Pastoral Kepulauan Maluku

766
4.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pastoral kepulauan menjadi tantangan bagi Gereja di Tanimbar. Kendati begitu, semangat inkulturasi menjadi model pastoral yang sesuai dengan budaya masyarakat Tanimbar.

Berbeda dengan misi Gereja Katolik di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Masyarakat Tanimbar pada awal abad XX, masih kurang dijangkau oleh keislaman. Agama Islam hanya berakar dalam hati orang-orang di Pulau Labobar dan Kilon, Maluku Tenggara Barat, Maluku. Kala itu, agama Islam dibawa oleh pedagang Bugis-Makassar di Labobar. Sedangkan di Kilon, Islam datang bersama orang Islam asal Ternate dan Tidore.

Bila Islam belum berakar di Tanimbar, Gereja Protestan justru berkembang cukup pesat. Masuknya Gereja Katolik sejalan dengan berkembangnya Gereja Protestan. Di Pulau Larat, Pater Petrus Drabbe MSC sering melewati pelabuhan Larat dalam perjalanan menuju Pulau Fordata. Setiap kali berlabuh di situ, sekelompok pemuda Larat dari Ridol dan Ritabel kerap menghadang perahu Pater Drabbe. Tak jarang, perahu yang ditumpangi Pater Drabbe, dilempari batu oleh pemuda-pemuda itu.

Sekelompok pemuda di bawah pimpinan Efraim Yaflaun, pernah hampir menewaskan beberapa orang di perahu Pater Drabbe. Berhadapan dengan bahaya itu, Pater Drabbe menghampiri Efraim dan menyapa, “Kamu, pemimpin kelompok. Bila saya datang
lagi, kamulah yang pertama mengikuti saya.”

Perjumpaan dengan Pater Drabbe menjadi pengalaman berharga dalam hidup Efraim. Tak beberapa lama, ia menjadi kepala desa Ridol. Ia juga menjadi orang pertama dari Larat yang menyatakan diri memeluk agama Katolik. Beberapa orang Tionghoa yang ada di Larat, kemudian juga dibaptis mengikuti jejak sang kepala desa. Karena jasa-jasanya untuk Gereja, Efraim pun diganjar Bintang Kepausan, Pro Ecclesia et Pontifice pada 1957.

Butuh Katekese
Kepala Paroki St Pius X Larat, Pastor Theddy Daskely mengatakan, di Kota Larat pertentangan antara Katolik dan Protestan masih terasa. Dia menggambarkan pertentangan antara Katolik dan Protestan lebih-lebih soal upaya mendapatkan umat dan soal kebenaran iman Gereja Katolik. Misal, lanjut Pastor Theddy, soal pertanyaan tentang keperawanan Maria, Trinitas, penyembahan patung dalam Gereja Katolik, serta para imam yang tidak menikah.

Ketika bertugas di Larat, Pastor Theddy intens berkatekese tentang ajaran iman. Usaha ini tidak saja memuat dogma, tetapi praktik iman sehari-hari. Menurutnya, doa adalah getaran hati sekaligus suatu permohonan dan syukur kepada Allah. Tanpa doa, iman Katolik lemah. Kendalanya adalah doa kadang dianggap sebagai rutinitas. Orang ke gereja karena malu dianggap tidak beriman.

Berbicara soal iman, umat Larat tidak diragukan. Hal ini tampak dalam keaktifan mereka dalam kegiatan menggereja. Tetapi bagi Pastor Theddy, iman itu harus ditunjukan dengan pengetahuan yang baik dan benar. “Meski iman tanpa perbuatan sia-sia, tetapi iman tanpa pengetahuan juga percuma. Sebab bagaimana mungkin seseorang beriman dan memahami dasar imannya bila tidak berpengetahuan?” ujar Pastor Theddy.

Paroki St Pius X Larat menjadi pusat paroki bagi Kuasi Paroki St Petrus Awear dan Sofyanin. Pastor Andreas Sainyakit merefleksikan, berpastoral di Larat mengingatkan umat akan kota pelabuhan Korintus, salah satu kota tua di Yunani Kuno. Korintus menjadi kota penting karena lokasinya yang strategis bagi perdagangan. Kota Larat bisa digambarkan dengan kota pelabuhan. Larat menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari Kepulaun Yamdena, Kepualau Kei, Kepulauan Aru, maupun Kepulauan Babar. Perbedaannya, Larat berada di daerah terluar Indonesia.

