Museum Katolik, Penjaga Ingatan Gereja

1540
Para Uskup melihat koleksi Museum Katedral Jakarta.
[NN/Dok.KAJ]
3/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Museum misi di Indonesia diharapkan tidak sekadar menampilkan bukti sejarah, tetapi menjadi sarana edukasi sekaligus pusat animasi misioner bagi umat Katolik.

Saat kunjungan ke Indonesia tahun 1970, Paus Paulus VI tampil dengan tongkat gembala berwarna keemasan. Tongkat yang di atasnya terdapat salib dan korpus Yesus yang tergantung, selalu menemani Paus Paulus VI sepanjang perayaan Ekaristi bersama umat Katolik di Jakarta. Tongkat itulah yang menjadi lambang kepemimpinannya sebagai pengganti St Petrus.

Sebagai wujud cintanya kepada Indonesia, Paus Paulus VI mempersembahkan tongkat gembala itu kepada Uskup Agung Jakarta Mgr Leo Soekoto SJ. Kini, tongkat itu menjadi salah satu koleksi penting di Museum Katedral Jakarta. Kehadiran tongkat itu, menjadi sarana untuk merawat ingatan umat akan sejarah Gereja, tak hanya di Jakarta namun juga di Indonesia.

Museum Katedral Jakarta menjadi warisan tak ternilai dari mendiang Romo Rudolphus Kurris SJ. Dialah yang menjadi pencetus mula berdirinya situs penjaga ingatan Gereja Katolik Jakarta. Imam kelahiran Maastricht, Belanda 11 Agustus 1929 mengumpulkan beberapa harta Gereja yang berantakan dan menjadi koleksi awal Museum Katedral Jakarta.

Karya Misioner
Katedral St Maria Diangkat ke Surga Jakarta sempat direnovasi pada saat Romo Kurris menjadi Kepala Paroki Katedral Jakarta (1985-1993). Tiga tahun lamanya, gereja yang termasuk cagar budaya kelas I di Indonesia itu dipugar. Selama itu, Romo Kurris menemukan bermacam-macam benda-benda peninggalan yang berantakan, bahkan nyaris hancur. Dalam batinnya, lalu timbul gagasan untuk menyimpan harta tersebut di tempat yang layak.

Keinginan Romo Kurris itu kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya Museum Katedral Jakarta. Museum ini diresmikan 28 April 1991 oleh Mgr Julius Darmaatmaja SJ yang ketika itu Ketua Konferensi Waligereja Indonesia. Turut hadir pula pada peresmian itu Vikaris Jenderal KAJ Romo M. Soenarwidjaja SJ dan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Bambang Sungkono.

Ketua Museum Katedral KAJ, Susyana Suwadie mengatakan, awalnya museum tersebut berada di lantai kedua Katedral Jakarta. Tetapi akhirnya dipindahkan ke gedung baru di Pastoran Paroki Katedral Jakarta yang lama. Susy mengenang, rencana pemindahan museum ini sudah berlangsung akhir 2015.

Selain tongkat gembala Paus Paulus VI, masih ada sekitar 400 koleksi yang tersimpan di Museum Katedral Jakarta. Koleksi ini seakan menjadi gambaran tentang kekayaan Gereja. Sebuah Monstran peninggalan abad XVII menjadi koleksi tertua museum ini. Di museum ini juga tersimpan sebuah jam dengan merk Fris yang dibuat sekitar tahun 1700. Boleh jadi, jam ini tersisa hanya beberapa buah saja di seluruh dunia.

Peristiwa penembakan dua imam Serikat Yesus di Timor Leste tahun 1999 juga meninggalkan jejak di museum ini. Jubah kedua imam itu, Pastor Tarcisius Dewanto SJ dan Pastor Karl Albrect Karim SJ, tersimpan rapi di museum, yang seakan mengajak setiap umat untuk tidak melupakan peristiwa itu. Umat juga dapat mengenal wajah Vikaris Apostolik Batavia dan para Uskup Agung Jakarta lewat beberapa lukisan karya Indro Moerdisoeroso.

Pada perayaan 20 tahun tahbisan episkopal Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, para Uskup yang hadir dan umat mengikuti prosesi pemindahan Museum Katedral Jakarta ke gedung baru (bekas pastoran Paroki Katedral). Acara ini dipimpin Kepala Paroki Katedral Romo A. Hani Rudi Hartoko SJ.

