Ratu Pendiri Karmelites Perancis

390
Beata Fransiska D’Amboise saat membaca Kitab Suci.
[wikimedia.org]
4.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ia menjadi bangsawan bukan untuk dirinya sendiri. Kepeduliannya terhadap rakyat dan kehidupan religius mengantar dia menjadi suster yang berbela rasa dengan orang lain.

Semoga raja dan permaisuri sehat dan diberkati Tuhan.” Demikian ungkapan doa masyarakat Bretagne, wilayah Pays-de-la-Loire, Perancis untuk Raja Pierre, putra kedua Jean VI. Pada masa itu, Kerajaan Bretagne dikenal sebagai kerajaan di bagian barat laut Perancis. Konon, selama 30 tahun kepemimpinan Raja Pierre masyarakat Bretagne hidup makmur.

Dalam sejarah, hanya Raja Pierre yang mampu membangun kerjasama dengan kerajaan-kerajaan sekitar. Pierre selalu menunjukkan kejujuran saat diplomasi. Semua keputusan berorientasi kepada kesejahteraan rakyat.

Kebijaksanaan sang raja ini tak lepas dari dukungan sang istri, Fransiska D’Amboise. Wanita muda berhati mulia ini tidak melihat status bangsawan sebagai halangan untuk dekat dengan rakyatnya. Bagi dia, perbedaan status adalah nasib, tetapi menjadi orang baik adalah keharusan sebagai setiap orang Kristen. Kedekatannya dengan rakyat membuat Fransiska kerap dipanggil Reine du Pauvre, ‘Ratu Orang Miskin’.

Bangsawan Miskin
Fransiska seorang putri bangsawan Louis d’Amboise. Ayahnya adalah pangeran dari Talmont, Pantai Atlantik Aquitaine, Perancis. Sementara ibunya, Marie de Rieux adalah putri bangsawan. Sejak umur empat tahun, Fransiska sudah dijodohkan dengan Pierre. Pada masa kecil, Fransiska dikenal sebagai gadis yang saleh. Ia selalu punya hati untuk orang miskin. Ia tak pernah malu setiap kali membantu orang miskin. “Orang miskin adalah manusia. Karena perjuangan mereka kita bisa menjadi bangsawan,” tegasnya suatu ketika.

Sebagai bentuk persetujuan dari perjodohan, Fransiska akhirnya meninggalkan rumah dan diasuh oleh Joan, calon mertuanya sekaligus adik Raja Perancis, Charles VII. Dalam kisahnya, Joan mengungkapkan, Fransiska sebagai seorang yang keras kepala namun punya prinsip. “Ia seorang yang suka berdialog. Baginya dialog bisa menyelesaikan semua masalah. Peperangan dan permusuhan tak pernah bisa dianggap jalan keluar dari suatu masalah,” ungkap Joan suatu kali.

Memasuki usia 15 tahun, gadis kelahiran Château de Thouars, 9 Mei 1427 ini menikah dengan Pierre. Pernikahan ini menjadi istimewa, karena Pierre juga seorang yang saleh. Sebagai keluarga muda, Pierre dan Fransiska tak lepas dari masalah. Namun ketika masalah itu muncul, keduanya selalu menyelesaikan dalam doa kepada Tuhan.

Pada 1450, pasangan suami istri ini mendapat kehormatan menerima mahkota untuk menjadi penguasa Bretagne. Pierre kemudian menyandang gelar Pierre II atau Petrus II. Sebagai seorang istri penguasa, Fransiska mendampingi suaminya dan turut mengatur daerahnya.

Dalam usaha menyejahterakan rakyat Bretagne, Fransiska memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Fransiska tak pernah lupa mendoakan suami dan rakyatnya. Di mata rakyat Bretagne, Fransiska tidak saja menjadi ratu, tetapi ibu bagi orang miskin. Siapapun boleh berbicara dengan dia. Bahkan, ia sering mengundang orang miskin untuk makan di kastil miliknya.

Namun, sebuah cobaan berat menimpah Fransiska dan masyarakat Bretagne. Raja berhati mulia, suami Fransiska meninggal dunia karena penyakit serius pada 22 September 1457. Kematian Pierre menjadi kesedihan bagi masyarakat Bretagne.

Rendah Hati
Setelah kematian sang suami, Fransiska terus melayani rakyatnya. Namun, ia juga menghadapi berbagai gejolak batin. Ada panggilan lain dalam hatinya untuk menyucikan hidup lewat hidup membiara. Keinginan ini disampaikan kepada Pater Yohanes Soret (dibeatifikasi oleh Paus Pius IX pada 1866). Lewat Prior Jenderal Karmelit ini, Fransiska mengenal lebih dalam soal kualitas iman dan hidup membiara.

