Pewarta Dalam Keredupan Cahaya

255
Semangat: Ignas sedang menjalankan tugasnya untuk mewawancarai Walikota Bima Arya.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Meski hampir karam dan jatuh bangun meniti kehidupan, ia berusaha menjaga semangat dan menggenggam asa untuk menjadi pewarta. Keterbatasan penglihatan tak menghalanginya menjadi wartawan dan guru.

Sejak kelas 5 SD, Ignatius Herjanjam sudah memakai kacamata. Meski demikian, penglihatannya masih kabur. Ia mesti membaca dengan jarak sangat dekat. Dari waktu ke waktu, penglihatannya bahkan kian menurun. Namun, ia tetap menekuni hobi membaca. Selain itu, Ignas juga senang menulis. Sejak kecil, ia dan teman-teman di kompleks perumahan tempat tinggalnya membuat sebuah buletin.

“Waktu kecil, saya dan teman-teman sebaya membuat buletin “Berita Kompleks”. Kami mencari berita di sekitar kompleks, ditulis tangan dan diedarkan ke warga kompleks,” kenangnya. Kepekaan mengamati suatu peristiwa dan menuliskannya berkembang sejak usia belia.

Hari demi hari dijalani Ignas dengan penuh semangat. Ignas melanjutkan kuliah di Jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Pada September 1998, mata kanan Ignas mendadak gelap. Waktu itu, ia tengah di kampus. Ia berpikir bahwa kondisi itu hanya sementara. Setelah menunggu satu jam, kegelapan masih menyelimutinya.

Lalu ia memutuskan pulang dan memeriksakan diri ke dokter mata di Bogor, Jawa Barat. “Dokter mengatakan retina mata saya robek dan lepas, lalu merujuk saya ke RS Mata Aini Jakarta. Saya menjalani operasi mata karena syaraf mata lemah, retina mata kanan lepas (ablatio retina),” ungkap anak kelima dari delapan bersaudara ini.

Mengetahui kenyataan itu, hatinya hancur. Impian untuk mendapat beasiswa terancam pupus. Begitu juga dengan tawaran pekerjaan yang sempat diperoleh pun pudar sudah. Ia dilanda kegundahan mengenai hari depannya.

Menerima Keadaan
Saat terbaring di ranjang rumah sakit, Ignas sempat menitikkan air mata sambil menggenggam erat Rosario yang diberikan sang ibu. Dalam keadaan seperti itu, dengan setia sang ibu mendampingi Ignas.

Ignas mengungkapkan bahwa ketika di rumah sakit, ia harus terbaring dengan posisi telungkup selama sebelas hari. “Makan juga harus telungkup, boleh duduk tapi sebentar dan kepala harus menunduk. Dokter bilang itu terapi untuk memulihkan kondisi mata yang membengkak pasca operasi,” tuturnya. Bagi Ignas, tidak mudah menerima kenyataan yang menimpa dirinya.

Keluar dari rumah sakit, laki-laki kelahiran Bogor, Jawa Barat, 5 Juli ini mesti menjalani rawat jalan selama tiga bulan. Ia dituntun oleh ibu atau saudaranya untuk menjalani kontrol rutin dari Bogor menuju Jakarta. Biasanya mereka naik angkutan umum dan kereta dari Bogor ke Jakarta.

Selama rawat jalan, kepalanya kadang terasa amat sakit. Ia harus menghentikan obat pereda sakit akibat pembiusan saat operasi, supaya tidak tergantung. Efeknya, kata Ignas, kepala kadang seperti ditusuk jarum. Hal itu berlangsung sekitar dua minggu. Harapan sembuh kian pudar. Dokter memberikan vonis bahwa mata Ignas tak bisa tertolong.

“Vonis buta mata kanan, mata kiri kena glaukoma, dan daya penglihatan tinggal 20 persen membuat saya putus asa. Apalagi saat itu, saya sedang bersemangat untuk kuliah, kerja, dan berorganisasi. Saya merasa tidak punya harapan lagi … hancur impian saya. Serasa ingin mati. Saya kerap membayangkan berada di peti mati. Apa salah saya? Tuhan tolong habisi saya …,” kisahnya.

Dukungan orangtua, saudara, dan para sahabat perlahan menguatkan Ignas di tengah deraan rasa putus asa. Ia merasa diingatkan kembali untuk tidak putus asa dan mencari Tuhan. “Sewaktu di rumah sakit, hiburan saya satu-satunya adalah mendengarkan Tuhan ‘bicara’ lewat radio. Saya diberi walkman oleh saudara, lalu saya dengarkan lagu rohani atau khotbah. Saat sudah di rumah, saat terbaring terlentang, sering saya meminta adik untuk membacakan Kitab Suci. Melalui hal itu, meski sulit menerima keadaan, saya mulai mendapat kekuatan,” beber laki-laki yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mekar Keuskupan Bogor ini.

