Emas Sang Pendidik

626
Pastor Smit merayakan 50 tahun berkarya di Seminari Kakaskasen bersama mantan muridnya dan umat.
[Komsos Keuskupan Manado]
3.7/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ia mengukir tinta emas berkarya di Keuskupan Manado. Semua berkat cinta Kristus yang mendorong dan menguatkan, katanya.

Abi mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di Indonesia seandainya tak ada seorang dermawan yang mendanai pendidikannya di seminari. Mungkin juga cita-citanya menjadi imam kandas jika tak ada bantuan itu. Sebab, mengandalkan gaji ayahnya, Johan Simon Bonaventura Smit, sebagai buruh di pabrik tekstil takkan cukup. Sang ibu, Gerritdiena Siemerink, mengurus keluarga saban hari. Sementara Abi memiliki enam adik; satu adiknya meninggal.

Sebelumnya ada insiden yang tak lengkang dalam ingatan Abi kala belia. Seekor kuda gila mengamuk dan menginjak-injak tubuhnya. Abi mengalami luka berat karena kejadian nahas itu. Ia terluka di sejumlah bagian tubuhnya. Beberapa tulang pun patah. Beruntung nyawanya tertolong meski sempat dirawat beberapa bulan di rumah.

Sejak kecil, Abi bercita-cita menjadi imam. Ia masuk TK milik Suster Ordo Pengkotbah (Ordo Praedicatorium/OP). Gambaran dan pola hidup kaum berjubah ia ketahui dari gurunya, Sr Hermana OP dan Sr Dionysia OP. Tak jauh dari sekolah, ada Gua Maria Lourdes. Bocah kecil bernama asli Albertus Bernardus Gerardus Josep Smit begitu takjub melihat gua itu. Gua itu menjadi salah satu tempat favoritnya.

Frater Termuda
Begitu lulus seminari, Frater Smit masuk skolastikat milik tarekat Misionaris Hati Kudus Yesus (Missionarii Sacratissimi Cordis/MSC) di Belanda. Ia adalah frater termuda di antara kawan-kawan seangkatannya. “Takdir” itu kerap membuat calon imam kelahiran Goor, Overijsel, di Belanda, 22 Maret 1940 seperti “anak tiri”.

Beberapa contoh, kenangnya, pada saat ujian akhir negara, semua kolega sudah merampungkan ujian, sementara dirinya belum mendapat giliran. Kemudian, ketika teman-temannya ditahbiskan, ia bersama tiga rekan harus menunggu. Pimpinan tarekat menunda tahbisan mereka.

Frater Smit tak mengeluh atau marah menerima perlakuan tersebut. Ia menyadari perjalanan panggilan bukan seperti lomba lari, di mana ada garis start dan finish. Ia percaya, jika Tuhan sudah berkehendak kepada umatNya maka semua
akan terjadi. Pada 2 Mei 1965 kehendak Tuhan terwujud. Abi menerima tahbisan imamat.

Kesabaran Frater Smit juga terlihat ketika kuliah teologi di Stein, Belanda. Selama studi, mereka tinggal di dua bangunan berbeda, di rumah baru dan lama. Kondisi kamar-kamar di bangunan baru bagus, berbeda dengan di bangunan lama. Frater Smit menempati bangunan jadul. Kamarnya tidak berjendela. Ia tak keberatan, pikirnya, tahun depan setiap penghuni kamar akan bergantian: mereka yang tinggal di bangunan lama pindah ke bangunan baru, begitu pun sebaliknya.

Ternyata, proses perpindahan itu tak berjalan mulus. Tak ada seorang rekannya yang mau tinggal di kamar Frater Smit. Ia tak kecewa. Frater Smit ikhlas tinggal di kamar yang sama hingga merampungkan studi teologi.

Begitu juga saat pimpinan tarekat menunjuknya menjadi misionaris di Indonesia. “Saya katakan kepada pimpinan, ‘saya siap ke Indonesia untuk mengajar bahasa Latin kepada seminaris di sana’,” ungkap Pastor Smit, di ruang kerja sekaligus kamarnya di Seminari Menengah St Fransiskus Xaverius Kakaskasen, Keuskupan Manado, Sulawesi Utara.

