Pastoral Memberantas Perdagangan Manusia

198
Pieter Bataona SVD.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Dewasa ini, fenomena perdagangan manusia membuat nama Nusa Tenggara Timur (NTT) mencorong ke seluruh cakrawala Nusantara. Tetapi kasihan, bukan karena keharuman melainkan suatu “borok” yang lama dibalut di tanah NTT. Borok ini pastilah menyebarkan bau busuk, berupa salah urus putra-putri daerah, kemiskinan, dan praktek mafia atau jaringan yang rapi memperdagangkan anak manusia dari NTT ke berbagai daerah dan negeri jiran.

Ada sejumlah alasan kenapa terjadi perdagangan manusia. Yang utama adalah kemiskinan, selain pengangguran, lapangan kerja terbatas, pendidikan rendah, kurangnya mendapatkan informasi yang benar, ketidaksetaraan gender, dan sebagainya.

Dalam praktek perdagangan manusia, korbannya adalah kaum perempuan dan anak-anak. Mengapa? Kaum perempuan dan anak-anak di NTT teridentifikasi sebagai korban sosial politik dan budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi marginal, posisi subordinasi. Kaum perempuan dianggap lebih rendah.

Mereka juga menjadi korban kekerasan, baik kekerasan keluarga maupun kekerasan publik.

NTT juga menjadi salah satu “sumber pasokan” perdagangan manusia yang potensial. Beberapa tempat yang dianggap ”nyaman” untuk jalan keluarnya peredaran para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) antara lain Lembata, Larantuka, Maumere, Labuan Bajo, Alor, Rote, dan Kupang.

Masalah Serius!
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kupang dan Bupati Kabupaten Kupang sempat tersentak melihat laporan tentang TKI dan TKW dari Kabupaten Kupang. Dalam laporan, Kabupaten Kupang memegang sabuk juara dalam masalah perdagangan manusia di seluruh Propinsi NTT. Hal ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Kupang menjadi salah satu sentral yang nyaman dan terlindungi untuk urusan perdagangan manusia. Kupang menjadi ”lahan basah” yang diincar oknum atau pelaku perdagangan manusia.

Berkumpulnya TKI atau TKW di Kabupaten Kupang membuat jumlah penduduk di kabupaten itu bertambah. Mereka bukan penduduk riil tetapi TKI/ TKW transit yang datang dari berbagai kabupaten di daratan Timor seperti Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Rote, Sabu Rai Jua, dan kabupaten-kabupaten di daratan Sumba.

Mengapa mereka bisa lolos melewati tirai pemeriksaan dengan mudah? Jawabannya sederhana. Ada oknum yang mengamankan semua proses dalam suatu jaringan kerja sama yang sangat rapi. Mereka disebut mafia, sebagai pihak atau oknum yang memilih jalan illegal untuk mengirim manusia dari daerah itu ke tempat lain.

Sebaliknya, masalah pemulangan TKI dan TKW ke Indonesia juga merupakan masalah serius. Mereka adalah sekelompok manusia yang terluka, meski ada yang berstatus “legal”. Para TKI dan TKW banyak yang mencari perlindungan ke kedutaan, ke gereja, atau ke lembaga sosial lantaran memperoleh pengalaman buruk seperti dikurung, disekap oleh majikan, upah tidak dibayar untuk jangka waktu lama, dokumen dirampas, mengalami kekerasan fisik, bahkan tak sedikit yang dipenjara dan dideportasi.

Tantangan Pemda NTT
Lalu, sebenarnya apa masalah utama penyebab maraknya perdagangan manusia dari NTT? Kita perlu berkaca pada tempat tinggal atau kampung halaman kita sendiri. Lantaran kurang memiliki keahlian atau ketrampilan, warga NTT mengira di dalam hutan kelapa sawit ada kebun pisang, pepaya, dan mangga.

Nyatanya, memang tidak ada kelapa sawit di NTT. Tetapi untuk ukuran memelihara dan memetik buah mangga apakah orang NTT harus merantau ke Malaysia? Ada orang yang sudah 10 tahun diberi kepercayaan mengurus induk babi 50 ribu ekor, tapi ia memilih pergi merantau. Kenapa ia tidak pulang dan memulai usaha peternakan babi di Timor?

