung Vincenzo Paglia mengatakan bahwa dari surga, Uskup Agung Romero mendambakan masyarakat El Salvador yang hidup dalam kedamaian dan keadilan. Itulah dua nilai yang terus diperjuangkan Uskup Agung Romero semasa hidupnya.

Paus Fransiskus, pada Februari lalu, menyebutkan bahwa kematian Uskup Agung Romero sungguh-sungguh karena latar belakang kepercayaan yang dimiliki, bukan karena alasan politik. Proses beatifikasi memang tak berjalan dengan mulus. Sejak 1993 proses beatifikasi dimulai dan baru 22 tahun kemudian Uskup Agung Romero diputuskan layak menjadi seorang Beato.

Saat Uskup Agung Romero hidup, tak kurang dari ribuan surat pernah datang ke Vatikan yang mengeluhkan tindakan Uskup Agung Romero yang dianggap lebih politik daripada rohani. Namun, Mgr Vincenzo Paglia mengatakan bahwa Vatikan telah menemukan bukti dan dukungan yang tidak sedikit untuk mendukung proses beatifikasi.

Kita patut bersyukur dengan peristiwa iman ini, terutama karena kelompok masyarakat marjinal mendapatkan orang yang bisa menjadi panutan dalam hidup. Situasi Indonesia berbeda dengan kondisi di El Salvador. Represi negara telah lama tidak menjadi bagian dari sistem politik negeri ini. Tetapi menurut saya tantangannya sama, bagaimana pemerintah memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.

Bagi Gereja Katolik Indonesia yang perlu direfleksikan bersama adalah sejauh mana kita terlibat dalam upaya mencapai kesejahteraan dan keadilan untuk orang banyak? Apakah kita betul-betul mendukung tercapainya kesejahteraan dan keadilan bagi orang banyak? Ataukah kita justru lebih banyak tergerus dan larut dalam kondisi materialisme, kapitalisme, dan mementingkan kepentingan sekelompok kecil saja? Mari belajar akan hal ini dari sosok Uskup Agung Oscar Romero!.

Ignatius Haryanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here