Gagasan, Gerakan dan Transformasi

315
Mgr Suharyo memilin bulir-bulir Rosario Merah Putih.
[Dokpen KWI/Y. Indra]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pancasila sebagai ideologi ada banyak teori. Tapi ada tiga hal yang tidak boleh dipisahkan, yakni gagasan, gerakan, dan transformasi sosial, agar Pancasila tak sekadar omongan.

Dalam Kitab Kejadian dikatakan, Allah menciptakan segala sesuatu baik adanya. Namun karena dosa, jagat raya menjadi rusak dan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta menjadi renggang. Gereja Katolik mengakui, Yesus sudah menebus segala dosa-dosa manusia sekali untuk selamanya. Tapi wujud penebusan itu belum sempurna, karena itu Gereja sangat sadar, percaya, dan terpanggil untuk melanjutkan karya penebusan.

Pendapat tersebut disampaikan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ignatius Suharyo, saat menggelar pertemuan dengan para awak media, di Kantor KWI, Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, Kamis, 16/11. Pada kesempatan itu, Mgr Suharyo membagikan pesan Hari Studi dan Sidang Tahunan KWI yang mengusung tema “Gereja yang Relevan dan Signifikan: Panggilan Gereja Menyucikan Dunia”.

Dunia, menurut Mgr Suharyo, bukan dalam pengertian luas, melainkan Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Karena itu, Gereja Katolik di Indonesia yang memiliki tanggung jawab serta perjalanan sejarah yang berhimpitan dengan bangsa ini wajib ikut serta “menyucikan” negara ini.

Sejarah Bangsa
Ada beberapa peristiwa Gereja Katolik di Indonesia terlibat dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Mgr Suharyo menyebut dua contoh, yakni pertama, Sumpah Pemuda pada 1928. Sidang tersebut terjadi selama tiga kali. Pada sidang pertama, 27 Oktober 1928, berlangsung di Gedung Pemuda Katolik. Letak gedung itu di belakang Katedral Jakarta, kini menjadi aula Katedral. Berlangsungnya sidang pertama Sumpah Pemuda menunjukkan Gereja Katolik di Indonesia mempunya peran dalam sejarah penting negara ini.

Kedua, peran Uskup Agung Semarang Mgr Albertus Soegijapranata SJ (1896-1963). Dalam salah satu scene film Soegija (rilis 2012), kenang Mgr Suharyo, terlihat Mgr Soegijapranata menulis secarik surat. Surat itu ditujukan kepada Paus agar Vatikan segera mengakui kemerdekaan Indonesia.

Diplomasi Mgr Soegijapranata berhasil. Sejak 1947, sudah ada Apostolik Delegatus di Indonesia, yang kini menjadi Kedutaan Besar Vatikan. Memang, lanjut Mgr Suharyo, ada perdebatan di antara para sejarawan. Tapi, yang patut diingat adalah Vatikan merupakan salah satu negara pertama yang mengakui kedaulatan negara ini. “Kalau melihat plat nomor mobil Kedubes Vatikan untuk Indonesia tertulis angka 17 di depan nomor seri kendaraan tersebut,” ujar Mgr Suharyo.

Jasa Mgr Soegijapranata untuk Indonesia tak hanya itu. Ketika Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Mgr Soegija juga memindahkan kantor keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta. Kebijakan Mgr Soegija, menurut Mgr Suharyo, adalah tindakan simbolik bahwa Gereja Katolik sejak awal mendukung kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, lanjut Mgr Suharyo, melihat pahlawan nasional dari Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, ada juga umat Gereja Katolik yang berjasa bagi bangsa ini dan mendapat kehormatan mewakili ketiga matra tersebut. Ada juga umat Katolik dari lingkungan sipil yang mendapat gelar pahlawan. Sejarah itulah yang disadari oleh Gereja Katolik di Indonesia sampai saat ini.

Pasca kemerdekaan, Gereja Katolik di Indonesia juga tetap memikul sejarah. Ada banyak peristiwa, diantaranya, beber Mgr Suharyo, Mgr Soegija mendirikan berbagai ikatan, seperti Petani Pancasila dan Pekerja Pancasila. Baginya, itu menjadi tanda yang amat jelas Gereja Katolik berhimpitan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Menghargai Pancasila
Mgr Suharyo mengakui, ada banyak surat yang dikeluarkan KWI tentang Pancasila. Ketika ada gelagat kelompok tertentu ingin mengubah Pancasila, pada 2003 hingga 2005, KWI secara khusus mempelajari bersama mengenai Pancasila.

