Tinggal di Asrama, Pilihan Berani

8036
Anak-anak sedang berdoa bersama di kapel asrama.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]
3.4/5 - (12 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Tinggal di asrama bisa dikatakan sebuah pilihan berani. Tak gampang tinggal di asrama, setiap anak dituntut disiplin. Namun, ada peluang mereka menjadi manusia yang bermutu.

Internet sudah tidak dapat terpisah dari dunia. “Dunia maya” seakan menjadi realitas lain, yang mau tidak mau menjadi kesadaran setiap manusia. Hanya dalam hitungan detik, dengan telepon di genggamannya, seseorang sudah dapat berkomunikasi dengan sahabat yang jaraknya setengah putaran bumi.

Sebuah penelitian yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menunjukkan, di Indonesia pengguna internet dari kalangan anak dan remaja tercatat sekitar 30 juta. Penelitian hasil kerjasama Kemeninfo, UNICEF, dan Universitas Harvard Amerika Serikat ini juga menghasilkan gambaran, bahwa media sosial saat ini telah menjadi bagian yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari anak muda Indonesia.

Sebuah survei lain yang dibuat Headmasters’ and Headmistresses’ Conference menunjukkan, 45 persen remaja mengecek ponsel mereka sebelum tidur malam. Survei juga menunjukkan, 68 persen remaja yang menggunakan telepon seluler (ponsel) sebelum tidur, mengalami masalah belajar. Berhadapan dengan fenomena ini, sebanyak 32 persen orang-tua, ternyata tidak menyadari kebiasaan anaknya itu.

Keprihatinan ini juga menjadi juga menjadi perhatian Sr Maria Caroline OSF dalam mendampingi anak-anak yang tinggal di Asrama St Katarina Denpasar, Bali. Di asrama ini, anak-anak tidak dilarang “berselancar” atau sekadar cuit-cuit di media sosial. Mereka memakai ponsel namun juga dilatih bertanggung jawab.

Manajemen Gadget
Sr Caroline mengungkapkan, ponsel berdampak kurang baik dalam perkembangan kepribadian anak. Terlalu sering menggunakannya, anak menjadi cenderung malas dan egois. Untuk itu, lanjut Sr Caroline, di Asrama St Katarina, meski tidak dilarang, penggunaan ponsel dibatasi. “Sulit untuk memisahkan anak-anak dari ponsel, namun juga tidak bisa anak-anak menggunakannya tanpa dibatasi,” ungkap biarawati asal Klaten, Jawa Tengah ini.

Sr Caroline mengeluhkan kebiasaan anak-anak yang sulit dipisahkan dengan alat komunikasi. Menurutnya, melarang sama sekali penggunaan telepon seluler bukanlah solusi, namun dengan pengawasan dan pembatasan anak-anak diajarkan untuk memanfaatkan telepon seluler seperlunya. “Pembatasan penggunaan handphone dari sudut pandang rohani juga dimaksudkan agar mereka tidak menggeser Tuhan dalam hidup mereka. Kadang dijumpai banyak orang yang asik bermain handphone saat waktu berdoa.”

Setiap hari, setelah Misa harian di kapel asrama, anak-anak sarapan lalu berangkat ke sekolah. Anak-anak yang tinggal di asrama semuanya bersekolah di Sekolah St Yosef Denpasar. Asrama St Katarina dibangun, sebagai alternatif tempat tinggal bagi siswa yang berasal dari daerah lain di luar Bali. Selain fasilitas untuk anak sekolah, asrama juga terbuka untuk mahasiswa yang sedang belajar di Denpasar. “Anak yang tinggal di asrama memiliki kesempatan untuk bisa mandiri dan fokus belajar, karena setiap hal sudah terjadwal sehingga mereka dapat fokus dalam belajar,” ungakap Sr Caroline.

Asrama St Katarina terletak di pinggir Jalan Serma Kawi Denpasar. Posisi ini tepat bersebelahan dengan kompleks Sekolah St Yusuf milik Keuskupan Denpasar. Dalam mengolola asrama ini, Suster-suster Ordo Santo Fransiskus Semarang memberi penekanan terhadap hidup doa setiap anak. Sr Caroline menjelaskan, di asrama ini tidak semua anak beragama Katolik atau Kristen. Sebagaian dari meraka ada yang beragama lain. Meski demikian, setiap anak diajarkan untuk dapat hidup bersama sebagai keluarga. “Di sini semua hidup bersama, anak-anak dilatih untuk hidup sebagai satu keluarga. Sehingga, setiap teman adalah saudara seperti saudara kandung sendiri.”

