Pekawinan Politik dan Agama

303
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Seorang teman pernah mengatakan, “Semua agama itu pada dasarnya baik, hanya orang-orang di dalamnya saja yang menggunakannya untuk kepentingan politik. Hasilnya, agama menghasilkan keburukan”. Sempat saya menerima ungkapan, hingga saya menyadari ada sesat berpikir di dalamnya. Politik dan agama tidak pernah terpisah satu sama lain. Dalam agama terdapat politik yang menyertai, dan di dalam perpolitikan terdapat agama (keyakinan) yang terlibat. Tak pernah politik selalu bisa dianggap buruk dan agama sebagai dianggap nir dari kesalahan dan cacat cela. Segala sesuatu di bawah kolong langit ini selalu ada keterbatasannya. Kesempurnaan hanya ada di surga.

Dalam sejarah, perkawinan antara politik dan agama melahirkan berbagai macam keturunan. Ada di antaranya membuat dunia lebih damai, tak sedikit yang mengacaukan dunia. Kalau politik dimaknai sebagai seni mempengaruhi orang lain, maka kata-kata dalam Injil, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25: 40) adalah sebuah tindakan politik-agama yang sudah menggerakkan banyak orang (awam, biarawan, biarawati, para imam) untuk melakukan karya cinta kasih. Jika agama diyakini sebagai sebuah keyakinan yang menjadi pegangan hidup, maka kekerasan atas nama agama (termasuk yang dilakukan oleh umat Katolik) adalah bentuk agama-politik yang di luar nalar.

Belajar dari uraian di atas, politik bukanlah musuh dari agama, melainkan sahabat pasangan. Patut dipertanyakan, apa hasil perpaduan keduanya. Politik adalah soal kekuasaan, dan agama bisa menjadikan politik lebih bertaring mencengkeram masyarakat. Namun, sebaliknya agama akan bertaji kuat ketika bersinergi menawarkan nilai-nilainya melalui perpolitikan. Nilai kepedulian menjadi lebih konkret ketika orang terlibat di dalam penentu kebijakan untuk milyaran orang. Nilai toleransi bisa nyata ketika orang terlibat menentukan apakah sebuah gereja atau masjid boleh dibangun atau tidak. Sikap anti kepada politik bukanlah sikap yang patut dipertahankan.

Berbeda dari ilmu eksakta yang melahirkan karya di dalam bentuk benda yang terlihat secara fisik, agama melahirkan satu hal yang disebut sebagai wacana. Wacana inilah yang mempengaruhi masyarakat untuk bertindak. Dalam bukunya, The Resurgence of Religion, David Seidan, seorang ahli studi Islam dan Kristen, mengatakan, “Bahasa politik berbasis agama membuat orang mengikuti pemikiran tertentu meski harus mengalahkan kepentingan pribadi. Orang diarahkan untuk menganggap diri mereka sebagai orang yang melakukan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, seperti pelayanan, pengorbanan dan moralitas. Gambaran dan simbol-simbol ini membuat orang terdorong untuk melibatkan diri dalam gerakan tertentu (hal 12).

Dalam hal inilah, ditentukan hendak menuju ke arah mana perkawinan antara agama dan politik. Apakah unsur mencari kekuasaan yang ada baik dalam agama maupun politik lebih dominan, ataukah unsur pelayanan kasih yang juga menjadi bagian dari keduanya lebih mendominasi.

Gereja Katolik dikenal sebagai institusi dengan berbagai macam wacana mulai dari hasil konsili, ensiklik paus sampai kepada surat-surat gembala para uskup. Di dalamnya, ada cita-cita bersama untuk semakin hari semakin menjawab kebutuhan zaman. Namun, disadari atau tidak, situasi masyarakat bisa sangat mempengaruhi sikap Gereja. Ada kalanya apa yang disampaikan oleh Gereja bukanlah hal yang tepat. Kesalahan dalam mengambil sikap adalah hal yang bisa saja dilakukan. Gereja cukup jujur mengkoreksi diri dari cacat cela pengajaran di masa silam dan perlu terus mencari cara menemani umatnya melalui pengajarannya.

Perkawinan politik dan agama tidak selamanya berarti negatif. Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang anti terhadap politik melainkan terbuka terhadap setiap kemungkinan untuk mengabdi Tuhan dengan lebih baik, salah satunya melalui bidang politik. Sementara perpolitikan sudah terlalu banyak mempengaruhi agama kita, semoga kita berjuang agar ajaran agama kita semakin pula mempengaruhi perpolitikan di negeri ini.

Pastor M. Joko Lelono

1 COMMENT

  1. Dengan segala hormat,
    membaca tulisan, lebih tepatnya opini ini, saya tercengang, koq ada istilah PERKAWINAN POLITIK DAN AGAMA. Sepertinya penulis tidak mampu membedakan POLITIK KEKUASAAN dan POLITIK KESEJAHTERAAN pun demikian terkesan mencampuradukkan antara AGAMA dan BERAGAMA. Agama sebagai sebuah ajaran HIDUP, agama sebagai kumpulan umat beriman, agama sebagai sebuah ritual…tiga bentuk AGAMA yang sepertinya diabaikan begitu saja oleh penulis. BERAGAMA pada sisi lain, terkadang tidak harus menyebutkan dan mengexplisitkan ketiga bentuk agama tersebut…..bandingkan dengan peran garam dalam sayur… cara ADA dan BERADA beragama adalah paduan dari ketiga bentuk tadi sekaligus tanpa bisa dipisahkan. Semakin BERAGAMA sejatinya semakin tidak membahas agama itu sendiri. Ibarat orang berpacaran, maka tidak ada pembhasan tentang arti cinta saat kedua sejoli itu dudu berdua dan saling menatap. Pun demikiand engan Politik KEKUASAAN dan POLITIK KESEJAHTERAAN….. AGAMA SEBAGAI SEBUAH KUMPULAN UMAT BERIMAN BERSENTUHAN PADA POLITIK KESEJAHTERAAN. AGAMA mesti dilihat sebagai BENTUK KEKUATAN KELIMA DARI SISTEM DEMOKRASI YANG ADA… SISTEM KONTROL BAGI oran gyang berpolitik. Agama adalah sistem kontrol internal para pelaku politik. Pengutipan ayat Matias 25:40, menurut saya tidak tepat kalau direduksi pada pengertian bahwa Politik adalah untuk menyakinkan orang. Teori ini, saya kira bukan tugas politik, tetapi tugas ORASI, PIDATO, ilmu untuk menyakinkan orang lain, sementara POLITIK adalah ilmu yang berbicara tentang bagaimana kehidupan bersama kita lebih baik dengan atau tanpa agama di dalamnya.

Leave a Reply to Advent Tambun Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here