Jawabannya tidak segampang yang dibayangkan. Realita yang diungkapkan adalah uang. Di Malaysia, mereka memetik mangga atau kelapa sawit langsung diuangkan, dan kerja mereka langsung dibayar. Sekadar pembanding, di Flores masing-masing rumah memiliki pohon mangga. Ketika musim panen tiba, lalu siapa yang akan menjual mangganya dan kepada siapa? Kelebihan buah akan hancur atau masuk perut hewan. Kawasan pertanian pun bisa diperluas, tetapi hasilnya mau dikemanakan?

Dalam setiap investigasi, pendamping kelompok adat menolak usaha pertambangan di daratan Timor. Pikiran dasar yang ditampilkan sebagai perlawanan adalah perusakan lingkungan dan memperkecil lahan pertanian. Di sini terlihat bahwa masyarakat NTT memang belum siap menempuh lompatan budaya atau teknologi, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.

Maka rekomendasi yang dikumandangkan adalah agar pemerintah setempat meningkatkan pendapatan pertanian masyarakat dengan pengadaan sarana pertanian seperti traktor, pacul linggis atau pengadaan bibit dan pupuk. Pengadaan peralatan bisa dilakukan. Persoalannya adalah kemana hasil pertanian dijual? Untuk pertanyaan terakhir, pemerintah belum siap menjawab, ke mana hasil pertanian dijual karena harga selalu naik turun sesuai kemauan pembeli atau tengkulak.

Apakah pemerintah sempat memikirkan aspek tersebut di NTT? Bagaimana pemerintah bisa menampung hasil kerja petani, membeli, sekaligus memberikan apresiasi atas keringat para petani? Gagasan peningkatan pendapatan para petani bisa berlipat ganda jika aspek terakhir ini diperhatikan pemerintah. Dan bukan mustahil para TKI dan TKW akan balik dari negeri jiran untuk kemudian berprofesi sebagai pemetik mangga dan pepaya di negeri sendiri, NTT.

Peran Gereja Lokal
Sebagai anggota Gereja dan imam dari Serikat Sabda Allah, saya bekerja untuk Gereja Lokal dan membangun Gereja Lokal. Dengan menangani tugas sebagai koordinator Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, saya melakukan kegiatan pencerahan, animasi spiritual dan workshop dalam hubungan pencegahan korban perdagangan manusia dan proses legal mencari pekerjaan ke luar negeri. Paroki yang teridentifikasi sebagai kantong TKI dan TKW menjadi sasaran kegiatan itu.

Dalam melaksanakan kegiatan, kami berjejaring dengan dekanat, paroki, lembaga sosial, tarekat religius yang memiliki kepedulian terhadap masalah perdagangan manusia. Kami juga berjejaring dengan Vivat Internasional di Jakarta, Counter Human Trafficking Commission atau Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI), Lembaga Pemerintahan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat peduli masalah perdagangan manusia. Sejak 2011, pelayanan pastoral ke negeri jiran juga sudah dilakukan.

Aspek lain yang perlu ditampilkan adalah pemberdayaan kelompok tani, yang selalu memberi motivasi dan penyadaran. Misalnya seperti yang terjadi pada masyarakat di desa Weseben, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Belu yang menampilkan diri sebagai petani kacang hijau. Mereka adalah bagian dari kelompok umat binaan di Paroki Salib Suci Weoe, Keuskupan Atambua.

Tidak ada harapan yang lebih besar kepada pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pertanian kecuali perluasan pertanian dengan pengadaan sarana penunjang seperti traktor, bibit, dan pupuk. Tetapi lebih dari itu, pemerintah juga harus menyiapkan infrastruktur untuk penampungan atau pembelian hasil pertanian, serta pengendalian harga yang baik sebagai bukti apresiasi serta penghargaan terhadap para petani. Mari kita bergandeng tangan membasmi kemiskinan dan perdagangan manusia di NTT!

Pieter Bataona SVD

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here