Saat ini, Museum Katedral Jakarta terus berbenah diri khususnya bagian yang berada di lantai dua. Pembenahan ini bertujuan untuk memudahkan serta menarik minat generasi muda Gereja agar lebih mencintai sejarah masa lampau Gereja. Dalam pembenahan itu diharapkan, ketika para pengunjung datang, mereka bisa diantar menikmati panorama sejarah yang ada di museum tersebut. “Ruangan ini ada untuk menampilkan sejarah awal Gereja Katolik hadir di Indonesia. Dalam ruangan ini kita akan membuat informasi dalam bentuk tiga dimensi agar menarik minat anak-anak,” ungkap Susy.

Unsur Katekese
Saat memimpin perayaan Ekaristi di Lapangan Udara Adisutjipto tahun 1989, Paus Yohanes Paulus II menggunakan altar, mimbar, dan kursi yang terbuat dari bambu. Ketika itu, bambu rasanya menjadi duta untuk mengenalkan Indonesia kepada Bapa Suci. Tak ingin meninggalkan begitu saja sejarah itu, altar, mimbar, dan kursi itu kini tersimpan di Museum Muntilan Pusat Animasi Misioner.

Kehadiran museum yang diresmikan 23 Juli 1998 ini menjadi cara yang ditempuh Keuskupan Agung Semarang untuk merawat sejarah kekatolikkan di Tanah Jawa. Seperti namanya, museum ini berisi segala sesuatu yang berkaitan dengan misi Gereja Katolik. Terdapat sejumlah koleksi peninggalan bersejarah seperti jubah, alat ibadah, foto, lonceng, sepeda, kursi, buku-buku, serta aneka kisah kekatolikan.

Direktur Museum Misi Muntilan, Romo Nugroho Tri mengatakan, selain memuat barang-barang peninggalan sejarah, museum ini jelas memiliki unsur katekese. Selain kunjungan, ada program rekoleksi umat, anak sekolah, dan lain-lain. “Museum bukan gudang tempat menaruh barang. Bukan masalah tentang barang saja, tetapi menjadi tempat edukasi atau belajar,” tutur Romo Nugroho.

Museum yang masih berdiri berkat kerjasama Komisi Karya Misioner Kepausan Indoneisa, Provinsialat SJ, Bruder FIC, dan Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang ini beroperasi setiap Senin-Sabtu, pukul 08.00-15.00. Tapi tidak menutup kemungkinan pada hari Minggu dibuka bila ada acara atau permintaan khusus.

Dalam mengelola museum, lanjut Romo Nugroho, kesulitan utama adalah bukan semata-mata memindahkan atau menyumbang barang. Namun, lebih kepada animasi misioner dan kreatifitas. Bahkan sebenarnya, barang-barang peninggalan ini tidak terpusat di museum saja, tetapi di paroki-paroki. Ia berharap, umat bisa tetap setia ambil bagian dalam perwujudan dan penjagaan museum. “Kita menjaga sekarang untuk melangkah di kehidupan selanjutnya,” demikian Romo Nugroho.

Budaya dan Misi
Museum lain juga yang sampai kini berfungsi sebagai animasi misioner adalah Museum Budaya dan Perkembangan Asmat (The Asmat Museum of Culture anda Progress/AMCP). Museum ini terletak di Agats, Papua dan dikelola Keuskupan Agats.

John Ohoiwirin, staf AMCP menjelaskan bahwa museum ini merupakan wadah koleksi artefak budaya Asmat. Perbedaan dengan museum lain adalah meski menjadi museum misi, tetapi tidak mengoleksi perlengkapan liturgi, atau karya-karya para misionaris. “Museum ini lebih mengoleksi lukisan-lukisan budaya Asmat yang disimpan oleh para misionaris,” ungkap John.

Koleksi artefak-artefak budaya Asmat ini awalnya dikumpulkan Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) sekitar tahun 1950. Karya misionaris MSC kemudian diteruskan Misionaris Ordo Salib Suci (OSC). Tahun 1969, Pater Frank Trenkenschuh OSC menyusun kembali aneka artefak itu menjadi koleksi budaya yang menarik. AMCP dibuka secara resmi pada 17 Agustus 1973 dan mengoleksi sedikitnya 1.200 macam artefak.

John mengakui, ketika berbicara tentang museum, ada banyak alasan mengapa museum bukan menjadi pilihan utama untuk dikunjungi. Di AMCP, masyarakat lokal masih belum memahami fungsi museum. Kebanyakan pengunjung adalah para turis mancanegara. Hal ini bukan cuma terjadi di AMCP tetapi semua museum pada umumnya.