Tak Kenal
Pastor Smit tak mengenal Indonesia. Ia tiba di tanah asing ini pada 1967. “Saat Abi Smit datang, saya di kelas Poesis, Pastor Agus Sumaraw di kelas Rethorica, sedangkan Pastor Piet Tinangon di Probatorium,” kenang Provinsial MSC Indonesia, Pastor Yohannes Herman Joseph Luntungan MSC, pada pesta emas (50 tahun) Pastor Smit berkarya di Seminari Kakaskasen, Desember lalu.

Pastor Smit mengenang, ketika menginjakkan kaki pertama kali di Sulawesi Utara, kondisi ekonomi Indonesia, termasuk di tanah misi barunya itu, sedang sekarat. Di Taratara, misalkan, sebenarnya masyarakat di sana tidak miskin. Mereka bisa makan dengan cukup. Tetapi, terang Pastor Smit, uang tunai tak beredar kala itu.

Aroma Gerakan 30 September 1965 juga masih kuat terendus. Banyak tentara berkeliaran dan membawa senjata. Ketakutan begitu rapat membungkus masyarakat. Moda transportasi pun langka. Tak pelak, saban hari Pastor Smit melihat orang berjalan kaki dari satu daerah ke daerah lain. Kondisi seperti ini amat membebani para pedagang. Sudah berjalan amat jauh, mereka masih memikul barang dagangan yang beratnya kadang sungguh tak terperikan.

Tak hanya para pedagang, Pastor Smit juga jalan kaki untuk melayani umat. Selain berkarya di seminari, Miki –panggilan seminaris kepada Pastor Smit– juga melayani Paroki St Antonius de Padua Taratara dan Paroki St Antonius de Padua Tataaran. Tiap Sabtu, begitu menyelesaikan tugas di seminari, Miki berjalan kaki ke paroki. Bila lelah, ia melepas penat di Kobong Pece (Sawah).

Berkarya di sejumlah tempat tentu menguras banyak tenaga. Namun, Miki melaksanakan semua perutusan tersebut dengan senang hati. Lagi pula sejak awal, Miki pernah meminta kepada Uskup Manado pada waktu itu, Mgr Nicolas Verhoeven MSC (1896-1981), dirinya bersedia memegang paroki, selain di seminari. Semula Mgr Verhoeven keberatan, sebab tugas di seminari juga banyak. Tapi, karena kegigihan Pastor Smit, sang uskup pun membuka pintu. “Kalau memang kamu mau dan bersedia, baiklah kamu bisa pegang paroki,” ujar Pastor Smit, mengutip pendapat Mgr Verhoeven.

Seiring waktu, para Suster Karmel meminta Pastor Smit menjadi rektor di komunitas. Mula-mula, ia keberatan karena banyak tanggung jawab yang dipikulnya. Pada suatu ketika, pengganti Mgr Verhoeven, Mgr Theodorus Hubertus Moors MSC (1912-2003) meminta Pastor Smit agar bersedia menerima permintaan Suster Karmel. Demi ketaatan kepada uskup, Pastor Smit akhirnya bersedia mengemban tugas baru tersebut. Ia menjadi rektor Suster Karmel sekitar 25 tahun.

Jasa Besar
Selama 50 tahun berkarya di seminari, ada banyak anak didik yang merasakan jasa besarnya. Satu siswanya bahkan menjadi gembala utama di keuskupan tempatnya berkarya, yakni Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC. Berkat jasa sang guru, alumni Seminari Kakaskasen, Confraternitas Kimentur menggelar perayaan syukur di tempatnya mengabdi selama setengah abad.

Di hadapan mantan siswa, Miki berpesan, “Kalau kita punya cita-cita, maka semuanya bisa dilalui dengan baik. Namun, bila tidak ada cita-cita, orang akan lari saat mengalami kesulitan. Kalau kita ada semangat dan idealisme, maka kita akan mengatasi segala macam kesulitan.”

Tema perayaan itu adalah Caritas Christi Urget Nos ‘Kasih Kristus Mendorong Kami’. Sesanti itu diambil dari moto tahbisan imamat Pastor Smit. Miki terkesan dengan kalimat tersebut. Ia menyadari, berkat kasih Kristuslah yang mendorong dan menguatkan dirinya untuk mempertahankan imamat dan berkarya selama 50 tahun di seminari.

Handry Pitoy

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here