Dalam perjumpaan tahun 1459, Yohanes dan Fransiska lalu membuka ordo kedua Karmelit di Perancis. Ordo ini mendapat izin Paus Pius II (1405-1464) dengan bulla Inter Universa. Paus kelahiran Corsignanto, Italia ini menyetujui izin pembangunan biara, dengan syarat biara itu harus sesuai Regula Karmel.

Biara ini pertama kali berdiri di Bondon, Vannes, Perancis tahun 1463. Demi keberlangsungan biara, Pater Yohanes mendatangkan beberapa suster dari Komunitas Liegi untuk membantu biara baru itu. Semua nasihat Paus soal Regula Karmel dipegang teguh dalam biara baru ini. Para gadis-gadis Perancis dan beberapa dari luar Perancis pun memutuskan menjadi anggota biara baru ini.

Pada 25 Maret 1468, Fransiska menerima jubah Karmel dari Pater Yohanes. Guru spiritualnya ini meminta agar Fransiska diperlakukan sama seperti suster-suster yang lain, kendati latar belakangnya seorang bangsawan dan penggagas berdirinya biara ini. Tentu saja permintaan ini mengejutkan banyak pihak, karena pada saat itu, kedudukan sosial di masyarakat menentukan kedudukan sosial dalam biara. Lima tahun setelah mengucapkan kaul pertama, dia terpilih menjadi Priorin (pemimpin biara). Dia dikenal sebagai pemimpin yang lembut, tegas, rendah hati, dan penuh dedikasi.

Ketika biara di Vannes berjalan cukup baik, tahun 1476, Fransiska mengusulkan agar Pater Yohanes membantunya mendirikan biara kedua yang kemudian diberi nama Notre Dame des Coutes di Nantes, Perancis. Setelah biara berdiri, ia diangkat menjadi pemimpin.

Wanita Kudus
Suatu ketika, Sr Fransiska menasihati para susternya, untuk berlomba dalam kesucian. Ia meminta setiap suster untuk menunjukkan siapa yang paling rendah hati di antara mereka. Ia juga mendorong setiap suster untuk tekun dalam pelayanan. “Saya mengingatkan kita semua supaya memelihara jiwa dan raga dengan cara yang sama, untuk melayani Tuhan dan ordo,” pesan Fransiska suatu kali.

Bagi Sr Fransiska, waktu kudus tidak serta merta membuat orang menjadi kudus, tetapi sebaliknya orang yang kudus dan baik akan membuat waktu menjadi kudus. “Jika Tuhan di pihak kalian, siapa bisa melawan? Pintu utama dan jalan lurus menuju surga adalah salib.”

Sr Fransiska menghabiskan hidup menjadi Priorin di Biara Notre Dame. Dalam rutinitas doa, matiraga, refleksi, dan keheningan itu, Sr Fransiska menderita sakit serius. Kendati begitu, ia selalu menampakkan keceriaan agar tak menjadi beban para suster lain.

Pada 3 November 1458, ketika merasa ajalnya telah tiba, ia mengumpulkan para suster. Dengan terbaring lesu di atas tempat tidur, ia meminta maaf kepada mereka atas hidupnya yang tidak memberikan teladan yang baik. Sr Fransiska berpesan untuk melihat segala perbuatan dan karya Allah dalam hidup suster-susternya. Ia mendorong susternya untuk menjadi pribadi yang rendah hati, suka menolong, manis, suci, dan taat. “Selamat tinggal anakku, aku akan menghadap Dia yang telah mengasihi aku; aku pergi kepada-Nya,” usai berkata demikian, Sr Fransiska meninggal dunia pada Jumat, 4 November 1485 di Nantes.

Setelah kematiannya, muncul Revolusi Perancis. Banyak biara terpaksa ditinggalkan. Banyak pula ajaran dan tulisan Sr Fransiska yang hilang. Konon, tubuhnya sempat diolok-olok oleh tentara revolusioner kala itu. Tetapi dari beberapa fragmen yang tertinggal, menunjukkan bahwa Fransiska adalah seorang suster yang tegas, penuh kasih, dan murah hati.

Ia dibeatifikasi oleh Paus Paus Pius IX (1792-1878) di Basilika St Petrus Vatikan pada 16 Juli 1863. Ia dianggap sebagai pendiri Karmelites di Perancis. Ia dikenang setiap 4 November.

Marianus Ivo Meidinata OCarm/Yusti H.Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here