Tak mau larut dalam keputusasaan dan kesedihan, pada medio 1999, Ignas memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Ia juga mengajar ekstrakurikuler jurnalistik di SD dan SMA Regina Pacis Bogor, serta menjadi guru agama di SMK Adi Sanggoro Bogor. Ia kerap diminta memberikan pelatihan jurnalistik untuk sekolah, paroki, dan organisasi, seperti Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Bogor, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Yayasan Rimbawan Muda Indonesia (RMI), dll.

“Rasa rendah diri kerap menghantui saya. Syukurlah, meski tertatih-tatih, saya bisa menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri dari hasil mengajar pada 1999 hingga lulus,” ungkap Ketua Relasi Media Forum Masyarakat Katolik (FMKI) Keuskupan Bogor ini.

Tahun 2003, Ignas mengikuti kejuaraan catur. Ia menyabet Juara I Catur Kota Bogor Seleksi I PORDA Jabar tahun 2003 untuk kategori Umum, dan Juara I Catur Piala Dinas Sosial DKI Jakarta tahun 2003 untuk kategori Penyandang Difable. Ia pun diminta menjadi guru ekstrakulikuler catur untuk sekolah Penabur di Jakarta.

Di tengah keterbatasan fisik, Ignas tetap bersemangat untuk ambil bagian dalam berbagai organisasi. Ia terlibat sebagai Seksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki St Perawan Maria Katedral Bogor. Pernah juga ia didaulat sebagai Humas Badan Sosial Lintas Agama (Basolia) Kota Bogor, Kepala Bidang Program Lembaga Advokasi dan Perlindungan Penyandang Cacat Indonesia (LAPPCI), dan Pemimpin Redaksi Majalah Peka (Penyandang Cacat Berkarya) Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).

Menjalani Hidup
Awal 2012, Ignas mulai bekerja sebagai wartawan untuk koran Suara Pembaruan. Pada September 2014, ia diangkat sebagai wartawan tetap untuk wilayah Bogor. Dengan keterbatasan fisiknya, ia sempat merasa ragu apakah ia mampu menjadi wartawan. Namun seiring waktu, ia bisa membuktikan bahwa dirinya mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Di kantor, Ignas tidak merasa dibedakan ataupun diistimewakan. “Saya diperlakukan seperti wartawan yang lain, dan itu membuat saya senang. Memang, ada hal-hal yang kaum difabel tidak bisa lakukan, yang mungkin bisa dimaklumi. Tetapi, banyak hal yang juga bisa dilakukan. Saya percaya, atasan di kantor telah menerima saya dan tidak mempermasalahkan kondisi fisik saya,” papar laki-laki yang pernah ambil bagian di Yayasan Aksi Sinergi Untuk Indonesia (UI), Depok ini.

Bagi Ignas, keterbatasan fisik bukanlah akhir dari segalanya. Kendati tidak mudah untuk menerima dan harus jatuh bangun berulang kali, ia tetap berusaha untuk menghadapi kenyataan. Menurutnya, tak ada pilihan lain yang lebih baik selain melawan kekhawatiran dengan cara menjalani hidup sebaik mungkin. “Yang membuat saya bangkit adalah keinginan untuk bisa berarti. Hidup harus berarti, dan saya hanya takut kalau mati dalam keadaan tidak percaya kepada Tuhan dan tidak berarti dalam hidup ini,” ungkap pemilik moto hidup “Tuhanlah Gembalaku” ini.

Ignas berharap bisa mendirikan yayasan yang memperjuangkan hak kaum difabel, khususnya di Bogor. Inilah bentuk pemberdayaan para difabel, dan untuk mengadvokasi mereka. Ia juga berharap bisa menulis buku mengenai kisah hidupnya: menjadi wartawan dengan kondisi fisik terbatas dalam keredupan cahaya. “Dengan kondisi seperti ini, dalam melakukan tugas liputan, banyak kisah menarik, menggelitik, lucu, juga satir yang ingin saya curahkan dalam sebuah buku. Saya ingin berbagi,” ujar Pemimpin Redaksi Berita Umat Paroki Katedral Keuskupan Bogor sejak 2004 ini.

Ivonne Suryanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here