Bagaimanakah Sikap Gereja Sesungguhnya Tentang Hukuman Mati?

2428
4.7/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Apakah benar, Gereja menolak hukuman mati untuk para pengedar narkoba? Apakah sikap ini tidak akan memperbesar kerugian moral dalam masyarakat karena narkoba?

D. Soehandoko, 08125252xxx

Pertama, Gereja Katolik menerima prinsip bahwa negara mempunyai otoritas untuk memberikan hukuman setimpal kepada mereka yang dinilai bersalah atas kejahatan dan untuk kejahatan yang sangat serius, bisa berupa hukuman mati (KGK 2266). Magisterium tidak, dan tidak pernah mendukung penghapusan secara buta hukuman mati. Gereja Katolik masih membuka kemungkinan ada hukuman mati, tetapi membatasi penggunaan sebagai jalan terakhir untuk pelanggaran yang mutlak menuntut hukuman mati. Tetapi memang benar, bahwa Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae  menghimbau kesepakatan untuk mengakhiri praktik hukuman mati yang dia nilai sebagai “kejam dan tak perlu.” (bdk. Hukuman Mati, Seri Dokumen Gerejawi No. 87, Dokpen KWI, Jakarta, September 2006).

Kedua, tujuan pemberian hukuman mati sering tidak tercapai, yaitu rehabilitasi. Hukuman mati tidak mengintegrasikan kembali terpidana ke dalam masyarakat. Sebaliknya, hukuman mati menghentikan setiap kemungkinan rehabilitasi. Rehabilitasi justru mengandaikan tidak terjadi pematian si terhukum. Memang keputusan hukuman mati bisa membuat seseorang menyesal dan bertobat, sehingga terjadi rekonsiliasi si terhukum dengan Allah.

Hukuman mati memang adalah cara efektif untuk “melumpuhkan” penjahat dan melindungi masyarakat dari kejahatan yang mungkin dilakukan lagi. Persoalannya ialah apakah memang perlu eksekusi hukuman mati itu? Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae menyatakan bahwa perbaikan sistem pidana sekarang sudah sedemikian baik, sehingga hukuman mati bukanlah satu-satunya sarana yang efektif untuk melindungi masyarakat.

Hukuman mati dapat menciptakan rasa takut yang dapat mencegah orang lain tergoda untuk melakukan kejahatan serupa. Namun, bukti sosiologis tentang efek pencegahan tersebut bersifat mendua, bahkan bertentangan dan sangat jauh dari pembuktian.

Hukuman mati, tidak jarang justru menimbulkan heroisme dan rasa solider yang melihat si terhukum sebagai martir yang patut dicontoh. Akibatnya, hukuman mati justru menimbulkan efek negatif yang lebih besar, yaitu nafsu tak teratur dan keinginan balas dendam. Maka, pengadilan memberi kontribusi menuju kemerosotan budaya.

Pada prinsipnya, kejahatan menuntut hukuman. Makin berat pelanggaran, makin berat pula ganjaran semestinya. Hukuman mati bisa dilihat sebagai silih atas kejahatan yang dilakukan dan menghindari hukuman akhirat. Namun dewasa ini, hukuman mati seringkali tidak lagi mewakili penilaian ilahi atas keburukan objektif, tetapi lebih merupakan kemarahan kolektif kelompok atau sarana penguasa untuk mengamankan posisi.

Ketiga, terkait pelaksanaan hukuman mati, ada beberapa keberatan lain. i) ada kemungkinan bahwa terpidana tak bersalah. Ini keberatan yang paling serius. Bahkan, di Amerika Serikat terjadi banyak kesalahan. ii) hukuman mati membuat nilai hidup menjadi murah. Hukuman mati tidak berpihak kepada kehidupan, tetapi kepada kematian. iii) hukuman mati bertentangan dengan ajaran Yesus tentang pengampunan. Pengampunan tidak bertentangan dengan, justru mensyaratkan keadilan, restitusi, dan rehabilitasi korban.

Keempat, masalah lain ialah cara menentukan persyaratan yang membenarkan penerapan hukuman mati itu, yang tentu “secara sangat terbatas”. Pematian harus dihindari, bila tujuan hukuman dapat dicapai dengan cara tak berdarah (KGK 2267). Pematian juga harus dijauhi, bila hukuman mati menimbulkan efek buruk yang jauh lebih besar daripada efek baik. Dalam masyarakat dewasa ini, hukuman mati jangan dikenakan karena lebih merugikan daripada menguntungkan.

Petrus Maria Handoko CM

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here