Sebagai kota pelabuhan, lanjut mantan Pastor Paroki Larat ini, tentu ada pertemuan berbagai budaya. Ada hal baik yang muncul tetapi juga hal-hal negatif. “Umat Katolik Larat itu harus diingatkan terus-menerus agar tak lupa akan tanggung jawabnya sebagai orang Katolik. Paling penting adalah kesadaran umat akan hidup yang benar. Umat Katolik harus tampil sebagai motor penggerak bagi kehidupan beriman di Larat,” ujar imam mahasiswa Ateneo de Manila University, Filipina ini.

Semangat Inkulturasi
Vikaris Episkopal Keuskupan Amboina untuk wilayah Maluku Tenggara Barat, Pastor Simon Petrus Matruty mengatakan, Gereja Katolik Tanimbar berkembang tak lepas dari budaya. Budaya menjadi hal yang tak terpisahkan dalam corak pastoral di Tanimbar. Iman umat Tanimbar adalah iman yang lahir dan melekat pada budaya. Pastor Sipe, demikian sapaannya, memberi contoh dalam liturgi. Umat Tanimbar sangat senang memasukkan unsur-unsur budaya dalam liturgi, seperti tarian dan lagu-lagu berbahasa daerah. “Inkulturasi dalam liturgi itu malahan lebih mengena dalam membangun relasi manusia dan Tuhan,” ungkapnya.

Pastor Sipe menambahkan, umat juga menaruh penghargaan terhadap para pelayan. Pulau Tanimbar kerapkali disebut sebagai “negeri para pastor dan suster”. Hampir setiap desa di Tanimbar telah mempersembahkan putra dan putri mereka untuk menjadi pastor atau suster. Sementara itu, semangat kekeluargaan dan kekerabatan atau pela menjadi warisan tak terpisahkan di Tanimbar.

Ketika seorang anak menjadi pastor atau imam, ia tidak saja menjadi kebanggaan keluarga itu tetapi kebanggaan seluruh desa. “Perintah dari seorang pejabat belum tentu dilaksanakan maksimal ketimbang perintah dari seorang imam. Di Tanimbar, suara seorang imam itu lebih berarti daripada perintah lainnya,” kata Pastor Sipe.

Di bidang pemerintahan, lanjut Pastor Sipe, banyak orang Katolik yang dipercayakan untuk melayani masyarakat. Dengan dinamika ini, maka umat Katolik dapat menjadi garam dimanapun dia berada.

Pastor Sipe mengakui, berbicara soal misi pasti ada tantangan. Tantangan terbesar melayani di Tanimbar adalah umat yang tersebar di berbagai pulau-pulau kecil. Melayani umat kepuluan itu bukan tergantung jadwal pastor, tetapi tergantung alam. Segala program yang disusun selalu mempertimbangan cuaca, seperti ombak, angin, dan faktor lainnya. Berpastoral di “negeri seribu ubi” ini selalu berhadapan dengan risiko ganasnya laut. Seorang pastor paroki bisa menghabiskan puluhan juta rupiah untuk sekali kunjungan pastoral. Hal ini tentu tidak sebanding dengan ekonomi umat yang rata-rata menengah ke bawah. “Pastoral dari darat ke laut adalah fokus Gereja Tanimbar saat ini.”

Keyakinan Iman
Pada 1976, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr Vincenzo Farano untuk pertama kali berkunjung ke Tanimbar. Dalam pesannya kala itu, Mgr Farano meminta agar para imam berani melayani umat kepulauan. Hal ini sesuai semangat St Fransiskus Xaverius, patron Keuskupan Amboina. Di balik pesan itu, kunjungan Mgr Farano memberi kesan istimewa bagi umat Katolik. Di Alusi Krawain, sebuah desa di Yamdena, sampai kini orang masih dapat menunjukkan “Tangga Farano”, sebuah tangga yang membentang dari pantai sampai wilayah perkampungan. Sementara di Sifnana, Yamdena, diresmikan monumen peringatan dua misionaris pertama yang dibangun oleh Pastor A. Egging MSC dan H. de Vries.

Pastor Simon Rahanmitu menyoroti peran guru agama atas perkembangan iman di Tanimbar. Sampai saat ini, di beberapa stasi, seorang imam hanya bisa berkunjung setahun sekali. Selain karena cuaca, jumlah imam yang sedikit juga menjadi tantangan. Pemecahan masalah ini, salah satunya dengan menggunakan tenaga para katekis atau guru agama. “Sampai saat ini, Gereja Katolik Tanimbar bisa berkembang pesat karena peran guru-guru agama,” ungkap Pastor Paroki St Maria Assumpta Alusi ini.

Yusti H.Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here