Bahkan, ungkap Mgr Suharyo, penghargaan terhadap Pancasila dan bangsa ini ini termaktub dalam prefasi Tanah Air. Doa yang sangat penting dalam ibadat di Gereja Katolik hanya dimiliki oleh Indonesia. “Italia atau Amerika tidak memiliki prefasi tanah air, hanya kita di Indonesia,” tandasnya.

Ada tiga pilar atau tonggak dalam prefasi tanah air. Pertama, tumbuhnya semangat kebangsaan. “…Bersyukur kepada Tuhan yang telah menumbuhkan perasaan kita sebagai suatu bangsa”. Ini ingin menunjukkan Kebangkitan Nasional pada 1908. Kedua, ingin menunjukkan peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928. “…Bersyukur kepada Tuhan yang menganugerahkan satu bahasa sebagai bahasa persatuan”. Dan ketiga, tentang kemerdekaan Indonesia. “Bersyukur kepada Tuhan karena memberikan Pancasila sebagai landasan kehidupan bersama.” Jadi, tambah Mgr Suharyo, umat Katolik di Indonesia, mempunyai cara untuk mengingat, merawat tindakan, dan sejarah bangsa ini dalam doa yang amat penting dalam Misa.

Gagasan ketiga, Pancasila disebut sebagai ideologi bangsa. Tentu ada banyak teori tentang itu. Namun menurut Mgr Suharyo, ada tiga unsur dalam ideologi tersebut yang tidak boleh dipisahkan yaitu gagasan, gerakan, dan transformasi sosial. “Jadi, Pancasila tidak hanya sebagai omongan, tapi harus menjadi gerakan dan membawa perubahan bangsa ini menjadi lebih baik,” ungkap Mgr Suharyo.

Mgr Suharyo mencontohkan pengamalan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Gagasan yang bisa diturunkan dari sila itu adalah berbakti kepada Tuhan. Gerakan sila itu bisa beragam. Khusus di KAJ, melalui gerakan Rosario Merah Putih. Rosario dengan warna seperti itu, diakui Mgr Suharyo, hanya dimiliki oleh Indonesia. Transformasi dari gerakan itu, lanjutnya, dengan berdoa menggunakan Rosario Merah Putih, umat menyadari, selain mengungkapkan ujub-ujub pribadi, juga diharapkan mendoakan bangsa ini, baik warga, pemerintah, dan para pahlawan.

Tahun depan, tambah Mgr Suharyo, KAJ akan memfokuskan intensinya kepada persatuan Indonesia. Salah satu gagasan adalah hidup bertetangga dengan baik. Gerakan yang bisa dibuat, salah satunya, seperti teladan Romo Felix SSCC. Ia rajin bersilaturahmi kepada para kiai. Dengan begitu para kiai tak hanya mengenal Romo Felix, tapi juga Gereja Katolik.

Dari gerakan tersebut, transformasi yang diharapkan adalah para pemuka agama saling mengenal. Dari perkenalan bisa saling terbuka satu sama lain. “Di Gereja Katolik ada juga gerakan tradisional seperti kesehatan gratis, itu sudah baik, tapi perlu juga dicari gerakan kreatif agar bisa mengubah diri dan keuskupan,” harap Mgr Suharyo.

Tiga Poin
Ada tiga poin yang menjadi rangkuman selama sepuluh hari KWI menggelar Hari Studi dan Sidang Tahunan. Pertama, Gereja Katolik di Indonesia merasa terpanggil untuk melanjutkan penebusan Kristus menjadi dunia yang baik seperti awal diciptakan. Kedua, Gereja Katolik memiliki tanggung jawab sejarah untuk menciptakan tatanan dunia (Indonesia) menjadi lebih baik. Dan ketiga, demi menciptakan tatanan dunia yang lebih baik maka Pancasila harus dilaksanakan. “Bentuk atau cara bisa bermacam-macam sebab tiap keuskupan mempunyai konteks masing-masing,” ujar Mgr Suharyo.

Dalam sidang tahunan ini KWI juga menyetujui tema dan pesan Natal yang dikonsep oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Tema Natal 2017 adalah “Hendaklah Damai Sejahtera Kristus Memerintah dalam Hatimu”. Tema tersebut bersumber dari Surat Rasul Paulus kepada umat Kolese. (Kol. 3:15).

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here