John mengatakan, ada beberapa alasan yaitu penyajian artefak atau eksibisi yang cenderung monoton. Hal ini dapat dilihat dari penyajian dan penataan koleksi yang cenderung membosankan. Koleksi hanya dipajang dalam lemari kaca dan meja-meja, seringkali dengan informasi yang minim tanpa penataan artistik. “Satu hal lain adalah tidak ada audio-guide atau pemandu yang punya kompetensi untuk menjelaskan tentang museum tersebut. Koneksi interaktif antara pengunjung dan pemandu tidak nampak,” ungkap John.

Kendati museum dianggap sebagai tempat yang membosankan, di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), Museum Bikon Blewut, “Zaman Purba,” tidak menampilkan kesan tersebut. Sampai saat ini, banyak orang suka mengunjungi museum tersebut. Hal utama yang ditampilkan adalah sisi edukatif yang selalu ditampilkan di Bikon Blewut.

Diretkur Blikon Blewut, Pater Ansel Doredae SVD mengatakan, keunikan museum ini adalah pada koleksi-koleksinya. Di Bikon Blewut ada koleksi kebudayaan pra sejarah zaman palaeolithicum (batu tua), zaman mesolithicum (batu tengah), zaman neolithicum (batu muda), zaman perunggu, zaman batu mulia, fosil-fosil fauna dan flora hingga koleksi-koleksi seni budaya masyarakat Flores dan NTT pada era kontemporer. “Semua koleksi ini ditemukan dan disimpan Misionaris Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) perdana yang memiliki minat di bidang etnologi, linguistik, dan antropologi,” ungkap Pater Ansel.

Awalnya berdiri Bikon Blewut atas ide Pater Piet Petu SVD, seorang antropolog. Tetapi hasil penemuan purbakala sudah terjadi sejak abad XIX oleh Misionaris SVD. Beberapa nama yang bisa disebutkan, seperti Pater Paul Arndt SVD, Pater W. Koppers SVD, Pater Theodor Verhoven SVD, Pater M. Guisinde SVD, Pater B.A. Vrok lage SVD, Pater Jilis Verheijen SVD, dan Pater Paul Schebesta SVD.

Terdorong oleh desas-desus penduduk lokal tentang adanya gua-gua kediaman manusia purba, Pater Verhoven membentuk tim ekspedisi pertama pada 1950 menuju Labuan Bajo, Flores Barat. Di sana mereka menemukan sisa-sisa kebudayaan megalith dan barang-barang kebudayaan Tionghoa, seperti porselin, mata uang, serta sepuluh gua. Setelah itu, ekpedisi ini melakukan penggalian secara sistematis pada gua-gua yang disebut Liang Momer dan Liang Panas di Manggarai. Pada 1952, Pater Mommersteeg menemukan alat-alat perunggu di Menge, Ngada, sedangkan anggota tim lainnya menemukan tiga kapak perunggu di Guru, Sikka dan alat-alat budaya Dongson di Nua Mbiko, Ende Lio. Sekitar 1960 ditemukan lagi beberapa gua di Boru dan Hokeng, serta Lewoleba, Flores Timur.

Seiring berjalan waktu, semua koleksi tersebut disimpan di Seminari Todabelu, Ngada antara 1950-1965. Setelah Pater Verhoven kembali dari Belanda pada 1967, penemuan-penemuan itu di pindahkan ke Seminari Tinggi Ledalero atas persetujuan Pimpinan Regio SVD Ende. Kemudian Pater Guus Cremmers SVD diutus untuk merawat museum tersebut, lalu dilanjutkan Pater Piet. “Bagi masyarakat Flores, Bikon Blewut adalah koleksi terlengkap tentang budaya dan kehidupan orang Flores purba. Bikon Blewut selain menjadi saksi sejarah, juga sarana pembelajaran bagi generasi zaman ini,” harap Pater Ansel.

Sumber Pengetahuan
Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum merupakan sesuatu yang sangat penting, terutama menjawab keberadaan sejarah perkembangan manusia, budaya, dan lingkungannya. Dalam arti ini, fungsi edukasi sering dianggap sebagai fungsi utama yang melekat pada museum, disamping fungsi konservatif dan riset. Maka ketika berbicara tentang museum sebagai pusat edukasi, maka pantas juga ditampilkan beberapa perpustakaan sebagai jejak sejarah misi di Nusantara.