Di dalam asrama, semua kegiatan diadakan bersama, mulai dari makan, membersihkan asrama, dan belajar, dikerjakan bersama. Kebersamaan ini dijalankan untuk menanamkan nilai persaudaraan dalam diri setiap anak. Sr Caroline menambahkan, pendamping sedapat mungkin tidak mengawasi anak terus-menerus, mereka diajarkan untuk semakin dewasa dalam setiap hal yang dikerjakan. “Sejauh ini mereka dapat hidup bersama dengan baik, meski berasal dari berbagai daerah,” ungkap Sr Caroline.

Pulau Dewata terkenal sebagai daerah tujuan wisata internasional, di sini berdatangan wisatawan dari pelbagai penjuru dunia. Kedatangan mereka membawa serta budaya yang beraneka ragam. Sr Carolin menjelaskan, lingkungan semacam ini juga menjadi salah satu tantangan. Asrama berusaha menjadi benteng untuk melindungi anak-anak dari kebiasaan atau budaya modern yang negatif. “Kami terus mengarahkan mereka dan mendampingi mereka untuk menjadi semakin dewasa.”

Pilihan Berani
Pilihan untuk tinggal di asrama bisa dikatakan sebuah pilihan yang berani. Anak-anak usia sekolah di zaman ini, umumnya lebih senang tinggal bersama keluarga di masa pendidikan dasarnya. Anak yang memilih tinggal di Asrama dituntut untuk disiplin dan rela dibimbing dalam aturan-aturan komunitas yang ketat. Nadia Wahyuni menceritakan, manfaat yang jelas didapat selama tinggal di asrama adalah kesempatan untuk bisa belajar bersama banyak teman. “Kalau ada yang tidak mengerti bisa bertanya kepada teman yang tinggal di asrama juga,” kata anak asrama asal Bali ini.

Sebagai seorang pemeluk Hindu, Nadia merasa senang tinggal bersama teman-teman lain meski berbeda keyakinan. Ia mengakui, kondisi ini menjadi kesempatan baginya untuk belajar menghargai teman yang lain. Selain itu, Nadia belajar lebih mengenal pribadinya dari beberapa kali rekoleksi yang diadakan di asrama. “Setiap rekoleksi kita semua ikut, di situ saya belajar lebih mengenal diri sendiri.”

Tinggal di asrama bukan berarti meninggalkan setiap hobi yang sebelumnya dilakukan di rumah. Mega Theresia mengungkapkan, meski tinggal di asrama dia tetap bisa berkebun atau merawat tanaman. Mega menyadari, manfaat yang jelas di dapat dengan tinggal di asrama adalah adanya jadwal bersama. “Saya tahu kapan harus belajar dan kapan waktu untuk pribadi. Saya bisa mengatur jadwal lebih baik, kalau waktu belajar ya belajar bukanya bermain.”

Sebagai pilihan yang tidak biasa, Cindy Margaretha merasa bangga dengan tinggal di asrama. Ketika anak lain masih bermanja-manja bersama keluarga, ia sudah bisa mandiri. “Sebagai anak asrama kami bangga, setidaknya kami belajar untuk mandiri,” ungkap alumni Asrama St Katarina yang kini kuliah kedokteran di Jakarta ini.

Pendidikan Asrama
Kedisiplinan tidak gampang dimiliki tanpa ada latihan untuk melatih diri sendiri. Sr Caroline berharap dengan pendidikan di asrama, akan menjadi cara yang baik untuk membentuk anak yang berdisiplin mumpuni. Sebagai pendamping, ia menginginkan anak-anak didikannya dapat mengambil manfaat dari setiap aturan yang berlaku di asrama. “Setiap anak yang baru masuk di asrama, saya selalu bilang mereka hebat, berani memilih sesuatu yang berguna bagi hidup mereka,” ungkap Sr Caroline.

Sr Caroline menilai, dengan memilih tinggal di asrama, sudah menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi anak ingin belajar disiplin. Ia menambahkan, disiplin dan juga kemandirian menjadi dua hal yang selalu ditekankan. “Tidak gampang tinggal di asrama, mereka tahu resiko tinggal di asrama namun tetap ingin mencoba karena mereka sadar bahwa ini berguna.”

Antonius E. Sugiyanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here