Di Keuskupan Denpasar ada Museum dan Perpustakaan Widya Wahana Tuka, Bali. Museum dan perpustakaan ini diresmikan pada 2 Mei 1981. Pendirinya adalah Pater Norbertus Shadeg SVD, seorang misionaris asal Amerika yang berkarya di Bali sejak 1950. Tujuan utama didirikannya perpustakaan ini adalah agar bisa mempromosikan kebudayaan Bali serta sarana penelitian bagi para cendekia wan dan pencinta kebudayaan Bali. Selain itu juga sebagai sarana komunikasi dengan berbagai pihak dan intansi terkait.

Direktur Perpustakaan dan Museum Misi, Romo Paskalis Nyoman Widastra SVD mengatakan, perpustakaan ini mengoleksi lebih dari 21 ribu buku. Buku-buku ini meliputi kebudayaan Bali, seperti sejarah, adat istiadat, kesusastraan, agama, dan bahasa. Romo Nyoman menambahkan, perpustakaan yang mengusung kecintaan budaya Bali ini juga menjadi tonggak sejarah masuknya Gereja Katolik di Keuskupan Denpasar.

Romo Nyoman menambahkan, dalam rangka 100 tahun kehadiran SVD di Indonesia dan 75 tahun kehadiran SVD di Bali, perpustakaan tersebut dipugar lagi dan ditambahkan beberapa ruangan khusus seperti museum dan pusat misi SVD Provinsi Jawa. Gedung perpustakaan dan museum ini diresmikan 25 Januari 2013. “Kiranya apa yang menjadi tujuan Widya Wahana yang bersemboyan Scientia Lux, ‘Pengetahuan sebagai Suluh’, bisa terwujud,” ungkap Romo Nyoman.

Sementara itu, di Kompleks Pastoran Gereja Katedral St Fransiskus Xaverius Ambon, ada Perpustakaan Rumphius. Perpustakaan itu menjadi incaran banyak orang, yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Betapa tidak, ada yang datang secara khusus untuk melihat dan mengagumi seri buku-buku kuno karangan Georgius Everhardus Rumphius dan François Valentijn, serta pengarang-pengarang terkenal lainnya.

Berdirinya perpustakaan ini tak lepas dari perjuangan almarhum Mgr Andreas Sol MSC. Sejak awal kedatangannya, Mgr Sol mulai mengumpulkan berbagai li teratur; kurang lebih ada 8000 buku dan koleksi majalah sebanyak 20 terbitan. Juga ada banyak peta tua dari masa Belanda tentang Kepulauan Maluku, Indonesia serta dunia.

Pater Kees Böhm MSC, misionaris MSC di Maluku mengungkapkan, ada enam karya penting yang ditulis Rumphius, yang ada saat ini. Pertama, Amboinsche Kruidboek, buku tentang rempah-rempah dan botani yang dikenal dengan judul Herbarium Amboinense, terbitan tahun 1695. Kedua, D’Amboinsche Rariteitkamer (barang-barang aneh dan langka dari Ambon) terbitan tahun 1705. Ketiga, Amboinsche Dierbook, ialah buku tentang binatang-binatang yang terdapat di Maluku. Buku itu terbit sekitar awal 1690-an. Keempat, Rumphius menulis juga sebuah buku tentang sejarah nasional, berjudul D’Ambonsche Land-Beschrijving (perihal pulau-pulau di daerah pemerintahan Amboina) yang terbit tahun 1679. Dan ada lagi dua buku lain, berjudul: De Ambonensche Historie (Sejarah Ambon) terbitan 1679, dan Waerachtigh Verhael van de Schrickelijcke Aerdtbevinge (Kisah nyata tentang gempa bumi dahsyat), terbitan Batavia, tahun 1675.

Di antara catatan Rumphius, terdapat juga berita tentang tsunami tertua dan pertama di Nusantara (Indonesia) satu satunya catatan tentang itu di dunia, yang melanda Ambon dan Seram pada 17 Februari 1674. Tsunami itu menewaskan 2.322 orang, termasuk istri Rumphius, Susana.

Masa lalu menjadi kekayaan pasti setiap orang. Masa lalu selalu bergerak menuju masa kini, lantas membentuk masa depan. Museum menjadi sarana untuk mengumpulkan masa lalu itu, agar kita menjadi bijak menyikapi segala tantangan masa kini dan masa depan.

Yusti H. Wuarmanuk
Laporan:Christophorus Marimin/Marchella A. Vieba/Kees Böhm MSC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here